ARIF dalam WARITS
Sejarah mencatat, pada zaman sebelum Islam sudah ada pembagian harta waris. Adapun cara pembagiannya adalah dengan sistem pertalian darah atau keturunan dan sistem sebab. Pembagian harta warisan bersifat patrilinear, yang mempunyai makna bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum wanita tidak dapat harta warisan, sekalipun mereka merupakan anak atau ahli waris dari muwaris. Seseorang baru dapat harta apabila adanya pertalian kerabat, janji ikatan prasetia, dan pengangkatan anak. Pada masa awal Islam seseorang bisa dapat harta warisan dengan sebab pertalian kerabat, pengangkatan anak, adanya hijrah dan persaudaraan. Pewarisan, baru terjadi jika ada yang mengikat pewaris dengan muwaris, seperti adanya perkawinan, kekerabatan. Adapun yang membatalkan hak seseorang menerima warisan disebabkan karena perbudakan, pembunuhan, berlainan agama, murtad. Sebelum pembagian harta waris, ada hak yang harus diselesaikan, hak yang berkaitan dengan harta peninggalan, biaya perawatan jenazah, nadzar yang belum tertunaikan, pelunasan hutang dan pemberian wasiat.
Kita
semua menyadari bahwa manusia tidak bisa hidup abadi. Apa yang kita dapatkan di
dunia ini hanya akan bisa bertahan sampai kita selesai menjalani kehidupan.
Memang tidak ada yang abadi dan kekal termasuk harta-benda yang
diagung-agungkan sebagai bagian dari materi, jika tidak dikelola dengan baik
justru akan menyakitkan, akan tetapi bila kita sadar bahwa dengan harta ini
kita berbagi untuk bekal hidup di alam abadi, maka itulah pentingnnya mengapa
kita semua menyiapkan diri menyambut keadaan ini, agar kematian tidak
menyisakan permasalahan dalam keluarga, maka dibuatlah surat wasiat yang
menerangkan warisan atas kepemilikan harta pada orang- orang yang ingin
dijadikannya sebagai ahli waris.
Dalam
rangka memudahkan dan memastikan ahli waris menerima warisan atau asset, maka
surat wasiat sangat penting bagi muwaris. Surat wasiat menjelaskan kepada
kewarisan tentang pembagian harta kekayaan yang akan diberikan kepada siapa,
kemudian perlu disampaikan dasar-dasar yang melatar belakangi pembagian harta
benda tersebut, akan lebih tepat pula jika dasar hukum dalam membagi waris
tersebut disebutkan.
Akan
tetapi tak semudah membalik telapak tangan dalam menyiapkan warisan, mendata
semua harta menghitung nilai material dan membaginya menurut dasar hukum atau
kesepakatan bersama yang diputuskan oleh setiap ahli waris. Fakta dalam
masyarakat, kadang dijumpai berbagai masalah yang justru menyulitkan para ahli
waris untuk membaginya.
Kita
sering mendengar bahkan menyaksikan konflik karena perebutan warisan yang
mendorong para ahli waris berselisih. Ketidak jelasan atau ketidak adilan dalam
pembagian warisan bisa menjadi sumber pemicu konflik diantara ahli waris,
dibutuhkan kearifan yang mendalam dalam membagi harta warisan, keutuhan ahli
waris dan bersatunya dalam kekerabatan, jangan dirobek karena perselihan
pembagian harta waris.
Akan
tetapi jika ahli waris memang menghendaki semua ahli waris dengan kearifan
untuk bisa menerima jumlah yang berbeda karena alasan tertentu, yang disebabkan
oleh kesuksesan hidup dll, yang diputuskan dalam musyawarah keluarga ahli waris
tanpa adanya perselisihan dilakukan dengan keikhlasan, maka itu menjadi bagian
dari ibadah dan itu yang terbaik.
Warisan
sejati justru bukan sesuatu yang berwujud benda, atau yang dapat
diserahterimakan. Bukan berupa barang yang kadang juga dapat diperebutkan.
Sebab warisan sejati ada dalam darah, kromosom, dan DNA. Hal itu ada dan berada
sejak hari di mana kita hadir sebagai janin di kandungan ibu. Setiap orang
telah memiliki bagian warisan masing-masing terimalah sesuai dengan ketentuan
yang telah digariskan, baik secara hukum Islam atau hukum adat, kita ambil
hikmah terpenting ialah semangat mengembangkan warisan tersebut. Yang menjadi
pertanyaan besar adalah bukan warisan yang didapat, akan tetapi sudahkah
warisan itu dikembangkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar