Sejarah Pembuangan Anak sebelum Datangnya Islam
Bangsa Arab sebelum datangnya Islam dikenal dengan bangsa yang
berpengetahuan. Mereka mampu melahirkan banyak penyair-penyair hebat yang
sastranya begitu indah dan penuh makna. namun sayangnya, peradaban di sana
lebih dekat pada tradisi amoral, perbuatan dan perilaku kesehariannya tidak
menunjukkan kepedulian pada moral dan kemanusiaan yang disebabkan oleh
pandangan mereka yang nihil tentang kesopanan. Itu sebabnya bangsa Arab dikenal
dengan bangsa Jahiliyah pada masa itu.
Salah satu perilaku dan kebiasaan tidak manusiawi yang mereka lakukan pada
masa itu adalah membuang anak wanitanya. Mereka beranggapan bahwa anak wanita
hanya membawa sial bagi keluarganya dan tidak akan memberikan manfaat apa-apa,
berbeda dengan anak laki-laki, mereka sangat bangga dan bahagia dengan
kehadiran laki-laki.
Imam Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H) dalam kitab
tafsirnya mengatakan bahwa penyebab orang Arab membuang bayi wanita saat itu
karena setidaknya tiga alasan,
(1) karena khawatir ditimpa
kemiskinan, baik kemiskinan orang tua yang memeliharanya, atau kemiskinan anak
itu ketika dewasa;
(2) anak wanita
tidak bisa bekerja sebagaimana anak laki-laki; dan
(3) karena khawatir anak perempuan
mereka diperbudak. (Imam ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Ihya
at-Turats: 1420], juz 20 halaman 330).
Peradaban ini terus berlanjut di Arab. Mereka tidak
rela jika dalam keluarganya terdapat anak perempuan. Gengsi, khawatir tidak
makan, dan takut tidak bisa bekerja dijadikan alasan untuk membuang anak
perempuan di zaman itu.
Sejarah Pembuangan Anak, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
(wafat 852 H) dalam kitabnya mengisahkan awal mula terjadinya kebiasaan
membuang anak perempuan di kalangan bangsa Arab. Dalam kitabnya dikisahkan
bahwa orang pertama yang melakukan perbuatan tidak manusiawi ini adalah Qais
bin Ashim at-Tamimi,
أَوَّلُ مَنْ فَعَلَ
ذَلِكَ قَيْسُ بْنُ عَاصِم التَّمِيْمِي
Artinya, “Orang pertama yang melakukan itu (mengubur
anak wanita hidup-hidup) adalah Qais bin Ashim at-Tamimi.” (Ibnu Hajar, Fathul
Bari Syarh Shahihil Bukhari, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1379], juz X, halaman
406).
Kisah ini bermula ketika Nu’man bin Mundzir (penguasa
Iraq) memimpin pasukan besar untuk menyerang musuh-musuhnya (termasuk Bani
Tamim) dan mereka berhasil memenangkan peperangan ini. Mereka menyita harta dan
membawa gadis-gadis Bani Tamim sebagai tawanan. Tidak lama setelah itu, para
pembesar Bani Tamim memohon kepada Nu’man bin Mundzir agar gadis-gadis yang
dijadikan tawanan itu dikembalikan. Namun sayangnya, beberapa di antara
gadis-gadis Bani Tamim telah menikah selama ditawan, sehingga ia memberi
kesempatan kepadanya untuk memilih antara memutuskan hubungan dengan orang
tuanya atau bercerai dengan suaminya dan kembali pada orang tuanya.
Salah satu pembesar Bani Tamim yang memohon agar gadis-gadis
itu dikembalikan kepada Bani Tamim adalah Qais bin Ashim. Namun sayang,
putrinya lebih memilih untuk tinggal bersama suaminya dan memutus hubungan
dengan orang tuanya. Keputusan putrinya itu sungguh sangat menyakitkan hati
Qais bin Ashim. Ia merasa telah dikhianati oleh putrinya sendiri, hingga
kemudian ia bertekad untuk membunuh anak wanitanya yang lahir di kemudian hari.
Tradisi ini kemudian menyebar di kalangan Bani Tamim dan suku-suku lainnya,
ثم حصل
بينهم صلح فخير ابنته فاختارت زوجها فآلى قيس على نفسه أن لا تولد له بنت إلا
دفنها حية فتبعه العرب في ذلك
Artinya, “Kemudian setelah terjadi perdamaian antara
Bani Tamim dan penguausa Iraq, ia mempersilahkan untuk memilih, kemudian
putrinya lebih memilih suaminya, sehingga (pilihan itu) membuat marah Qais,
bahkan ia berjanji pada dirinya untuk tidak melahirkan anak perempuan kecuali
akan menguburnya hidup-hidup. Kejadian ini terus diikuti oleh orang-orang
Arab.” (Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, 10/406).
Islam Datang Setelah kejadian tidak manusiawi ini
terus berlanjut di Arab, kemudian datanglah Islam untuk mengajarkan moralitas
yang luhur kepada mereka. Islam datang sebagai penolong bagi kaum perempuan
yang diperlakukan dengan tidak manusiawi di sana. Nabi Muhammad dengan risalah
yang dibawanya membimbing masyarakat Arab dan mengarahkan mereka perihal moral
yang mulia.
Dengan ajaran dari nabi, akhirnya tradisi Arab yang
biasa mengubur anak perempuan itu terkikis dan tidak lagi terjadi penguburan
anak perempuan. Alasan khawatir tidak bisa makan tidak lagi bisa dibenarkan,
karena pada hakikatnya Allah yang akan menanggung semua itu. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
وَلَا
تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
Artinya, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu
karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu.
Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.” (QS Al-Isra’, [17]: 31).
Demikian penjelasan perihal kisah pembuangan anak yang terjadi sebelum
datangnya Islam. Semoga bermanfaat.
Sumber:
https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-pembuangan-anak-sebelum-datangnya-islam-duabb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar