HUBUNGAN IMAN, ISLAM DAN IHSAN
Iman merupakan pondasi awal, bila iman diumpamakan sebagai pondasi rumah, sedangkan islam merupakan bangunan yang berdiri diatasnya. Maka apabila iman seseorang melemah Islamnya pun akan condong dan cenderung melemah. Contoh dalam realitas kehidupan kita semisal pelaksanaan salat yang tertunda karena urusan dunia sehingga tidak dilakukan pada waktunya atau malah mungkin tidak dikerjakan. Zakat yang seharusnya dikeluarkan tidak tersalurkan, puasa yang tak terlaksana karena alasan lapar, dan lain sebagainya. Perhatikan Surah Fatir ayat 32:
ثُمَّ
اَوْرَثْنَا الْكِتٰبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَاۚ فَمِنْهُمْ
ظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖۚ وَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌۚ وَمِنْهُمْ سَابِقٌۢ بِالْخَيْرٰتِ
بِاِذْنِ اللّٰهِۗ ذٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيْرُۗ
Artinya, ”Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”. (Q.S. Fatir: 32)
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa terdapat tiga macam orang mengamalkan ajaran Islam yaitu:
Pertama,
orang yang zalim kepada dirinya sendiri yaitu orang yang berlebihan dalam
mengamalkan sebagian kewajiban, serta seringkali melakukan sesuatu hal yang
terlarang. Kedua, orang yang tak berlebihan yaitu orang yang melaksanakan
kewajiban dan menjauhi larangan tetapi seringkali meninggalkan ibadah sunnah
dan melakukan hal-hal yang dimakruhkan. Mereka akan masuk surga atas anugerah
yang telah diberikan Allah.
Ketiga,
orang yang selalu berlomba-lomba dalam kebaikan yaitu orang yang menjalankan
kewajiban juga hal yang disunnahkan serta menjauhi hal yang haram dan yang
dimakruhkan serta meninggalkan sesuatu yang dihukumi mubah. Golongan ini akan
diberikan keistimewaan oleh Allah yaitu masuk surga tanpa adanya perhitungan
amal (hisab). Golongan inilah yang merupakan ciri manusia sempurna (insan
kamil).
Iman
seseorang akan kokoh bila ajaran Islam ditegakkan. Iman terkadang bisa menjadi
kuat, kadang pula menjadi lemah, karena amal perbuatan yang akan mempengaruhi
hati. Sedang hati sendiri merupakan wadah bagi iman itu. Jadi bila seseorang
tekun beribadah, rajin ber-taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah Swt,
maka akan semakin tebal imannya. Sebaliknya bila seseorang berlarut-larut dalam
kemaksiatan, kebal akan dosa, maka akan berdampak juga pada tipisnya iman.
Dalam hal ini, Ali b. Abi Thalib pernah berkata:
قال عَلِيٌ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ
إن الإيمانَ لَيَبْدُوَ وَلَمَعَهَ بَيْضَاءَ فإذا عَمَلَ العبدُ الصالحاتِ نَمَّتْ
فَزَادَتْ حتى يَبِيْضَ الْقَلْبُ كُلُّهُ وإن النِّفاقَ لَيَبْدُوَ نُكْطَةَ سَوْدَاءَ
فإذا انْتَهَ العَبْدُ الحُرُمَاتِ نَمَّتْ وزَادَتْ حتى يَسُوْدَالقلبُ كُلُّهُ
Artinya:
“Sahabat Ali karomallahu wajhah berkata, “Sesungguhnya iman itu terlihat
seperti sinar yang putih, apabila seorang hamba melakukan kebaikan, maka sinar
tersebut akan tumbuh dan bertambah sehingga hati (berwarna) putih. Sedangkan
kemunafikan terlihat seperti titik hitam, maka bila seorang melakukan perkara
yang diharamkan, maka titik hitam itu akan tumbuh dan bertambah hingga hitamlah
(warna) hati”.
Tidak
hanya asal menjalankan perintah dan menjauhi larangannya saja, melainkan
berusaha bagaimana amal perbuatan itu bisa bernilai plus dihadapan-Nya.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas kedudukan kita hanyalah sebagai
hamba, sekuat tenaga kita bekerja, beribadah menjalankan perintah-Nya untuk
mendapatkan perhatian dan ridaNya. Di sinilah hakikat dari ihsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar