zmedia

HIKMAH MERENDAH DIRI DALAM MENUNTUT ILMU

 

Hikmah Tentang Rendah Hati dalam Menuntut Ilmu




Di masa kini, adab seorang murid terhadap gurunya kian memudar. Tidak jarang kita mendengar kabar tentang murid yang membantah, meremehkan, bahkan berani berbuat kasar kepada guru. Fenomena ini menunjukkan betapa jauhnya perilaku manusia modern dari teladan para nabi dan ulama terdahulu.

Dalam menuntut ilmu, adab seorang murid memiliki kedudukan yang sangat penting. Adab bukan sekadar bentuk sopan santun, tetapi menjadi kunci agar ilmu yang diperoleh membawa manfaat dan keberkahan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin berkata:

 اَلْوَظِيفَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ لَا يَتَكَبَّرَ عَلَى الْعِلْمِ وَلَا يَتَأَمَّرَ عَلَى الْمُعَلِمِ، بَلْ يُلْقِى إِلَيْهِ زِمَامَ أَمْرِهِ بِالْكُلِّيَةِ فِي كُلِّ تَفْصِيلٍ وَيَذْعَنُ لِنَصِيحَتِهِ إِذْعَانَ الْمَرِيضِ الْجَاهِلِ لِلطَّبِيبِ الْمُشْفِقِ الْحَاذِقِ. وَيَنْبَغِي أَنْ يَتَوَاضَعَ لِمُعَلِّمِهِ وَيَطْلُبَ الثَّوَابَ وَالشَّرَفَ بِخِدْمَتِهِ

Artinya, “Poin ketiga, murid tidak boleh menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya. Ia harus menyerahkan sepenuhnya urusannya kepada guru, serta mematuhi nasihatnya seperti orang sakit yang percaya penuh kepada dokter yang ahli dan penuh kasih. Seorang pelajar hendaknya bersikap tawadhu kepada gurunya dan mengharap pahala serta kemuliaan dengan berkhidmah kepadanya,” (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, [Surabaya, Al-Haramain, tanpa tahun], jilid I, hlm. 50).

Al-Qur’an memberikan contoh indah tentang adab menuntut ilmu melalui kisah Nabi Musa a.s. ketika berguru kepada Nabi Khidhir a.s. dalam Surat Al-Kahfi. Allah berfirman:

قَالَ لَهٗ مُوسٰى هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلٰٓى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Artinya: “Musa berkata kepadanya, ‘Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) dari apa yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?’” (QS Al-Kahfi: 66)

Ayat ini sarat dengan pelajaran mendalam tentang bagaimana seorang murid hendaknya bersikap kepada gurunya. Meskipun Nabi Musa adalah Kalimullah, atau nabi yang langsung berbicara dengan Allah, beliau tetap menunjukkan kerendahan hati dan adab yang tinggi ketika meminta izin untuk belajar kepada Nabi Khidhir.

Imam Ismail Haqqi menegaskan bahwa setiap orang yang menuntut ilmu harus rendah hati di hadapan orang yang lebih berilmu darinya:

 فَيَنْبَغِى لِلْمَرُءِ اَنْ يَتَوَاضَعَ لِمَنْ هُوَ اَعْلَمُ مِنْهُ

Artinya, "Maka sudah sepantasnya seseorang bersikap rendah hati kepada orang yang lebih berilmu darinya," (Ismail Haqqi, Ruhul Bayan, [Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun], jilid V, hlm. 273). Imam

Fakhruddin ar-Razi juga menjelaskan dalam tafsirnya:

 اعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ الْآيَاتِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ مُوسَى عليه السلام رَاعَى أَنوَاعًا كثيرة من الأدب واللطف عند ما أَرَادَ أَنْ يتعَلَّمَ مِنَ الْخَضِرِ

Artinya,

“Ketahuilah bahwa ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Musa a.s. memperhatikan banyak bentuk adab dan kelembutan ketika beliau ingin belajar dari Khidhir,” (Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Kabir, [Kairo, Darul Hadits: 2012], jilid XI, hlm. 156).  

 

Dua Belas Adab Nabi Musa a.s. kepada Nabi Khidhir a.s.

Imam Fakhruddin ar-Razi menguraikan bahwa dalam satu ayat ini terkandung dua belas bentuk adab antara guru dan murid yang luar biasa:

Pertama, merendahkan diri di hadapan guru. Nabi Musa berkata    هَلْ أَتَّبِعُكَ   (Bolehkah aku mengikutimu?). Ucapan ini menunjukkan kerendahan hati dan kesiapan untuk belajar, menempatkan diri sebagai murid yang tunduk dan menghormati gurunya.

Kedua, meminta izin dengan sopan. Beliau tidak langsung mengikuti, tetapi terlebih dahulu meminta izin. Ini mengajarkan bahwa menghormati guru berarti tidak mengambil waktunya tanpa persetujuan, serta menjaga tata krama dalam berinteraksi.

Ketiga, mengakui keterbatasan diri. Dengan mengatakan   عَلى أَنْ تعَلِّمَنِ   (agar engkau mengajarkanku), Nabi Musa menyadari bahwa ada ilmu yang belum ia ketahui. Kesadaran ini adalah cermin kerendahan hati seorang penuntut ilmu.

Keempat, tidak meminta ilmu secara berlebihan. Nabi Musa berkata   مِمَّا عُلِّمْتَ   (sebagian dari ilmu yang telah diajarkan kepadamu). Seolah beliau berkata: “Aku tidak meminta agar disamakan dalam ilmu, tetapi hanya ingin mengambil sebagian darinya, sebagaimana orang miskin meminta sebagian harta dari orang kaya.”

Kelima, menyadari bahwa ilmu berasal dari Allah. Dengan menyebut   مِمَّا عُلِّمْتَ,   Nabi Musa menegaskan bahwa ilmu hakikatnya milik Allah. Guru hanyalah perantara yang diberi amanah untuk menyampaikan ilmu itu.

Keenam, meminta ilmu yang bermanfaat. Beliau memohon    رُشْدًا  (ilmu yang memberi petunjuk). Artinya, tujuan belajar bukan hanya agar pintar, tetapi agar mendapatkan hidayah dan kebaikan dunia akhirat.

Ketujuh, menghargai guru sebagai perantara nikmat Allah. Dalam kalimat   عَلٰى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ   terkandung pengakuan bahwa guru adalah perantara nikmat ilmu dari Allah. Karena itu dikatakan:       أَنَا عَبْدُ مَنْ تَعَلَّمْتُ مِنْهُ حَرْفًا   Artinya, “Aku adalah hamba bagi orang yang telah mengajariku satu huruf.”

Kedelapan, tunduk dan tidak membantah guru. Permintaan untuk mengikuti menunjukkan kesiapan untuk menaati dan tidak membantah. Seorang murid hendaknya bersikap taslim, menerima bimbingan dengan lapang dada.

Kesembilan , mengikuti guru secara total. Nabi Musa menunjukkan komitmen penuh untuk mengikuti dalam segala hal. Ini bukan ketaatan buta, tetapi kesungguhan dalam proses menuntut ilmu.

Kesepuluh, rendah hati meski memiliki kedudukan tinggi. Meski Nabi Musa adalah rasul yang berbicara langsung dengan Allah dan membawa kitab Taurat, beliau tetap tawadhu. Semakin tinggi ilmu seseorang, seharusnya semakin besar pula rasa hormatnya kepada para pemilik ilmu.

Kesebelas, mendahulukan khidmah sebelum menuntut ilmu. Dalam ayat itu, Nabi Musa mendahulukan kata “mengikuti” sebelum “belajar”. Ini mengandung makna bahwa khidmah kepada guru adalah bagian dari proses memperoleh ilmu.

Kedua belas, ikhlas dan tidak mengharapkan imbalan duniawi. Nabi Musa berkata kepada Khidhir:    لَا أَطْلُبُ مِنْكَ عَلَى هَذِهِ الْمُتَابَعَةِ الْمَالَ وَالْجَاهَ وَلَا غَرَضَ لِي إِلَّا طَلَبُ الْعِلْمِ    Artinya, “Aku tidak meminta kepadamu harta, kedudukan, atau kepentingan duniawi apa pun atas pengikutanku ini. Tujuanku semata-mata hanya untuk menuntut ilmu.”

Dari satu ayat saja, tersimpan dua belas pelajaran adab yang luar biasa. Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidhir adalah cermin bagi para penuntut ilmu di segala zaman. Ia menegaskan bahwa keberkahan ilmu tidak hanya terletak pada banyaknya pengetahuan, tetapi pada adab yang menyertainya.

Di masa kini, dengan berkembangnya teknologi dan metode pembelajaran yang semakin cepat dan praktis, adab dalam menuntut ilmu seringkali terabaikan. Guru dan murid tidak lagi terbatas pada interaksi tatap muka, sehingga penting bagi keduanya untuk tetap menjaga etika dalam berkomunikasi, baik secara langsung maupun melalui media digital. Murid hendaknya selalu menunjukkan rasa hormat dan kerendahan hati kepada guru, serta menghargai setiap ilmu yang disampaikan, meskipun medium pembelajarannya berbeda.

Dalam dunia yang serba cepat dan pragmatis ini, para pencari ilmu hendaknya kembali meneladan adab para nabi, agar ilmu yang diperoleh tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga menjadi cahaya yang menuntun menuju kebaikan dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

 

Sumber: https://islam.nu.or.id/hikmah/kisah-nabi-musa-dan-khidhir-hikmah-tentang-rendah-hati-dalam-menuntut-ilmu-e6Hyl

Posting Komentar untuk "HIKMAH MERENDAH DIRI DALAM MENUNTUT ILMU"