zmedia

SEJARAH AWAL HARI PAHLAWAN 10 NOVEMBER

 SEJARAH AWAL HARI PAHLAWAN 10 NOVEMBER




Penetapan Hari Pahlawan di tanggal 10 November setiap tahunnya berkaitan erat dengan peristiwa Pertempuran 10 November 1945 dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional Jang Bukan Hari Libur. Menurut aturan Keppres Nomor 316 Tahun 1959, Hari Pahlawan pada 10 November ditetapkan sebagai hari-hari nasional yang bukan hari libur.



Aturan yang sama turut mengatur tentang Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, Hari Angkatan Perang 5 Oktober, Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, dan Hari Ibu 22 Desember sebagai hari-hari nasional. Kendati begitu, seluruh peringatan nasional tadi tidak ditetapkan sebagai hari libur.

Terdapat sejarah Hari Pahlawan 10 November yang dilatarbelakangi oleh peristiwa Pertempuran 10 November 1945 yang terjadi di Surabaya. Dikutip dari buku 'Pengetahuan Sosial Sejarah' karya Drs Tugiyono, Pertempuran 10 November bermula dari kedatangan pasukan Sekutu di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945 silam.

Pada saat itu, kedatangan Sekutu ternyata dibantu oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Kedatangan pihak Sekutu ini ternyata tidak memberikan kabar baik bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya, kondisi tersebut bisa dibilang sebagai awal mula terjadinya peristiwa bersejarah di Indonesia.

Lebih lanjut, pihak Sekutu ternyata dianggap tidak menghormati kedaulatan yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia yang sudah merdeka. Hal inilah yang memicu adanya bentrokan bersenjata antara pihak Sekutu dan juga rakyat yang berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsanya.

Brigadir Jenderal Mallaby selaku komando pasukan Sekutu harus kehilangan nyawanya dalam bentrokan tersebut. Kendati sang komando telah gugur, pasukan Sekutu tak menyerah begitu saja. Sebaliknya, ada pemimpin baru bernama Brigadir Jenderal Mallaby yang justru mengeluarkan ultimatum yang dinilai tak masuk akal bagi rakyat Indonesia pada saat itu.

Ultimatum berisikan keharusan bagi seluruh elemen rakyat Indonesia yang harus menyerahkan senjata dan dirinya di tempat-tempat tertentu. Ultimatum tersebut berlaku sampai tanggal 9 November pukul 6 sore. Di dalamnya turut berisikan ketentuan apabila ultimatum tidak dipenuhi, maka pihak Sekutu akan menyerbu Surabaya di hari berikutnya, yaitu 10 November 1945.

Kendati begitu, rakyat tidak menghiraukannya. Rakyat Surabaya yang dipimpin oleh Gubernur Suryo, Sungkono, dan Sutomo memilih untuk mengarahkan senjatanya. Inilah yang membuat Pertempuran 10 November 1945 menjadi pecah.

Pihak sekutu mengerahkan sekuat tenaga dengan menyerbu Surabaya dari darah, laut, hingga udara. Mereka mendesak rakyat agar pindah ke luar kota. Korban berjatuhan dan api muncul di mana-mana. Kondisi ini benar-benar membuat rakyat Surabaya terjebak dalam kondisi yang begitu mencekam.

Tak berhenti sampai di situ, Sekutu juga terus menghujani bom dari udara dan meriam dari laut. Namun, lagi-lagi rakyat tidak gentar dan perlawanan justru semakin gigih dilakukan. Tidak hanya dilakukan oleh kaum pria saja, bahkan wanita-wanita turut keluar untuk mempertahankan kemerdekaan bangsanya.

Kondisi ini tak hanya merenggut korban yang jumlahnya banyak bagi pihak rakyat Surabaya, tapi juga memicu kerugian besar bagi Sekutu. Salah satu sosok yang begitu gigih mengobarkan semangat dalam pertempuran tersebut adalah Sutomo atau yang lebih dikenal sebagai Bung Tomo.

Tanpa henti, dirinya terus membakar semangat rakyat agar melakukan perlawanan terhadap agresi yang dilakukan oleh pihak Sekutu. Inilah yang membuat perjuangan rakyat pada saat Pertempuran 10 November 1945 dikenal sebagai salah satu peristiwa bersejarah dalam Indonesia yang menginisiasi adanya Hari Pahlawan di tanggal 10 November setiap tahunnya.

Profil Bung Tomo dan Gubernur Suryo Pahlawan Nasional
Menurut laman Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia terdapat total 187 Pahlawan Nasional Indonesia. Dua di antaranya adalah sosok yang berperan penting dalam Pertempuran 10 November 1945. Keduanya tidak lain adalah Sutomo atau Bung Tomo dan Gubernur Suryo. Untuk lebih jelasnya, berikut sekilas profil Bung Tomo dan Gubernur Suryo yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

1.         Sutomo atau Bung Tomo

            Bung Tomo dikenal sebagai sosok yang lahir di Surabaya yang berasal dari keluarga priyayi menengah. Ayahnya merupakan pegawai di instansi pemerintah dan swasta. Sutomo atau yang nantinya lebih dikenal sebagai Bung Tomo, sudah menunjukkan semangat belajar yang tinggi sejak masih berusia kecil.

Sayangnya, kondisi ekonomi yang kurang beruntung justru membuat dirinya harus berhenti dari sekolah. Dirinya memilih untuk melanjutkan pendidikan melalui korespondensi hingga tingkat HBS. Semasa remaja Sutomo juga menunjukkan ketertarikannya pada kepanduan atau Pramuka. Inilah yang menjadi cikal bakal dirinya memiliki semangat juang tinggi di kemudian hari.

Sebagai bagian dari Gerakan Rakyat Baru (GRB), Sutomo dikenal memiliki kemampuan yang sangat baik dalam berorasi. Dirinya beberapa kali mendapatkan kesempatan untuk berpidato di radio guna membakar semangat rakyat.

Puncaknya, di tanggal 10 November 1945 yang mana Sutomo menyampaikan pidato guna menggerakkan semangat rakyat agar terus mempertahankan kemerdekaan dalam melawan Sekutu. Suara Sutomo yang begitu lantang membuatnya dikenal sebagai simbol keberanian rakyat Indonesia agar tidak menyerah mempertahankan kemerdekaan bangsa. Termasuk agar tidak dengan mudah tunduk lagi kepada penjajah.

Tidak hanya saat Pertempuran 10 November 1945 saja, Bung Tomo juga aktif dalam urusan politik di tahun-tahun berikutnya. Dirinya tercatat menjabat sebagai menteri hingga anggota konstituante. Bahkan Sutomo juga dikenal kerap menunjukkan kritik tajam terhadap berbagai kebijakan politik.

Sutomo tutup usia di tahun 1981 silam. Tepatnya saat dirinya tengah melakukan ibadah haji di Padang Arafah, Arab Saudi.

2.         Gubernur Suryo

            Siapa itu Gubernur Suryo? Singkatnya, Gubernur Suryo adalah sosok pemimpin Jawa Timur yang turut berperan penting dalam Pertempuran 10 November 1945. Pada saat Sekutu memasuki wilayah Surabaya, Gubernur Suryo sebenarnya menolak keras ketika diajak untuk berunding.

Tak hanya itu saja, Gubernur Suryo juga beberapa kali menolak undangan yang diberikan dari pihak Sekutu. Pada saat Sekutu mengeluarkan ultimatum bagi rakyat Surabaya, Gubernur Suryo menyampaikan pidato agar rakyatnya tetap tenang. Tidak hanya itu saja, dirinya juga menjelaskan adanya perundingan yang telah dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Ahmad Subarjo dan Inggris, sehingga rakyat diminta menunggu hasilnya.

Kendati begitu, perundingan yang gagal mencapai kesepakatan membuat rakyat memilih untuk menolak ultimatum dari Sekutu. Hal ini memicu adanya bentrok senjata antara rakyat dan Sekutu. Dalam kondisi tersebut Gubernur Suryo sempat memindahkan pemerintahan ke Mojokerto dan Malang.

Kiprah Gubernur Suryo sebagai pemimpin yang turut berjuang dalam mempertahankan kedaulatan bangsa justru menemui akhir yang bisa dibilang cukup menyedihkan. Saat hendak menghadiri peringatan 40 hari wafatnya sang adik di tanggal 1 November 1948, Gubernur Suryo dan rombongannya justru dicegat oleh sisa gerombolan Partai Komunis Indonesia (PKI). Situasi tersebut membuat dirinya dan rombongan dijadikan sebagai tawanan.

Tak butuh waktu lama, Gubernur Suryo dan rombongannya dihilangkan nyawanya dengan cara yang sadis. Berita kematian Gubernur Suryo menimbulkan perasaan pilu bagi rakyat dan orang-orang yang mengenalnya.

Demikian tadi sejarah Hari Pahlawan 10 November lengkap dengan tokoh yang berperan dan profil Bung Tomo sebagai sosok penting dalam peristiwa Pertempuran 10 November 1945. Semoga informasi tadi dapat menambah wawasan baru

Posting Komentar untuk "SEJARAH AWAL HARI PAHLAWAN 10 NOVEMBER"