MENUTUP AIB ORANG LAIN
Pengertian
Aib adalah cela, cacat, nista, noda, perilaku hina, atau ada juga bermakna kiasan, yaitu: arang di muka. Biasanya digunakan dalam kalimat, bagaikan menaruh arang di muka. Melalui kalimat itu, yang bersangkutan sudah dibuka aibnya, sehingga sangat malunya, hancur lebur martabat dan nama baiknya, seakan-akan sudah runtuh hidupnya, disebabkan aibnya dibuka atau tersebar.
Begitu beratnya
keburukan akibat aib yang dibuka, maka siapa pun kita, jika mengetahui aib,
maka hendaklah kita menutupi dan menyimpan rapat- rapat aib tersebut, jangan
sampai malah disebar ke khalayak ramai. Kenapa bisa begitu? Jawabannya jika
kita sendiri mempunyai aib, inginnya aib itu disimpan rapat-rapat dan enggan
jika aib itu tersiar.
Tidak ada satu pun
manusia yang ingin aib dibuka. Aib adalah keburukan yang bersifat rahasia.
Disebabkan sifatnya yang rahasia, biasanya hanya diketahui oleh yang
bersangkutan, atau beberapa orang tertentu. Mayoritas orang, bahkan bisa
dikatakan ‘orang gila’, ingin aibnya terus tersembunyi, tidak ada yang ingin
aibnya terbuka atau disiarkan pihak lain.
Setiap manusia, tampil
dengan kelebihan dan kekurangan. Itu sifat dasar yang dimiliki setiap orang.
Hal terbaik yang dapat dilakukan seseorang,
sepanjang hidupnya adalah
terus menemukan kelebihan, dan di saat yang bersamaan mampu mengurangi
kekurangan dirinya. Di antara kekurangan itu, muncul aib-aib yang harus
ditutupi, dikarenakan pelbagai macam sebab dan alasan.
Jika ditinjau dari sifatnya, maka aib dibagi menjadi 2, yakni:
1. Aib Dzahir, yaitu: aib yang nampak dan dapat diketahui secara
lahir, jika diperhatikan betul. Misalnya cacat pada barang-barang perdagangan,
contohnya buah-buahan yang busuk, atau mebeler yang kelihatan cacatnya.
2. Aib Tersembunyi, yaitu
aib yang tidak nampak, karena disembunyikan. Tidak terlihat, meski sudah
diperhatikan betul-betul. Ambil contoh, beras yang sudah dicampur antara beras
premium, super, dengan golongan yang biasa. Atau kacang-kacangan yang bagus
atasnya, sementara yang bawah kondisinya kurang baik. Semuanya tidak kelihatan,
jika tidak diurai atau dibuka semuanya.
Kedua macam aib ini, dapat disematkan kepada manusia, meski yang banyak dibicarakan adalah aib yang masuk kelompok kedua. Kedua aib inilah yang ingin disembunyikan dan ditutupi, jangan sampai tersiar ke khalayak ramai, karena menimbulkan malu, bahkan bisa menyebabkan minder.
Aib dan Medsos
Dunia modern dengan
kecanggihan teknologinya, menambah beban lagi bagi manusia, meskipun melalui
teknologi pula, manusia dimudahkan hidupnya. Di titik inilah, pentingnya
teknologi itu tetap dipandu norma agama dan aturan moral, sehingga orang tidak
mudah menyalahgunakan teknologi.
Di antara
penyalahgunaan teknologi adalah orang begitu mudah membuka aib orang lain. Hal
ini boleh jadi dilatarbelakangi adanya rivalitas (persaingan), persinggungan
kepentingan, bahkan sifat iri dengki yang dimiliki. Saat ini, orang begitu
mudah tumbang nama baik dan martabatnya dari penyalahgunaan media sosial
(medsos), baik dari WhatsApp, Twiner, Instagram maupun Facebook, Telegram,
bahkan Blog. Contohnya, ada raja, presiden atau calon presiden, perdana
menteri, atau tokoh berpengaruh, bisa turun tahta sendiri atau diturunkan oleh
rakyatnya, akibat aibnya dibuka di tengah-tengah masyarakatnya, melalui medsos
atau media internet lainnya. Hal ini bukan hanya terjadi di negara kita, tetapi
juga terjadi di negara-negara lain.
Peristiwa tersebut,
membawa kesadaran kepada kita, agar hidup ini jangan banyak kesalahan, dosa dan
kemaksiatan (baik pelanggaran menurut pandangan Allah Swt. maupun manusia).
Sebab, banyaknya kesalahan sama saja dengan menumpuk aib dan berakibat hidupnya
banyak dilakukan hanya untuk menutupi aib, akhirnya tidak menemukan ketenangan
dan ketenteraman dalam hidupnya.
Pada titik inilah,
Islam membimbing kita, bahkan sejak kecil, kita diajarkan untuk menjauhi
perbuatan dosa dan kemaksiatan. Jikalau juga melakukannya, segera dan cepat
bertaubat, agar aibnya terkikis, sehingga hidupnya produktif dan optimal,
akhirnya keberhasilan demi keberhasilan yang didapatkan.
Tersimpul, bahwa aib
itu harus ditutupi. Jangan mudah menggerakkan jari yang dikaitkan dengan
medsos. Teliti dan selektiflah dalam menerima informasi. Jika itu benar, share!
Sebaliknya, jika tidak, ya jangan dishare. Begitu juga, tercela sekali, jika
ada orang yang mencari-cari kesalahan atau aib seseorang. Kita diingatkan oleh
Allah Swt. melalui firmannya, yaitu:
Artinya: Wahai orang-orang
yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka
itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah
ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara
kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa
jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat,
Maha Penyayang (Q.S. al-Hujurāt/49: 12).
Melalui ayat ini, Allah Swt. melarang orang beriman melakukan
prasangka buruk, mencari-cari kesalahan pihak lain, dan melarang bergunjing.
Bahkan, bagi yang gemar bergunjing diumpamakan seperti orang yang memakan
daging saudaranya yang sudah meninggal. Sungguh perilaku yang bukan saja
menimbulkan dosa, tetapi juga amat menjijikkan. Rasulullah Saw Bersabda:
Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. Bersabda: Barang siapa menutupi aib saudaranya di
dunia, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.’ (HR. Muslim).
Berdasarkan penjelasan
tersebut, janganlah kita menjadi pribadi yang suka membuka aib orang. Meskipun
jika dikaitkan dengan kondisi saat ini di Indonesia, muncul begitu banyak
infotainment yang mengulas gaya hidup para selebriti, baik yang ditayangkan di
televisi maupun di majalah atau koran, yang mayoritas mengumbar aib diri
sendiri maupun orang lain.
Akibat Aib
Aib bukan saja membawa
madharat (bahaya) kepada yang bersangkutan, tetapi juga pihak lain, termasuk
masyarakat luas. Kisah Nabi Musa a.s. dengan umatnya dapat dijadikan ibrah
(pelajaran). Secara umum, kisahnya sebagai berikut: Terjadi kemarau panjang,
lalu Sang Nabi mengajak umatnya untuk Shalat Istisqa’. Anehnya setelah
dilakukan, ternyata hujan tidak turun-turun.
Akhirnya Shalat
Istisqa’ dilakukan berkali- kali, namun tidak kunjung turun hujan juga. Lalu
Nabi Musa a.s mengadu kepada Allah Swt. kenapa tidak turun hujan? Dijawab oleh
Allah Swt., hal itu disebabkan ada di antara umatmu yang suka berbuat dosa dan
maksiat. Syarat hujan akan turun, jika peserta itu, harus keluar.
Nabi Musa a.s
menyampaikan pidato di depan umatnya tentang hal itu. Namun, jamaah yang merasa
dialah orangnya, malu jika keluar dari jamaah. Takut dipermalukan banyak orang,
disebabkan aib yang dimiliki. Akhirnya orang tersebut, tidak mau keluar, tetapi
bertaubat dengan sungguh-sungguh kepada Allah Swt. lalu diterima tobatnya, lalu
tidak lama kemudian turunlah hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar