Pentingnya Menjaga Lidah
Pentingnya Menjaga Lidah
Lidah atau lisan bisa dikatakan sebagai bagian anggota tubuh yang sangat berharga. Betapa tidak! Melalui lisan yang tidak tertata, muncul pertengkaran dan perselisihan. Lisan juga, bisa membuat malapetaka yang besar, bahkan pembunuhan yang tidak terkira akibatnya. Selanjutnya, penggunaan lisan yang tidak terjaga, menjadikan perang yang menimbulkan korban jiwa mulai dari hitungan yang kecil, sampai mencapai ribuan, bahkan jutaan.
Sebaliknya,
melalui lisan juga muncul pelbagai macam kedamaian, kesejukan, cinta dan
harapan yang tersemai di lubuk jiwa untuk satuan, puluhan, ribuan, jutaan
bahkan milyaran umat manusia. Masih banyak manusia yang tetap memelihara
harapan, meski kondisinya memprihatinkan dan mengenaskan, karena masih percaya
kepada janji-janji yang disampaikan.
Misalnya,
melalui lisan para nabi dan rasul, dalam bentuk wahyu atau shuhuf (shahifah),
saat kini masih banyak dijumpai manusia beriman dengan segala plus minusnya.
Karena itu, kita semua, termasuk sebagai pelajar harus tetap rajin belajar dan
sungguh menuntut ilmu, meskipun di sekitar kalian muncul pelbagai macam berita
dan informasi negatif tentang kondisi negara dan dunia yang semakin
mengkhawatirkan, akibat problema yang semakin menumpuk, dunia yang memasuki
jurang resesi, ditambah adanya penyakit yang masuk ke dalam kelompok pandemi
(misalnya Covid 19).
Berlandaskan
paparan tersebut, lidah dan lisan kita harus tetap dijaga dengan baik (Q.S.
al-Ahzāb/33: 70-71). Tipis sekali perbedaan antara bahagia dan celaka serta
senang susah, hanya dari penggunaan lidah. Apalagi jika dikaitkan dengan ajaran
Islam yang sudah memberi rambu-rambu dalam penggunan lidah. Kita diingatkan
oleh Allah Swt. dengan fiman-Nya, yakni:
Artinya: Pada hari, (ketika) lidah, tangan dan kaki
mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan (Q.S.
an-Nūr/24: 24).
Ayat ini menjelaskan, saat
orang-orang yang begelimang dosa akan diazab oleh Allah Swt. di akhirat nanti,
mereka membantah dan mengingkari perbuatan buruk mereka, maka anggota tubuhnya
menjadi saksi. Lidah, lisan, tangan dan kaki mereka menjadi saksi dan
menceritakan dengan rinci apa saja yang mereka lakukan, sehingga tidak bisa
berdalih lagi.
Bahkan di ayat lain
(khususnya di Q.S. Yāsīn), lisan dan mulut akan dikunci, termasuk diingatkan
juga, bahwa lisan itu adalah anugerah Allah, kita semua dapat berbicara juga
atas karunianya, lalu kenapa disalahgunakan? (perhatikan isi kandungan Q.S.
Fushshilat/41: 21).
Allah Swt. berfirman di
Q.S. Yāsīn/36: 65
Artinya: Pada hari ini, Kami tutup mulut mereka;
tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian
terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan (Q.S. Yāsīn/36: 65).
Rasulullah
Saw. juga mengingatkan kita, bahwa keselamatan manusia tergantung pada
kemampuannya dalam menjaga lisannya. Seperti makna dasar Islam sendiri yang
berarti selamat dan aman. Semua itu, mengajarkan kepada kita bahwa lidah dan
lisan ini, harus digunakan dengan benar, sehingga diri sendiri terselamatkan,
apalagi pihak lain. Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah Saw. bersabda: “barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah berbiacara yang baik, atau (jika tidak mampu) maka diamlah.” (HR. al-Bukhāri)
Lisan: Antara Fitnah,
Ghibah, dan Buhtan
Penggunaan
lisan yang tidak pada tempatnya, mengakibatkan 3 hal (fitnah, ghibah, dan
buhtan) yang menjerumuskan diri sendiri, pihak lain, bahkan sampai level negara
dan dunia. Mari kita pahami, kenapa itu terjadi? Lisan yang tidak terjaga,
menghasilkan fitnah. Mendengar kata fitnah saja, kalian sudah geleng-geleng
kepala, betapa ngeri akibat fitnah.
Fitnah
adalah bahasa Arab yang terdapat dalam al-Qur’an dan dipakai oleh orang
Indonesia, tetapi makna fitnah yang dipahami oleh orang Indonesia berbeda dengan
makna fitnah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an kata fitnah
memiliki beberapa arti, antara lain cobaan, siksa artinya Ini ).
Sedangkan
makna fitnah yang dipahami masyarakat di Indonesia berdasarkan KBBI adalah
perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud
menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang).
Dalam pembahasan bab ini, maksud dari fitnah adalah yang dipahami masyarakat
Indonesia, yakni merupakan komunikasi satu orang atau lebih yang bertujuan
untuk memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa yang dilakukan oleh pihak
lain berdasarkan fakta palsu yang dapat mempengaruhi penghormatan, wibawa, atau
reputasi seseorang.
Islam
melarang perbuatan fitnah, karena banyak bahaya yang ditimbulkan, antara lain: penderitaan
menyebar kemana-mana, dan jangan lupa bahwa tangisan dan rintian doa orang yang
difitnah (termasuk orang dizalimi), doanya cepat diterima oleh Allah Swt; dan
mencelakai diri sendiri, baik cepat maupun lambat.
Selanjutnya,
melalui lidah yang tidak tertata juga, muncul ghibah (lihat isi kandungan Q.S.
al-Hujurat/49: 12), termasuk buhtan. Keduanya sama-sama menimbulkan
perselisihan, pertengkaran, dan akibat buruk lain yang lebih besar. Pada titik
inilah, sekali lagi, sangat penting bagi kita semua, agar pandai-pandai menjaga
lidah dan lisan.
Ghibah
adalah membicarakan orang lain yang tidak hadir, sesuatu yang tidak disenanginya.
Termasuk yang dibicarakan itu, sesuai dengan keadaan orang yang dibicarakan.
Jika yang dibicarakan itu, keburukan orang yang disebut, tidak disandang oleh
yang bersangkutan, itulah yang dinamakan buhtan/ (bohong besar).
Hadis
berikut ini, menambah pemahaman kita tentang ketiga istilah tersebut, yaitu:
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: tahukah kalian apa itu ghibah? Para sahabat menjawab Allah dan Rasulnya lebih tahu. Rasul menjawab, “kamu menyebut saudaramu sesuatu yang tidak disukainya.” Lalu para sahabat bertanya, “Bagaimana jika yang disebutkan itu benar? Rasulullah menjawab, “jika yang disebutkan itu benar, maka kamu telah melakukan ghibah (membicarakan aib orang). Dan sekiranya yang disebutkan itu tidak benar, maka engkau telah melakukan buhtan (kebohongan).” (HR. Muslim)
Petunjuk Menjaga Lisan
Berikut ini, beberapa petunjuk Islam dalam penggunaan
lisan, antara lain:
1. Menjauhi
kebiasaan berkata bohong dan tidak bermanfaat. Jangan pula berbicara yang berlebihan.
2. Jauhi
pembicaraan yang batil, kotor, dan jorok
3. Jangan
berbicara dusta atau palsu. Ingat! Tanda-tanda orang munafik, salah
satunya, jika berbicara berdusta atau bohong.
4. Jangan
gunakan lisanmu untuk menggunjing (Q.S. al-Hujurāt/49: 12)
5. Jangan
berkata kasar (Q.S. Ali Imrān/3: 159). Jauhi pula melakukan celaan dan
melaknat orang lain.
6. Jangan
mengadu domba, dan jangan pula mudah marah
7. Jawablah
panggilan orang tua dengan sopan dan santun (Q.S. al-Isrā’/17: 28),
serta jauhi banyak berbantah-bantahan.
Menutup Aib Orang Lain
Pengertian
Aib adalah cela, cacat,
nista, noda, perilaku hina, atau ada juga bermakna kiasan, yaitu: arang di
muka. Biasanya digunakan dalam kalimat, bagaikan menaruh arang di muka. Melalui
kalimat itu, yang bersangkutan sudah dibuka aibnya, sehingga sangat malunya,
hancur lebur martabat dan nama baiknya, seakan-akan sudah runtuh hidupnya,
disebabkan aibnya dibuka atau tersebar.
Begitu beratnya keburukan
akibat aib yang dibuka, maka siapa pun kita, jika mengetahui aib, maka
hendaklah kita menutupi dan menyimpan rapat- rapat aib tersebut, jangan sampai
malah disebar ke khalayak ramai. Kenapa bisa begitu? Jawabannya jika kita
sendiri mempunyai aib, inginnya aib itu disimpan rapat-rapat dan enggan jika
aib itu tersiar.
Tidak ada satu pun manusia
yang ingin aib dibuka. Aib adalah keburukan yang bersifat rahasia. Disebabkan
sifatnya yang rahasia, biasanya hanya diketahui oleh yang bersangkutan, atau
beberapa orang tertentu. Mayoritas orang, bahkan bisa dikatakan ‘orang gila’,
ingin aibnya terus tersembunyi, tidak ada yang ingin aibnya terbuka atau
disiarkan pihak lain.
Setiap manusia, tampil dengan kelebihan dan kekurangan. Itu sifat dasar yang dimiliki setiap orang. Hal terbaik yang dapat dilakukan seseorang, sepanjang hidupnya adalah terus menemukan kelebihan, dan di saat yang bersamaan mampu mengurangi kekurangan dirinya. Di antara kekurangan itu, muncul aib-aib yang harus ditutupi, dikarenakan pelbagai macam sebab dan alasan.
Macam-Macam Aib
Jika ditinjau dari sifatnya, maka aib dibagi menjadi
2, yakni:
1. Aib
Dzahir, yaitu: aib yang nampak dan dapat diketahui secara lahir, jika
diperhatikan betul. Misalnya cacat pada barang-barang perdagangan, contohnya
buah-buahan yang busuk, atau mebeler yang kelihatan cacatnya.
2. Aib
Tersembunyi, yaitu aib yang tidak nampak, karena disembunyikan. Tidak terlihat,
meski sudah diperhatikan betul-betul. Ambil contoh, beras yang sudah dicampur
antara beras premium, super, dengan golongan yang biasa. Atau kacang-kacangan
yang bagus atasnya, sementara yang bawah kondisinya kurang baik. Semuanya tidak
kelihatan, jika tidak diurai atau dibuka semuanya.
Kedua macam aib ini, dapat
disematkan kepada manusia, meski yang banyak dibicarakan adalah aib yang masuk
kelompok kedua. Kedua aib inilah yang ingin disembunyikan dan ditutupi, jangan
sampai tersiar ke khalayak ramai, karena menimbulkan malu, bahkan bisa
menyebabkan minder.
Aib dan Medsos
Dunia modern dengan
kecanggihan teknologinya, menambah beban lagi bagi manusia, meskipun melalui
teknologi pula, manusia dimudahkan hidupnya. Di titik inilah, pentingnya
teknologi itu tetap dipandu norma agama dan aturan moral, sehingga orang tidak
mudah menyalahgunakan teknologi.
Di antara penyalahgunaan
teknologi adalah orang begitu mudah membuka aib orang lain. Hal ini boleh jadi
dilatarbelakangi adanya rivalitas (persaingan), persinggungan kepentingan,
bahkan sifat iri dengki yang dimiliki. Saat ini, orang begitu mudah tumbang
nama baik dan martabatnya dari penyalahgunaan media sosial (medsos), baik dari
WhatsApp, Twiner, Instagram maupun Facebook, Telegram, bahkan Blog. Contohnya,
ada raja, presiden atau calon presiden, perdana menteri, atau tokoh
berpengaruh, bisa turun tahta sendiri atau diturunkan oleh rakyatnya, akibat
aibnya dibuka di tengah-tengah masyarakatnya, melalui medsos atau media
internet lainnya. Hal ini bukan hanya terjadi di negara kita, tetapi juga
terjadi di negara-negara lain.
Peristiwa tersebut, membawa
kesadaran kepada kita, agar hidup ini jangan banyak kesalahan, dosa dan
kemaksiatan (baik pelanggaran menurut pandangan Allah Swt. maupun manusia).
Sebab, banyaknya kesalahan sama saja dengan menumpuk aib dan berakibat hidupnya
banyak dilakukan hanya untuk menutupi aib, akhirnya tidak menemukan ketenangan
dan ketenteraman dalam hidupnya.
Pada titik inilah, Islam
membimbing kita, bahkan sejak kecil, kita diajarkan untuk menjauhi perbuatan
dosa dan kemaksiatan. Jikalau juga melakukannya, segera dan cepat bertaubat,
agar aibnya terkikis, sehingga hidupnya produktif dan optimal, akhirnya
keberhasilan demi keberhasilan yang didapatkan.
Tersimpul, bahwa aib itu
harus ditutupi. Jangan mudah menggerakkan jari yang dikaitkan
dengan medsos. Teliti dan selektiflah dalam menerima informasi. Jika itu benar,
share! Sebaliknya, jika tidak, ya jangan dishare.
Begitu juga, tercela
sekali, jika ada orang yang mencari-cari kesalahan atau aib seseorang. Kita
diingatkan oleh Allah Swt. melalui firmannya, yaitu:
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah
banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang
menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang (Q.S.
al-Hujurāt/49: 12).
Melalui ayat ini, Allah
Swt. melarang orang beriman melakukan prasangka buruk, mencari-cari kesalahan
pihak lain, dan melarang bergunjing. Bahkan, bagi yang gemar bergunjing
diumpamakan seperti orang yang memakan daging saudaranya yang sudah meninggal.
Sungguh perilaku yang bukan saja menimbulkan dosa, tetapi juga amat menjijikkan.
Rasulullah Saw Bersabda:
Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw.
Bersabda: Barang siapa menutupi aib saudaranya di dunia, maka Allah akan
menutupi aibnya di dunia dan akhirat.’ (HR. Muslim).
Berdasarkan penjelasan tersebut, janganlah kita menjadi
pribadi yang suka membuka aib orang. Meskipun jika dikaitkan dengan kondisi
saat ini di Indonesia, muncul begitu banyak infotainment yang mengulas gaya
hidup para selebriti, baik yang ditayangkan di televisi maupun di majalah atau
koran, yang mayoritas mengumbar aib diri sendiri maupun orang lain.
Akibat Aib
Aib bukan saja membawa madharat (bahaya) kepada yang bersangkutan,
tetapi juga pihak lain, termasuk masyarakat luas. Kisah Nabi Musa a.s. dengan
umatnya dapat dijadikan ibrah (pelajaran). Secara umum, kisahnya sebagai
berikut: Terjadi kemarau panjang, lalu Sang Nabi mengajak umatnya untuk Shalat
Istisqa’. Anehnya setelah dilakukan, ternyata hujan tidak turun-turun.
Akhirnya Shalat
Istisqa’ dilakukan berkali- kali, namun tidak kunjung turun hujan juga. Lalu
Nabi Musa a.s mengadu kepada Allah Swt. kenapa tidak turun hujan? Dijawab oleh
Allah Swt., hal itu disebabkan ada di antara umatmu yang suka berbuat dosa dan
maksiat. Syarat hujan akan turun, jika peserta itu, harus keluar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar