IJTIHAD
Tadabur
1) Ijtihad berasal dari kata “Ijtahada-yajtahidu-ijtihādan” yang berarti mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban, dengan kata lain artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran dengan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum (yang sulit), dan dalam prakteknya digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan, sehingga ada solusi alternatif.
2) Ijtihad itu ialah usaha sungguh-sungguh
dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui/menetapkan tentang hukum-hukum
syari’ah. Ijtihad adalah suatu alat untuk menggali hukum Islam.
3) Hukum melakukan ijtihad dibagi menjadi
tiga bagian yaitu: wajib ‘ain, bagi orang yang diminta fatwa hukum mengenai
suatu peristiwa yang terjadi dan dia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa
ada kepastian hukumnya atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa dan ia ingin
mengetahui hukumnya. Wajib kifayah, bagi orang yang diminta fatwa hukum yang
dikhawatirkan lenyap peristiwa itu sedangkan selain dia masih terdapat para
mujtahid lainya. Maka apabila kesempatan mujtahid itu tidak ada yang melakukan
ijtihad, maka semua berdosa tetapi bila ada seorang dan mereka memberikan fatwa
hukum, maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka. Sunnah, apabila
melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi.
4. Fungsi ijtihad itu sendiri
yaitu: Fungsi al-Ruju’ (kembali), mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada
Al-Qur’an dan Sunnah. Fungsi al-Ihya (kehidupan), menghidupkan kembali
bagian-bagian dari nilai dan semangat Islam. Fungsi al-Inabah (pembenahan),
membenahi ajaran- ajaran Islam yang telah diijtihad oleh ulama’ terdahulu
KISAH AWAL IJTIHAD
Tatkala Rasulullah Saw. mengambil baiat dari orang-orang Anshar pada perjanjian Aqabah yang kedua, diantara para utusan yang terdiri atas 70 orang itu terdapat seorang anak muda dengan wajah berseri, pandangan menarik dan gigi putih berkilat serta memikat. Perhatian dengan sikap dan ketenangannya. Dan jika bicara maka orang yang melihat akan tambah terpesona karenanya. Nah, itulah dia Mu’adz bin Jabal r.a.
Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat,
Mu’adz hampir sama dengan Umar bin Khathab. Ketika Rasulullah Saw. hendak
mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya,
“Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?”
“Kitabullah,”
jawab Mu’adz.
“Bagaimana
jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya
Rasulullah
pula.
“Saya putuskan
dengan Sunnah Rasul.”
“Jika tidak
kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?”
“Saya
pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan
berlaku
sia-sia,” jawab Muadz.
Maka berseri-serilah wajah Rasulullah Saw. “Segala puji bagi Allah
Swt. yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai
oleh Rasulullah,” sabda beliau.
Kemampuan dalam berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan
kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu’adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu
fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh Rasulullah
Saw. sebagai orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram.
Pada suatu hari, di masa pemerintahan Khalifah Umar, A’idzullah bin
Abdillah masuk masjid bersama beberapa orang sahabat. Maka ia pun duduk pada
suatu majelis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih. Masing-masing
menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah Saw. Pada halaqah
atau lingkaran itu ada seorang anak muda yang amat tampan, hitam manis warna
kulitnya, bersih, baik tutur katanya dan termuda usianya di antara mereka. Jika
pada mereka terdapat keraguan tentang suatu hadits, mereka tanyakan kepada anak
muda itu yang segera memberikan fatwanya. “Dan ia tak berbicara kecuali bila
diminta. Tatkala majelis itu berakhir, saya dekati anak muda itu dan saya
tanyakan siapa namanya, ia menjawab, saya adalah Mu’adz bin Jabal,” tutur
A’idzullah.
Shahar bin Hausyab tidak ketinggalan memberikan ulasan, katanya,
“Bila para sahabat berbicara, sedang di antara mereka hadir Mu’adz bin Jabal,
tentulah mereka akan sama-sama meminta pendapatnya karena kewibawaannya.” Dan
Amirul Mukminin Umar bin Khatab r.a. sendiri sering meminta pendapat dan buah
pikirannya. Bahkan dalam salah satu peristiwa di mana ia memanfaatkan pendapat
dan keahliannya dalam hukum, Umar pernah berkata, “Kalau tidaklah berkat Mu’adz
bin Jabal, akan celakalah Umar!” Ia seorang pendiam, tak hendak bicara kecuali
atas permintaan hadirin. Dan jika mereka berbeda pendapat dalam suatu hal,
mereka pulangkan kepada Mu’adz untuk memutuskannya. Maka jika ia telah buka
suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan oleh salah seorang yang mengenalnya:
“Seolah-olah dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara.”
Dan kedudukan yang tinggi di bidang pengetahuan ini, serta
penghormatan kaum Muslimin kepadanya, baik selagi Rasulullah Saw. masih hidup
maupun setelah beliau wafat, dicapai Mu’adz sewaktu ia masih muda. Ia meninggal
dunia di masa pemerintahan Umar, sedang usianya belum 33 tahun! Mu’adz adalah
seorang yang murah tangan, lapang hati dan tinggi budi. Tidak sesuatu pun yang
diminta kepadanya, kecuali akan diberinya secara berlimpah dan dengan hati yang
ikhlas. Sungguh kemurahan Mu’adz telah menghabiskan semua hartanya.
Ketika Rasulullah Saw. wafat, Mu’adz masih berada di Yaman, yakni
semenjak ia dikirim Nabi ke sana untuk membimbing kaum Muslimin dan mengajari
mereka tentang seluk-seluk Agama. Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu’adz
kembali ke Yaman. Umar tahu bahwa Mu’adz telah menjadi seorang yang kaya raya,
maka ia mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar kekayaan Mu’adz itu dibagi
dua. Tanpa menunggu jawaban Abu Bakar, Umar segera pergi ke rumah Mu’adz dan
mengemukakan masalah tersebut.
Andai diketahuinya bahwa Mu’adz memperoleh harta itu dari jalan
yang tidak sah, maka tidak satu dirham pun akan menyisakan baginya. Namun Umar
tidak pula berbuat salah dengan melemparkan tuduhan atau menaruh dugaan yang
buruk terhadap Mu’adz. Hanya saja masa itu adalah masa gemilang, penuh dengan
tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada
yang berjalan secara santai, tak ubah bagi burung yang terbang berputar- putar,
ada yang berlari cepat, dan ada pula yang berlari lambat, namun semua berada
dalam kafilah yang sama menuju kepada kebaikan.
Pada suatu hari Rasulullah Saw bersabda, “Hai Mu’adz! Demi Allah,
aku sungguh sayang kepadamu. Maka jangan lupa setiap habis shalat mengucapkan:
‘Ya Allah, bantulah aku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadat dengan
ikhlas kepada-Mu.” Mu’adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah
menerapkannya secara tepat. Pada suatu pagi Rasulullah bertemu dengan Mu’adz,
maka beliau bertanya, “Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu’adz?” “Di
pagi hari ini aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah,” jawabnya. “Setiap
kebenaran ada hakikatnya,” kata Nabi pula, “maka apakah hakikat keimananmu?”
“Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi
waktu sore. Dan setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai
lagi waktu pagi. Dan tiada satu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku
menyangka tiada akan diiringi dengan langkah lainnya. Dan seolah-olah kesaksian
setiap umat jatuh berlutut, dipanggil melihat buku catatannya. Dan seolah-olah
kusaksikan penduduk surga menikmati kesenangan surga. Sedang penduduk neraka
menderita siksa dalam neraka.” Maka sabda Rasulullah Saw, “Memang, kamu
mengetahuinya, maka pegang teguhlah jangan dilepaskan!”
1. Pengertian Ijtihad
Pengertian Ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan
segala pikiran untuk menetapkan suatu hokum dan dalam praktiknya dimanfaatkan
untuk sesuatu yang sulit dan memberatkan. Oleh karena itu, tidak disebut
ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan sehingga
secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk
mencari syariat melalui metode tertentu.
Namun dalam Al-Qur’an kata “jahda” sebagaiman dalam Q.S. an-
Nahl/16: 38, Q.S. an-Nur/24: 53, Q.S. Fatir/35: 42. Semuanyan mengandung arti
“Badl Al-Wus’I Wa Al-Thaqati” (pengarahan segala kesanggupan dan kekuatan) atau
juga berarti “Al-Mubalaghah fil al-yamin” (berlebih-lebih dalam sumpah). Dengan
demikian arti ijtihad adalah pengarahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk
memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.
Imam Al-Ghozali, mendefinisikan ijtihad itu ialah usaha sungguh-
sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui/ menetapkan tentang
hukum-hukum syari’ah. Ijtihad adalah suatu alat untuk menggali hukum Islam dan
hukum Islam yang dihasilkan dengan jalan ijtihad statusnya adalah zanni. Zann
artinya pengertian yang berat kepada benar, dengan arti kata mengandung
kemungkinan salah. Ushul fiqh mendefinisikan ijtihad dengan:
Artinya: “Pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh faqih (mujtahid) untuk mendapatkan zann (dugaan kuat) tentang hukum syar’i”
2. Urgensi dan Kedudukan
Ijtihad
Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad dalam semua
bidang hukum syari’ah, asalkan dia sudah memenuhi syarat dan kretiria seseorang
mujtahid. Masalah-masalah yang menjadi lapangan Ijtihad adalah masalah-masalah
yang bersifat zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik dalam
Al-Qur’an maupun al-Hadis. Para ulama’ membagi hukum melakukan ijtihad menjadi
tiga bagian yaitu:
1. Wajib ‘ain, bagi orang yang diminta
fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi dan dia khawatir peristiwa
itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukumnya atau ia sendiri mengalami suatu
peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2. Wajib kifayah, bagi orang yang diminta
fatwa hukum yang dikhawatirkan lenyap peristiwa itu sedangkan selain dia masih
terdapat para mujtahid lainya. Maka apabila kesempatan mujtahid itu tidak ada
yang melakukan ijtihad, maka semua berdosa tetapi bila ada seorang dan mereka
memberikan fatwa hukum, maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
3. Sunnah, apabila melakukan ijtihad
mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi.
Ketiga hukum tersebut sebenarnya telah menggambarkan urgensi upaya
ijtihad, karena dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum Islam dan mengkoreksi
kekeliruan dan kekhilafan dari ijtihad yang lalu. Lebih lanjut, ijtihad
merupakan upaya pembeharuan hukum Islam yang belum pernah disinggung oleh
ulama’ terdahulu, sedangkan masalah yang sudah diijtihadi pada masa lalu tidak
perlu diperbaharui. Sabda Nabi Muhammad Saw,” Sesungguhnya Allah mengutus pada
umat ini disetiap penghujung periode (seratus tahun) seseorang yang mempebaruhi
agamanya”.
Meskipun demikian, tidak semua hasil ijtihad
merupakan pembeharuan bagi ijtihad yang lama, sebab ada kalanya hasil ijtihad
yang baru sama dengan hasil ijtihad yang lama, bahkan sekalipun berbeda hasil
ijtihad baru tidak bisa merubah status ijtihad yang lama, hal itu seiring
dengan kaidah faqhiyah “al-ijtihadu ia yanqudlu bi al-ijtihadi” (ijtihad tidak
dapat dibatalkan dengan ijtihad pula).
Selanjutnyaa, urgensi upaya ijtihad dapat
dilihat dari fungsi ijtihad itu sendiri yaitu:
1. Fungsi
al-Ruju’ (kembali), mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan
Sunnah dari segala interpretasi yang mungkin kurang relevan.
2. Fungsi
al-Ihyl (kehidupan), menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat
Islam agar mampu menjawab tantangan zaman.
3. Fungsi
al-Inabah (pembenahan), membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah diijtihad oleh ulama’
terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi
yang dihadapi.
Begitu pentingnya melakukan ijtihad, sehingga Jumhur
Ulama’menunjukkan ijtihad menjadi hujah dalam menetapkan hukum berdasarkan
Firman Allah surat an-Nisa’: 59 “Jika kamu mempersengketakan sesuatu maka
kembalikanlah sesuatu tesebut kepada Allah dan Rasul-Nya”.
3. Syarat-syarat
Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid dan tidak
semua orang bisa melakukan ijtihad akan tetapi harus memenuhi beberapa sarat.
Muhammad Musa mengelompokkan syarat-syarat mujtahid menjadi empat
kelompok yaitu:
1) Syarat-syarat umum,
diantaranya:
a) Baliqh
b) Berakal
c) Sehat jasmani dan
rohani
d) Kuat daya nalarnya
e) Bener-bener beriman
2) Syarat-syarat
pokok, diantaranya:
a) Memahami tentang
Al-Qur’an.
b) Mengerti tentang
sunah.
c) Mengetahui ilmu
Dirayah Hadis.
d) Mengetahui Hadis
yang nasikh dan mansukh.
e) Mengetahui
maksud-maksud hukum.
3) Syarat-syarat penting, diantaranya:
a) Menguasai bahasa
Arab.
b) Mengetahui Asbabun
Nuzul.
c) Mengetahui Ushul
Fiqh.
d) Mengenal manusia
dan kehidupan sekitarnya.
2) Syarat-syarat
pelengkap, diantaranya:
a) Mengetahui Asbabul Wurud Hadis. Syarat
ini sama dengan seorang Mujtahid yang seharusnya menguasai Asbabun Nuzul, yakni
mengetahui setiap kondisi, situasi, lokasi, serta tempat Hadis tersebut ada.
b) Mengetahui hal-hal yang di-ijmakkan dan
yang di-ikhtilafkan. Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang
telah disepakati oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus memberi fatwa yang
bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash
dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash tersebut.
c) Bersifat adil dan taqwa. Hal ini
bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh Mujtahid benar-benar
proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam
istinbath hukumnya.
4. Masalah-masalah
Ijtihadiyah
Tidak semua masalah hukum bisa diijtihadkan tetapi ada
wilayah-wilayah tertentu yang menjadi obyek dari ijtihad.
Adapun hal-hal yang tidak boleh diijtihadkan antara lain:
1. Masalah
qath’iyah, yaitu masalah yang sudah ditetapkan hukumya dengan dalil-dalil yang
pasti, baik melalui dalil naqli maupun aqli. Hukum qath’iyah sudah pasti
keberlakuanya sepanjang masa sehingga tidak mungkin adanya perubahan dan
modifikasi serta tidak ada peluang mengistibathkan hukum bagi para mujtahid.
Contoh: kewajiban shalat, puasa, zakat dan haji, untuk masalah tersebut
Al-Qur’an telah mengaturnya dengan dalil yang sharih (tegas). Demikian juga
ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihadnya berlawanan dengan
nash.
2. Masalah-masalah
yang telah diijmakkan oleh ulama’ mujtahidin dari suatu masa, demikian pula
lapangan hukum yang bersifat ta’abbudi atau ghairu ma’qulil makna (akal manusia
tak akan mampu mencapainya) dimana kualitas illat hukumnya tidak dapat dicerna
dan diketahui oleh akal mujtahid.
Adapun masalah-masalah yang dapat diijtihadkan antara lain: masalah
dzanniyah, yaitu masalah-masalah yang hukumnya belum jelas dalil nashnya,
sehingga memungkinkan adanya wilayah ijtihad dan perbedaan pendapat.
Masalah dzanniyah terbagi menjadi 2 macam, yaitu:
Hasil analisa para teolog, yaitu masalah yang tidak berkaitan
dengan aqidah keimanan sesorang. Seperti apakah Allah Swt. itu wajib
berkehendak? Sebagian ahli ilmu kalam (teolog) mewajibkannya, karna dengan
demikian Allah itu Maha Suci, sedangkan yang lainnya tidak mewajibkannya, karna
hal itu membatasi kekuasaan Allah Swt.
1) Aspek
amaliyah yang dzanni, yaitu masalah yang belum ditentukan kabar dan kriterianya
dalam nash. Contoh: batas-batas menyusui yang dapat menimbulkan mahram,
sebagian berpendapat sekali susuan, dan yang 3 kali bahkan yang 10 kali susuan
dan lain-lain.
2) Pembagian
tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada masalah
yang hukumnya ditunjukkan oleh dalil dzanni, kemudian dikenal dengan istilah
masalah fiqih dan masalah hukumnya sama sekali tidak disinggung oleh Al-Qur’an,
Sunnah maupun Ijma’. Hal ini merupakan masalah baru dan hukum baru. Dengan
demikian apabila ijtihad ini bertentangan dengan nash maka ijtihad itu batal,
karena tidak bole ijtihad bertentanga nash.
5. Penyebab
Terjadinya Perbedaan Ijtihad
Hal yang dapat
menyebabkan perbedaan ijtihad, karena perbedaan dalam memahami nash dan dalam
menyusun metode ijtihad yang didasari sosio- kultural dan geografis mujtahid.
Adapun sebab pertama itu adalah:
Karena
perbedaan dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah, baik dalam
Al-Qur’an maupun Hadis. Misalkan dalam Al-Qur’an terdapat kata quru’. Sebagian
ulama’ ada yang mengartikan haid dan sebagian yang lain ada yang mengartikan
suci.
1) Berbeda
tanggapan terhadap Hadis. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam
menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan dan
sanad suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Sehingga, ada
beberapa ulama yang berbeda dalam mengkategorikan bahwa suatu hadits tersebut
dimasukkan ke dalam hadis shahih, hasan, maupun dha’if. Konsekuensinya,
kehujjahannya pun akan berbeda satu sama lainnya.
2) Berbeda
tanggapan tentang ta’arudl (pertentangan antara dalil) dan tarjih (menguatkan
satu dalil atas dalil lainnya) seperti: Tentang nasakh dan mansukh, tentang
pentakwilan, dan lain sebagainya.
3) Perselisihan
tentang ilat dari suatu hukum. Perselisihan para mujtahid mengenai ilat
(`illah) dari suatu hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan
hasil ijtihad.
4) Dari beberapa sebab perbadaan diatas pada perinsipnya disebabkan karena berbeda dalam memahami nash dan metode pengambilan hukum yang dikarenakan sosio-kultural dan geografisnya
6. Bentuk-bentuk
Ijtihad
Ijtihad
sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke
dalam beberapa bagian, seperti berikut:
a) Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid tentang hukum syara’ dari suatu
peristiwa setelah Rosul wafat. Sebagai contoh adalah setelah rasul meninggal
diperlukan pengangkatan pengganti beliau yang disebut dengan kholifah maka kaum
muslimin pada waktu itu sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai kholifah pertama.
b. Qiyas
Qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang
tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian yang
telah ditetapakan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat/sifat
diantara kejadian atau peristiwa itu. Contoh narkotika diqiyaskan dengan
meminum khmar.
c. Maslahah
mursalah.
Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan dimana syar’i tidak
mensyariatkan sutau hukum ntuk merealisir kemaslahatan itu dan tidak ada dalil
yang menunjukkan atas pengakuanya atau pembatalanya. Contoh kemaslahatan yang
karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang,
penetapan tanah pertanian, memungut pajak.
d. Urf’
Urf’ menurut bahasa berarti kebiasaan. Sedangkan menurt istilah
sesuatu yang telah dikenal orang banyak dan menjadi tradisi mereka dan tentunya
tradisi disini adalah kebiasaan yang tidak dilarang. Contoh: saling pengertian
manusia terhadap jual beli dengan cara saling memberikan tanpa adanya sighot
lafdliyah.
Penilaian pengetahuan
a. Berilah tanda
silang pada huruf A, B, C, D, atau E yang dianggap paling tepat!
1. Kesepakatan yang
dibuat dan ditetapkan oleh para mujtahid setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
dalam menetapkan hukum syar’i disebut.....
A. Al-Qur’an
B. hadis
C. qiyas
D. ijma’
E. fatwa ulama
2. Hukum
dalam melaksanakan ijtihad, dilakukan jika seorang muslim yang memenuhi syarat
sebagai seorang mujhatid menemukan permasalahan kontekstual yang belum ada
dasar hukumnya, dan harus segera diputuskan kedudukan hukum permasalahan tersebut
adalah ....
A. Fardhu’ain
B. Fardhu kifayah
C. Sunnah
D. Haram
E. Makruh
3. Hukum
melaksanakan ijtihad, apabila permasalahan yang diajurkan kepadanya tidak
dikhawatirkan habis waktunya atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama
memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid adalah ....
A. Fardhu’ain
B. Fardhu kifayah
C. Sunnah
D. Haram
E. Makruh
4. Hukum
melaksanakan ijtihad, apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah
ditetapkan secara qat’i sehingga hasil ijtihadnya bertentangan dengan hasil
syar’i disebut...
A. Fardhu’ain
B. Fardhu kifayah
C. Sunnah
D. Haram
E. Makruh
5. Mencurahkan
segenap kemampuan untuk menetpakan ukum yang belum ada di dalam Al-Qur’an dan
hadits menggunakan akal sehat dan jernih disebut. ...
A. Ijma
B. Qiyas
C. Mujtahid
D. Ijtihad
E. Jihad
6. Berikut
ini yang bukan syarat melakukan Ijtihad adalah ....
A. Paham seluruh bahasa
B. Paham terhadap Al-Qur’an
C. Paham ulama salaf
D. Dapat menetapkan hokum
E. Paham terhadap Hadis
7. Sebagai
sumber hukum Islam yang ke tiga, ijtihad dimaksudkan untuk ....
A. Untuk menambah perbendaharaan sumber
hukum dalam ajaran agama Islam
B. Sebagai bukti bahwa ulama-ulama suka
berfatwa
C. Sebagai penentuan hukum-hukum yang tidak
ada di dalam Al- Qur’an dan Hadits
D. Pelengkap Al-Qur’an dan Hadits
E. Semua benar
8. Pengertian
Ijtihad menurut bahasa adalah....
A. bermalas-malasan
B. bersungguh-sungguh
C. bersepakat
D. bertolak belakang
E. bersatu
9. Contoh
far’u adalah....
A. riba
B. bunga bank
C. pinjaman
D. utang
E. semua benar
10. Sahabat
nabi yang diutus ke Yaman sebagai hakim adalah....
A. Zaid bin Tsabit
B. Zubair bin Awwam
C. Mu’adz bin Jabal
D. Ali bin Abi Thalib
E. Abu Sufyan
b. Jawablah
pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jelas!
1. Dalam
perkembangan hukum Islam terjadi adanya perbedaan, maka diperlukan kearifan
dalam pemikiran sialm. Bagaimana berijtihad dalam dunia modern saat ini yang
berpijak sesuai dengan alquran dan hadis!
2. Halal
bi halal yang dilakukan oleh masyarakat Islam Indonesia boleh dilakukan,
bagaimana pendapat tentang ijtihad dengan menggunakan Urf!
3. Penyebab
terjadi perbedaan dalam menentukan hukum Islam lebih banyak di pengaruhi oleh
masalah metode ijtihad salah satunya adalah Perselisihan tentang ilat dari
suatu hukum. Apa maksud dari hal tersebut!
4. Masalah
qoth’iyah, yaitu masalah yang sudah ditetapkan hukumya dengan dalil-dalil yang
pasti, baik melalui dalil naqli maupun aqli. Hukum qoth’iyah sudah pasti
keberlakuanya sepanjang masa sehingga tidak mungkin adanya perubahan dan
modifikasi serta tidak ada peluang mengistibathkan hukum bagi para mujtahid,
hal ini adalah masalah yang tidak dapat lagi di ijtihadkan. Berikan argumentasi
dan carikan soal permasalahan qoth’iyah.
5. Qiyas
adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar
nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian yang telah ditetapakan
hukumnya berdasarkan nash, hal ini terjadi di tempat kita. Berikan argumentasi
ijtihad dengan pendekatan qiyas, dan berikan contoh permasalahan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar