Bagaimana Puasa Umat
Sebelum Nabi Muhammad?
"Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa," (QS al-Baqarah [2]: 183). Menjelang atau memasuki bulan suci Ramadhan,
kita cukup sering mendengar ayat yang satu ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Artinya: "Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa," (Q.S. al-Baqarah [2]:
183).
Hampir setiap khatib
dan penceramah mengawali uraian atau muqaddimahnya dengan ayat ini. Berbagai
hal yang berkenaan dengan puasa pun telah dibahas tuntas oleh mereka. Mulai
dari dasar hukum, aturan fiqih, hikmah, hingga serba-serbi, sudah menjadi
sederet topik yang disajikan di hadapan para jamaah.
Namun, ada satu topik
yang sepertinya belum banyak diangkat, yakni bagaimana puasanya orang-orang
terdahulu sebelum kita, seperti diungkap dalam penggalan ayat di atas,
“sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” Mengutip pendapat Abu Ja‘far, al-Thabari
(w. 310) dalam Tafsîr-nya (Jeddah: Muassasah al-Risalah, Cetakan I, 2000, Jilid
3, h. 410) menyatakan bahwa para ulama tafsir sendiri berbeda pendapat mengenai
maksud “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu,” di atas.
Sebagian ada yang
menyatakan, penekanan tasybîh atau perumpamaan di sana adalah kewajiban
puasanya. Sedangkan yang lain menekankan orang-orang yang berpuasanya. Kendati
demikian, kedua perbedaan ini tetap bermuara pada maksud orang-orang terdahulu
beserta cara, waktu, dan lama puasa mereka.
Jika penekanannya
adalah orang-orang berpuasa yang sama dengan kita, jelas maksudnya adalah kaum
Nasrani. Sebab, mereka diwajibkan berpuasa Ramadhan di mana waktu dan lamanya
sama seperti puasa yang difardhukan kepada kita. Hal itu seperti yang dikutip al-Thabari
dari Musa ibn Harun, dari ‘Amr ibn Hammad, dari Asbath, dari al-Suddi. Ia
menyatakan, “Maksud orang-orang sebelum kita adalah kaum Nasrani. Sebab, mereka
diwajibkan berpuasa Ramadhan. Mereka tidak boleh makan dan minum setelah tidur
(dari waktu isya hingga waktu isya lagi), juga tidak boleh bergaul suami-istri.
Rupanya, hal itu cukup memberatkan bagi kaum Nasrani (termasuk bagi kaum
Muslimin pada awal menjalankan puasa Ramadhan). Melihat kondisi itu, akhirnya
kaum Nasrani sepakat untuk memindahkan waktu puasa mereka sesuai dengan musim,
hingga mereka mengalihkannya ke pertengahan musim panas dan musim dingin.
Mereka mengatakan, ‘Untuk menebus apa yang kita kerjakan, kita akan menambah
puasa kita sebanyak dua puluh hari.’ Dengan begitu, puasa mereka menjadi 50
hari. Tradisi Nasrani itu juga (tidak makan-minum dan tak bergaul suami istri)
masih terus dilakukan oleh kaum Muslimin, termasuk oleh Abu Qais ibn Shirmah
dan Umar ibn al-Khathab. Maka Allah pun membolehkan mereka makan, minum, bergaul suami-istri,
hingga waktu fajar.”
Ada pula yang
berpendapat bahwa maksud orang-orang terdahulu di sana adalah Ahli Kitab, dalam
hal ini adalah kaum Yahudi, sebagaimana dalam riwayat Mujahid dan Qatadah.
Dalam riwayatnya, Qatadah mengungkapkan, “Puasa Ramadhan telah diwajibkan
kepada seluruh manusia, sebagaimana yang diwajibkan kepada orang-orang sebelum
mereka. Sebelum menurunkan kewajiban Ramadhan, Allah menurunkan kewajiban puasa
tiga hari setiap bulannya.” Namun
demikian, status wajib puasa tiga hari ini ditolak oleh sahabat yang lain.
Menurut mereka, puasa tiga hari yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam itu bukan wajib, melainkan sunnah. Pasalnya, tidak ada riwayat
kuat yang dijadikan hujjah bahwa ada puasa wajib sebelum puasa Ramadhan yang
diberikan kepada umat Islam. Kendati ada puasa yang wajib sebelum Ramadhan,
maka ia sudah dihapus (mansukh) dengan kewajiban puasa Ramadhan. Demikian
seperti yang dikemukakan dalam Tafsir al-Thabari.
Dalam riwayat lain,
selain puasa tiga hari dalam sebulan, Rasulullah juga menjalankan puasa
‘Asyura, yakni puasa yang biasa dilakukan oleh orang-orang Yahudi pada 10
Muharram. Bahkan, kaitan dengan puasa ‘Asyura ini, Ibnu ‘Abbas meriwayatkan,
“Sewaktu datang ke Madinah, Rasulullah mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa
pada hari ‘Asyura. Beliau bertanya, ‘Hari apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Ini hari
yang agung dimana Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan bala tentara
Fir‘aun. Maka kaum Yahudi pun puasa sebagai wujud syukur.’ Beliau lalu
bersabda, ‘Aku tentu lebih utama terhadap Musa dan lebih hak menjalankan puasa
itu dibanding kalian.’ Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan para sahabat
berpuasa pada hari itu.”
Berdasarkan
riwayat al-Dhahak, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas‘ud. Ia menyatakan bahwa puasa tiga
hari setiap bulan juga biasa dilakukan oleh Nabi Nuh a.s., juga oleh para nabi
setelahnya, kemudian diikuti oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Puasa
mereka dilakukan selama tiga hari setiap bulannya dan berbuka pada waktu isya.
Bahkan, disebutkan
bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam pun pernah menjalankan puasa tiga hari ini.
Diriwayatkan, sewaktu diturunkan dari surga ke muka bumi, Nabi Adam terbakar
kulitnya oleh matahari, sehingga tubuhnya menghitam. Kemudian, ia berpuasa pada
hari ketiga, yakni tanggal lima belas. Kemudian, ia didatangi oleh malaikat
Jibril dan ditanya, “Wahai Adam, maukah tubuhmu kembali memutih?” Nabi Adam
menjawab, “Tentu saja.” Malaikat Jibril melanjutkan, “Berpuasalah engkau pada
tanggal 13, 14, dan 15.” Ia pun berpuasa. Pada hari pertama, memutihlah
sepertiga tubuhnya. Pada hari kedua, memutihlah dua pertiga tubuhnya. Pada hari
ketiga, memutihlah seluruh tubuhnya. Maka kemudian puasa ini disebut dengan
puasa “ayyamul bidl” atau “hari-hari putih”.
Di samping itu, dalam
Tafsîr al-Thabari kembali dikemukakan, puasa ‘Asyura juga pernah dilaksanakan
oleh Nabi Nuh ‘alaihis salam sewaktu turun dengan selamat dari kapal yang
ditumpanginya. Disebutkan, pada awal bulan Rajab, Nabi Nuh ‘alaihis salam mulai
menaiki kapalnya. Saat itu, ia bersama para penumpang lainnya berpuasa. Kapal
pun berlayar hingga enam bulan lamanya. Pada bulan Muharram, kapal berlabuh di
gunung Judi, tepat pada hari ‘Asyura. Maka ia pun berpuasa, tak lupa memerintah
para penumpang lain, termasuk hewan bawaannya, untuk turut berpuasa sebagai
bentuk syukur kepada Allah.
Selanjutnya, puasa
orang-orang terdahulu juga dapat dilacak dari sabda Rasulullah sendiri sewaktu
ditanya oleh seorang laki-laki, “Bagaimana menurutmu tentang orang yang
berpuasa satu hari dan berbuka satu hari?” Beliau menjawab, “Itu adalah
puasanya saudaraku, Dawud a.s.” Bahkan
dalam hadits lain, beliau menyatakan:
أَفْضَلُ الصَّوْمِ صَوْمُ
أَخِي دَاوُدَ، كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
Sebaik-bainya puasa
adalah puasa saudaraku, Dawud a.s. Ia berpuasa satu hari dan berbuka satu hari,
(H.R. Ahmad). Berdasar hadits di atas,
Nabi Dawud ‘alaihis salam juga memiliki kebiasaan berpuasa selang sehari. Puasa
itu kemudian disunnahkan oleh Rasulullah kepada umatnya. Demikian halnya puasa
‘Asyura dan puasa “ayyamul bidl”.
Dari uraian di atas,
dapat ditarik dua kesimpulan besar mengenai tafsir penggalan ayat “sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” Sebagian mengatakan, maksud ayat itu
adalah adanya kesamaan kewajiban puasa antara umat terdahulu dengan umat Islam.
Sedangkan waktu, cara, dan lamanya tentu saja berbeda, seperti puasa Dawud,
puasa ‘Asyura bagi umat Yahudi, puasa “ayyamul bidl” yang biasa dilaksanakan
Nabi Nuh, Nabi Adam, dan Rasulullah sebelum turun perintah puasa Ramadhan.
Ada lagi yang menafsirkan
adanya kesamaan kewajiban puasa, baik waktu maupun lamanya, seperti puasa
Ramadhan bagi umat Nasrani. Mereka wajib menjalankannya pada Ramadhan selama 30
hari, namun karena keberatan kemudian mereka mengalihkannya ke pertengahan
musim panas dan dingin dengan penambahan hari.
Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat,,
Sumber:
https://www.nu.or.id/syariah/bagaimana-puasa-umat-sebelum-nabi-muhammad-3tWcs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar