MALU
Malu
Malu dalam bahasa Arab disebut kata al-haya’ (الحياء). Malu disebutkan oleh Nabi Saw sebagai cabang dari iman karena dengan sifat malu seseorang dapat tergerak melakukan kebaikan dan menghindari keburukan. Sifat malu akan selalu mengantarkan seseorang pada kebaikan. Jika ada seseorang yang tidak berani melakukan kebaikan, maka sebabnya bukanlah sifat malu yang dimilikinya, tetapi itu disebabkan sifat penakut dan kelemahan yang dimiliki seseorang tersebut. Demikian Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim.
Dalam hadis
Nabi Muhammad Saw:
الْحَيَاءُ مِنَ الْاِئمَانِ
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما
مَرَّ النَبِيُّ صم عَلَى رَجُلٍ . وَهُوَ يُعَاتِبُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ, يَقولُ: إنَّكَ لَتَسْتَحْيِ حتى كأنه يقول: قَدْ
أَضَرَّ بِكَ. فقالَ رسولُ اللهِ صم: دَعْهُ فإن الحَيَاءَ من الإيمانِ
Artinya:
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar: suatu saat Nabi saw bertemu seorang laki-laki yang
mencela saudaranya yang pemalu. Bahkan lelaki tersebut mengatakan rasa malu
telah membahayakanmu. Maka Rasulullah bersabda: berhentilah kamu mencela
saudaramu, karena malu adalah bagian dari iman. (H.R. Al-Buhhāri).
Dalam hadis tersebut Nabi Muhammad Saw. menegur seorang laki-laki
yang sedang mencela sifat malu yang dimiliki saudaranya. Sifat malu dalam hadis
tersebut adalah bagian dari cabang iman. Mengapa? Karena sifat malu dapat
menghindarkan seseorang dari perbuatan maksiat dan hal-hal yang dilarang agama
(Badruddin Abi Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Aini dalam Kitab ‘Umdah al-Qari
Syarh Shahih al-Bukhari juz 1).
Menurut Ibnu
Hajar penulis kitab Fath al-Bari, malu dibagi menjadi dua, yaitu.
1. Malu naluri (gharizah) yakni sifat malu
yang Allah ciptakan pada diri hamba sehingga mengantarkan hamba tersebut melakukan
kebaikan dan menghindari keburukan serta memotivasi untuk berbuat yang indah.
Inilah yang termasuk cabang dari iman, karena bisa menjadi perantara menaiki
derajat iman.
2. Malu yang dicari/dilatih (muktasab).
Sifat malu ini adakalanya bagian dari iman, seperti rasa malu sebagai hamba di
hadapan Allah pada hari kiamat, sehingga menjadikannya mempersiapkan bekal
untuk menemui Allah di akhirat nanti. Adakalanya juga malu ini bagian dari
ihsan, seperti malunya hamba karena adanya rasa taqarrub atau merasa selalu
dalam pengawasan Allah, inilah puncak dari macam-macam cabang iman.
Dengan demikian, sifat malu sangat penting dimiliki oleh setiap
manusia, karena dapat menjadi perantara meningkatkan keimanan sampai pada
puncaknya. Supian Sauri (2019) menegaskan bahwa manusia yang memiliki sifat
malu (haya’) ialah manusia yang mampu untuk menahan dan menutup diri dari
hal-hal yang akan dapat mendatangkan aib atau keburukan pada dirinya. Dengan
demikian, jika pada masa sekarang ini banyak perilaku buruk yang muncul dari
umat beragama, seperti pencurian, penipuan, bahkan kasus korupsi, maka itu
tidak lain karena sudah menipisnya rasa malu dari seorang hamba tersebut.
Tentang malu ini, dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw. menjelaskan
dalam hadisnya:
عَن عبدِالله بن
مسعودٍ قال : قال رسول الله صم اِسْتَحْيُوْا
مِن الله حقَّ الحَيَاءِ قال قُلنا يا رسول اللهِ اِنَّا نَسْتَحْيِ والحمد
لله قال : ليس ذَاكَ ولكن الاِسْتِحْيَاءَ مِن الله حقَّ الْحَيَاءِ
أَنْ تَخْفَظَ الرَّأْسَ وما وَعَى والبَطْنَ
وما حَوَى وَلْتَذْكُرُالْمَوْتَ وَالْبِلَى ومَن أَرَادَ الآخرةَ تَرَكَ زِيْنَةَ
الدُنْيَا فمن فَعَلَ ذلك فَقَدْ اِسْتَحْيَا مِن الله حقَّ الحَيَاءِ (رواه
الترمذي)
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud berkata: Rasulullah saw
bersabda: “Malulah pada Allah dengan sebenarnya.” Berkata Ibnu Mas’ud: Kami
berkata: Wahai Rasulullah, kami malu, alhamdulillah. Beliau bersabda: “Bukan
itu, tetapi malu kepada Allah dengan sebenarnya adalah kau menjaga kepala dan
apa yang dipahami dan perut beserta isinya, mengingat kematian dan segala
kemusnahan, barangsiapa menginginkan akhirat, ia meninggalkan perhiasan dunia,
barangsiapa melakukannya, ia malu kepada Allah dengan sebenarnya.” (H.R.
Al-Tirmidzī).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar