ULAMA INDONESIA UNTUK DUNIA
Indonesia merdeka tidak lepas dari peran para Ulama Indonesia. Banyak sekali nama-nama yang dapat kita sodorkan dan menjadi pengingat tentang jejak mereka dalam memerdekakan Indonesia, yang sudah kita kenal, antara lain: Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Pangeran Antasari, dan lain sebagainya.
Namun kali ini, yang akan disajikan adalah para Ulama
Indonesia yang tidak hanya memberi
sumbangsih besar untuk Indonesia, tetapi mewarnai wajah dunia sampai
saat ini. Mereka itu, antara lain: Abu Abdul Mu’thi Nawawi al- Tanari al-Bantani, Syaikh
Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati al-Makasari, Abdus Samad bin Abdullah
al-Jawi al-Palimbani, Nuruddin
bin Ali ar-Raniri, Syekh Abdurauf
bin Ali al-Singkili, Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani,
Hamzah al-Fansuri. Mari kita urai jejak dan langkahnya satu per satu.
Abu Abdul
Mu’thi Nawawi al-Tanari al-Bantani
Riwayat Hidupnya
Nama
lengkap beliau adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar al-Tanara al- Jawi
al-Bantani. Dikenal juga dengan nama Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Lebih terkenal
dengan nama Syekh atau Imam Nawawi Banten. Ayahnya adalah Umar bin Arabi yang
merupakan seorang ulama di Banten.
Dikisahkan
juga, bahwa Syekh Nawawi masih keturunan dari Sunan Gunung Jati (salah satu Wali
Songo) dari Sultan Banten I, yakni Maulana Hasanuddin Imam Nawawi juga dikabarkan masih memiliki jalur nasab dari Sayyidina Husein r.a, salah
satu cucu Rasulullah Saw. selain Sayyidina Hasan r.a.
Sebutan al-Jawi, menunjukkan bahwa beliau berasal
dari Pulau Jawa, sebab Banten menjadi bagian
dari Pulau Jawa.
Namun, di seantero
dunia, beliau
diberi gelar Sayyidul Hijaz (Maha
Guru Jazirah Arab, Saudi Arabia sekarang). Kebesaran nama Imam Nawawi sepadan
dengan Imam Syafi’i (salah satu tokoh madzhab, sehingga dikenal dengan Madzhab
Syafi’i).
Beliau dilahirkan di Kampung Tanara,
Serang, Banten pada ahun 1815 Masehi, atau 1230 Hijriah, dan beliau wafat pada
tanggal 25 Syawal 1314 Hijriah, atau 1897 Masehi. Imam Nawawi menghembuskan
nafasnya yang terakhir pada usia 84 tahun.
Mulailah Imam Nawawi menjadi
pengajar dan membuka majelis
ilmu sendiri di Masjidil Haram. Semakin hari, murid atau santrinya semakin
banyak. Bahkan, beberapa di antara muridnya merupakan pemuda asal Indonesia
juga, yakni Hadratusy Syeikh KH. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri Nadlatul Ulama
(NU).
Imam Nawawi Banten
merupakan putra
pertama Nusantara Indonesia
yang menjadi Imam Masjidil Haram, dan mendapat
gelar “Sayyidul Hijaz”.
Teladan yang dapat
dicontoh
Syekh
Nawawi pernah menjadi imam di Masjidil Haram, mengajar di Haramain (sebutan
lain dari Makkah Madinah), dan karya-karyanya tersebar juga di Timur Tengah. Di
kawasan Asia Tenggara, khususnya di dunia pesantren, karya-karyanya masih
dipelajari, dikaji, dan ditelaah, bahkan sampai kini menjadi kurikulum tetap di
pesantren.
Gelar
Sayyidul Hijaz bukan sembarang gelar,
dan itu diperoleh di wilayah Timur Tengah, tepatnya di seputar Jazirah Arab
(Makkah-Madinah saat itu), dan Masjidil Haram, khususnya Ka’bah yang menjadi jantung atau pusatnya ajaran Islam. Hal
ini, menjadikan kita sebagai bangsa Indonesia, merasa bangga dan kagum atas
capaian yang diperoleh oleh beliau. Sebab itu,
kalian sebagai generasi penerus dapat mencontoh jejak dan langkah Imam Nawawi.
Karya
Tulisnya
Sejak
tahun 1870 M, kesibukan Imam Nawawi semakin bertambah, karena harus banyak
menulis kitab. Inisiatif menulis, lebih banyak datang dari desakan sebagian
koleganya dan para sahabatnya dari Jawa. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian
besar adalah kitab-kitab komentar (syarh)
dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami.
Alasan menulis syarh, selain karena permintaan pihak lain, Imam Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (tahrif) dan pengurangan. Saat menyusun karyanya, beliau selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, termasuk sebelum naskahnya naik cetak. Karya-karya beliau cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia, karena karya- karyanya mudah dipahami dan mendalam isinya.
Karya tulis beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuskripnya, setelah itu tidak memperdulikan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum Pendidikan Agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di Timur Tengah.
Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut Studi Islam, Universitas of Philippines, ada sekitar 40 sekolah agama tradisional di Filipina yang menggunakan karya Imam Nawawi sebagai kurikulum belajarnya. Selain itu Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk mengajar di kuliahnya.
Tepat tahun 1870 M, para ulama Universitas Al-Azhar Kairo Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundang beliau, karena sudah dikenal di seantero dunia. Semua karya beliau, berbahasa Arab.
Bagi para murid/santri yang pernah sekolah (mondok) di pesantren, tentu karya atau kitab yang disusun oleh Syekh Nawawi sudah pernah dipelajari. Berikut ini, 10 nama kitab karya beliau dari total karya beliau yang berjumlah 115 yang mengupas tentang Fiqh, Tasawuf, Tafsir, dan Hadis, yaitu:
1. Sullam al-Munājah syarah
Safīnah al-Shalāh
2. Bahjah al-Wasāil syarah al-Risālah al-Jāmi’ah bayn al-Usūl wa
al-Fiqh wa al-Tasawwuf
3. al-Tausyīh/Quwt al-Habīb al-Gharīb syarah Fath al-Qarīb al-Mujīb
4. Marāqi al-‘Ubūdiyyah syarah Matan Bidāyah
al-Hidāyah
5. Nashāih al-‘Ibād syarah al-Manbahātu ‘ala al-Isti’dād li yaum al-Mi’ād
6. Qāmi’ al-Thugyān syarah Mandhūmah Syu’bu al-Imān
7. al-Tafsir al-Munīr li al-Mu’ālim al-Tanzīl al-Mufassir ‘an wujūĥ
mahāsin al-Ta΄wil musammā Marāh Labīd li Kasyaf Ma’nā Qur΄an Majīd
8. Nur al-Dhalām ‘ala Mandhūmah al-Musammāh bi ‘Aqīdah al-‘Awwām
9. Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
10. ‘Uqūd al-Lujain fi Bayān Huqūq al-Zaujain.
Karya Imam Nawawi berjumlah + 115, dan sampai
saat ini masih dipelajari bukan hanya di wilayah Asia Tenggara,
tetapi juga kawasan Timur Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar