TATA KRAMA NABI MUSA BELAJAR ILMU KEPADA NABI KHIDIR
Menuntut ilmu adalah salah satu aktivitas
kehidupan yang dianjurkan oleh syariat dengan anjuran yang tegas. Sebagai bukti
ketegasannya, umat manusia diperintahkan menuntut ilmu tanpa batasan dimensi
waktu dan tempat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tuntutlah
ilmu semenjak kamu terbaring di ayunan sampai beristirahat panjang di liang
kuburan”. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China”.
Dua hadits Nabi di atas secara tersirat
menggambarkan akan begitu pentingnya aktivitas menuntut ilmu itu. Hadits
pertama memberi pemahaman bahwa tiada batasan waktu dalam menuntut ilmu. Atau
dengan istilah lain tiada kata terlambat untuk mendapatkan ilmu Allah yang
membahari itu. Sementara hadits kedua
menekankan pemahaman tentang dimensi tempat, artinya aktivitas menuntut ilmu
sama sekali tak terbatas oleh dimensi tempat.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda demikian saat beliau berada di kota Madinah yang saat itu. Sebab, di
tempat itulah Islam tumbuh dan berkembang. Kendati demikian, saat memerintahkan
umatnya menuntut ilmu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam masih menyebutkan
negeri China. Mengapa? Untuk menegaskan bahwa mencari ilmu walau sejauh apa
pun—bahkan sampai ke China—tetap harus dilakukan.
Namun, menuntut ilmu tidaklah sama dengan
mencari kayu bakar di hutan yang hanya tinggal mengumpulkan dan membawanya
pulang. Pencari kayu bakar memiliki kebebasan untuk keluar-masuk hutan kapan
saja dan mengumpulkan kayu apa saja dan sebanyak mungkin. Akan tetapi seorang
penuntut ilmu memiliki tata cara dan aturan dalam mencari ilmu yang dikenal
dengan adãb al-muta’allim.
Al-Imam Fakhruddin ar-Razi, yang hidup di
abad kelima hijriah, dalam kitabnya Tafsir al-Fakhru ar-Razi atau yang lumrah
dikenal dengan Mafãtîh al-Ghaib, memiliki kajian yang sangat mendalam dan
menakjubkan saat menafsirkan surah al-Kahfi ayat 66 yang menceritakan bagaimana
Nabi Musa sebelum berguru kepada Nabi Khidir ‘alaihima as-salam.
Dari firman Allah subhanahu wa ta’ala
yang berbunyi:
قَالَ لَهُ مُوسَىٰ
هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Artinya: Musa berkata kepadanya (Khidir),
“Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar)
yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?”
Al-Imam Fakhruddin ar-Razi berhasil
memunculkan dua belas adab atau tata karma dalam menuntut ilmu. Namun dalam
tulisan ini ada tiga poin adab yang disatukan pembahasannya dengan poin adab
yang lain. Sehingga yang tercantum dalam tulisan ini hanya sembilan adab. Di
antaranya adalah:
1. Mengabdi dan bersikap
tawadhu’ (rendah hati) terhadap guru
Dari kisah Nabi Musa yaitu saat
menyampaikan maksud bahwa beliau hendak ikut kepada Nabi Khidir dengan kalimat هل أتّبعك
(bolehkah aku mengikutimu) memberikan sebuah teladan baik sebagai bentuk adab
kepada seorang guru. Artinya seharusnya seorang murid sebelum menimba ilmu dari
gurunya agar meminta izin terlebih dahulu dengan cara mengikrarkan kesediaannya
untuk ikut dan mengabdi terhadap sang guru. Dan itu adalah sebentuk ketawadukan
atau sikap rendah hati yang begitu agung dari seorang murid.
Dan melalui kalimat أتّبعك
ar-Razi memunculkan satu kesimpulan bahwa dalam menuntut ilmu seorang murid
harus ikut kepada gurunya secara kafah, tanpa syarat dan ketentuan apa pun.
Terbukti saat prosesi permintaan izin untuk ikut dengan Nabi Khidir, Nabi Musa
tidak menyertakan syarat apa pun.
2. Menyatakan diri
sebagai murid yang tak tahu apa-apa
Dalam menuntut ilmu seorang murid
dilarang keras untuk menyanjung dirinya, bersikap angkuh, atau menampakkan
kepintarannya di hadapan sang guru guna menunjukkan bahwa dirinya telah
menguasai satu atau beberapa bidang keilmuan tertentu. Melainkan sebagai bentuk
akhlak mulia dalam menuntut ilmu, seorang murid harusnya menampakkan bahwa ilmu
yang dimilikinya sangatlah dangkal dan tak dalam, sekaligus memuji sang guru
sebagai seorang cendekiawan dengan wawasan yang tinggi. Sehingga menjadi suatu
pendorong kuat untuk memperoleh bimbingan intelektual dari sang guru yang
wawasan intelektualnya membahari itu.
3. Ketidakbolehan
memiliki banyak permintaan kepada guru
Termasuk adab menuntut ilmu, seorang
murid tak ubahnya bagai orang fakir yang mengemis meminta harta kepada seorang
yang kaya raya. Artinya seorang pengemis tidak mungkin meminta seluruh harta
atau separuh dari harta yang dimiliki oleh orang kaya tersebut. Melainkan ia
hanya meminta nol koma sekian persen saja dari persentase seluruh harta si
kaya. Begitu juga seorang murid kepada gurunya. Sang murid tidak diperkenankan
untuk meminta banyak dari ilmu sang guru.
Pendek kata, sebagai murid yang
berakhlak mulia seharusnya agar tidak meminta kepada sang guru dalam hal
keilmuan untuk dijadikan sealim gurunya atau bahkan melebihi kealiman sang
guru. Tentu menyalahi tata karma ketika si pengemis meminta harta berlimpah
kepada seseorang agar memiliki kekayaan yang sama dengan orang yang dimintai
itu. Kendatipun demikian, sebagai guru yang baik dan profesional, pasti
memiliki cita-cita yang luhur untuk para anak didiknya. Yaitu bagaimana setiap
anak didiknya mampu melebihi keilmuan dirinya.
4. Mengakui bahwa semua
ilmu datangnya dari Allah
Adab selanjutnya adalah bertitik fokus
pada pemantapan hati seorang murid bahwa dalam menuntut ilmu sang murid harus
meyakini sepenuhnya bahwa seluruh ilmu datangnya dari Allah subhanhu wa ta’ala.
Bahkan termasuk ilmu yang dimiliki oleh gurunya. Hal ini al-Imam Fakhruddin
ar-Razi mengkajinya melalui kalimat مما علّمت
(sebagian dari ilmu yang diajarkan kepadamu). Jadi dalam konteks ini, Nabi Musa
meminta kepada Nabi Khidir agar beliau berkenan mengajarkan sebagian ilmu yang
diajarkan Allah kepadanya. Adab semacam ini lebih membuka terhadap kasih sayang
seorang guru kepada muridnya. Sehingga ia berkenan untuk mengajarkan dan
membimbing sang murid tersebut.
5. Meminta petunjuk dan
bimbingan dari guru
Sebagaimana telah
maklum bersama bahwa tujuan agung dari belajar dan menuntut ilmu adalah menjaga
diri secara khusus dan umat manusia pada umumnya agar tidak terperosok ke dalam
lubang kesesatan dan kehancuran. Akan tetapi, hanya dengan ilmu, seseorang tidak
akan mampu mengubah ajakan kesesatan itu menjadi spirit kebaikan kecuali dengan
petunjuk dan bimbingan dari seorang guru. Itulah hikmah dari Firman Allah
subhanahu wa ta’ala ممّا علّمت رشدا. Jadi dalam penggalan ayat tersebut terdapat
kalimat علّمت
yang merepresentasikan makna ‘ilmu’ yang disandingkan dengan kata الرشد
(petunjuk).
Dapat disimpulkan bahwa termasuk adab
mulia dalam menuntut ilmu yaitu seorang murid tidak hanya meminta ilmu kepada
gurunya melainkan juga memohon petunjuk, nasihat dan arahan ke jalan yang
benar. Sehingga tujuan pensyariatan menuntut ilmu tersebut tercapai. Karena
banyak umat manusia terjerumus ke jalan yang salah bukan karena tidak tahu
bahwa itu salah. Tetapi karena tidak ada yang memberi nasihat dan dorongan agar
tidak meniti titian kesesatan tersebut.
6. Ketidakbolehan
menentang dan membantah apa yang dilakukan guru
Telah dijelaskan pada poin sebelumnya
bahwa mengabdi adalah salah satu cara merealisasikan adab saat menuntut ilmu,
yang dimana dalam mengabdi kepada guru ada beberapa hal fundamental yang
sekaligus juga menjadi tata krama dalam menuntut ilmu. Salah satunya adalah
taslim menyerahkan diri sepenuhnya kepada sang guru. Hal semacam ini telah
menjadi tradisi di pesantren-pesantren salaf di Indonesia. Dalam hal pernikahan
misalnya, baik santriwan maupun santriwati yang telah taslim kepada seorang
kiai atau pengasuh sebuah pesantren, tidak perlu sibuk mencari pasangan
hidupnya. Karena mereka menunggu keputusan sang kiai tentang kapan dan dengan
siapa mereka akan dinikahkan.
7. Mencari ilmu
pengetahuan tanpa perhitungkan status sosial
Termasuk pelajaran
yang dapat kita petik dari kisah perjalanan nyantri-nya Nabi Musa kepada Nabi
Khidir ialah bahwa menuntut ilmu tidak boleh memperhitungkan status sosial.
Dalam hal ini kata mutiara
“أنظر ما قال ولا تنظر من قال”
(perhatikanlah apa yang dikatakan dan
jangan perhatikan siapa yang mengatakan) yang dituturkan oleh bab al-ilmi
sayidina Ali karramallahu wajhah adalah yang paling tepat untuk mengungkapkan
substansi dari pembahasan dalam poin ini. Nabi Musa 'alaihissalam dalam
perjalanan nyantri-nya tidak pernah sedikit pun mempermasalahkan status sosial
beliau sebagai nabi kaum Bani Israil. Beliau tetap menjunjung tinggi akhlak dan
ketawadukan beliau kepada sang guru. Begitu juga gurunya, Nabi Khidir
'alaihissalam. Sang guru bukannya tidak tahu bahwa yang datang menemui beliau
dan memintanya menjadi guru adalah seorang nabi Bani Israil, sang Kalîmullah,
melainkan karena sang guru paham bahwa kebenaran tidak mesti diberikan kepada
orang dengan status sosial yang tinggi, akan tetapi kebenaran dianugerahkan
kepada siapa saja yang Allah kehendaki.
8. Mondok untuk mengabdi
dan kemudian mengaji
Selanjutnya adalah
soal manajemen waktu. Seorang thâlib al-‘ilmi (pencari ilmu) tatkala berguru,
sebaiknya pertama kali yang ia lakukan adalah mengabdi kepada sang guru, baru
kemudian mengaji dan menimba ilmu dari gurunya. Hal ini kerap diistilahkan
dengan الخدمة قبل العلم
(mengabdi sebelum mengaji). Kajian ini disimpulkan ar-Razi dari penggalan ayat
هل أتّبعك على أن تعلّمني
(apakah aku boleh
mengikutimu agar engkau dapat mengajarkanku..). Dalam penggalan ayat tersebut
penyebutan أتّبعك
yang menjadi representasi dari makna ‘mengabdi’ disebutkan lebih dahulu dari
pada kalimat أن تعلّمني
yang merepresentasikan makna ‘mengaji’.
Sehingga disimpulkan oleh ar-Razi bahwa termasuk adab menuntut ilmu adalah
mendahulukan pengabdian terhadap sang guru sebelum mengaji dan menimba ilmu
darinya.
9. Belajar harus untuk
ilmu bukan yang lain
Adab menuntut ilmu
yang terakhir adalah berkenaan dengan niat dan tujuan menuntut ilmu. Sebagai
penuntut ilmu harus mampu memperbaiki niat dan tujuan dalam menuntut ilmu. Berkaitan
dengan hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته
إلى الله ورسوله، فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة
ينكحها، فهجرته إلى ما هاجر إليه
Artinya: "Seluruh amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang hanya (akan memperoleh ganjaran) dari apa yang diniatkannya. Oleh karena itu, barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya. (HR. Bukhari-Muslim). Nasihat terbaik ar-Razi kepada para penuntut ilmu yang tersirat dalam Mafatih al-Ghaib-nya yaitu agar jangan sampai aktivitas mulianya ternodai dengan niat dan tujuannya sendiri. Menuntut ilmu jangan sekali-kali diniatkan sebagai ladang mencari harta dan tahta di masa mendatang. Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat
Sumber:
https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/9-adab-mencari-ilmu-dari-kisah-nabi-musa-dan-nabi-khidir-J04Iv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar