PENGERTIAN, URGENSI DAN SYARAT IJTIHAD

PENGERTIAN, URGENSI DAN SYARAT IJTIHAD 



1.         Pengertian Ijtihad

Pengertian Ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan segala pikiran untuk menetapkan suatu hokum dan dalam praktiknya dimanfaatkan untuk sesuatu yang sulit dan memberatkan. Oleh karena itu, tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan sehingga secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.

Namun dalam Al-Qur’an kata “jahda” sebagaiman dalam Q.S. an- Nahl/16: 38, Q.S. an-Nur/24: 53, Q.S. Fatir/35: 42. Semuanyan mengandung arti “Badl Al-Wus’I Wa Al-Thaqati” (pengarahan segala kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti “Al-Mubalaghah fil al-yamin” (berlebih-lebih dalam sumpah). Dengan demikian arti ijtihad adalah pengarahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.

Imam Al-Ghozali, mendefinisikan ijtihad itu ialah usaha sungguh- sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui/ menetapkan tentang hukum-hukum syari’ah. Ijtihad adalah suatu alat untuk menggali hukum Islam dan hukum Islam yang dihasilkan dengan jalan ijtihad statusnya adalah zanni. Zann artinya pengertian yang berat kepada benar, dengan arti kata mengandung kemungkinan salah. Ushul fiqh mendefinisikan ijtihad dengan:

اِسْتِفْرَاغُ الْفَقِيْهِ الْوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنٍّ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ

Artinya: “Pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh faqih (mujtahid) untuk mendapatkan zann (dugaan kuat) tentang hukum syar’i”

  

2.         Urgensi dan Kedudukan Ijtihad

Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad dalam semua bidang hukum syari’ah, asalkan dia sudah memenuhi syarat dan kretiria seseorang mujtahid. Masalah-masalah yang menjadi lapangan Ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik dalam Al-Qur’an maupun al-Hadis. Para ulama’ membagi hukum melakukan ijtihad menjadi tiga bagian yaitu:

1.         Wajib ‘ain, bagi orang yang diminta fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi dan dia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukumnya atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya.

2.         Wajib kifayah, bagi orang yang diminta fatwa hukum yang dikhawatirkan lenyap peristiwa itu sedangkan selain dia masih terdapat para mujtahid lainya. Maka apabila kesempatan mujtahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad, maka semua berdosa tetapi bila ada seorang dan mereka memberikan fatwa hukum, maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.

3.         Sunnah, apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi.

Ketiga hukum tersebut sebenarnya telah menggambarkan urgensi upaya ijtihad, karena dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum Islam dan mengkoreksi kekeliruan dan kekhilafan dari ijtihad yang lalu. Lebih lanjut, ijtihad merupakan upaya pembeharuan hukum Islam yang belum pernah disinggung oleh ulama’ terdahulu, sedangkan masalah yang sudah diijtihadi pada masa lalu tidak perlu diperbaharui. Sabda Nabi Muhammad Saw,” Sesungguhnya Allah mengutus pada umat ini disetiap penghujung periode (seratus tahun) seseorang yang mempebaruhi agamanya”.

Meskipun demikian, tidak semua hasil ijtihad merupakan pembeharuan bagi ijtihad yang lama, sebab ada kalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad yang lama, bahkan sekalipun berbeda hasil ijtihad baru tidak bisa merubah status ijtihad yang lama, hal itu seiring dengan kaidah faqhiyah “al-ijtihadu ia yanqudlu bi al-ijtihadi” (ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad pula).

Selanjutnyaa, urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad itu sendiri yaitu:

1.         Fungsi al-Ruju’ (kembali), mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan Sunnah dari segala interpretasi yang mungkin kurang relevan.

2.         Fungsi al-Ihyl (kehidupan), menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat Islam agar mampu menjawab tantangan zaman.

3.         Fungsi al-Inabah (pembenahan), membenahi ajaran-ajaran   Islam yang telah diijtihad oleh ulama’ terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi.

Begitu pentingnya melakukan ijtihad, sehingga Jumhur Ulama’menunjukkan ijtihad menjadi hujah dalam menetapkan hukum berdasarkan Firman Allah surat an-Nisa’: 59 “Jika kamu mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tesebut kepada Allah dan Rasul-Nya”.

 

3.         Syarat-syarat Mujtahid

Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid dan tidak semua orang bisa melakukan ijtihad akan tetapi harus memenuhi beberapa sarat.

Muhammad Musa mengelompokkan syarat-syarat mujtahid menjadi empat kelompok yaitu:

1)         Syarat-syarat umum, diantaranya:

a)         Baliqh

b)         Berakal

c)         Sehat jasmani dan rohani

d)         Kuat daya nalarnya

e)         Bener-bener beriman

2)         Syarat-syarat pokok, diantaranya:

a)         Memahami tentang Al-Qur’an.

b)         Mengerti tentang sunah.

c)         Mengetahui ilmu Dirayah Hadis.

d)         Mengetahui Hadis yang nasikh dan mansukh.

e)         Mengetahui maksud-maksud hukum.

3)         Syarat-syarat penting, diantaranya:

a)         Menguasai bahasa Arab.

b)         Mengetahui Asbabun Nuzul.

c)         Mengetahui Ushul Fiqh.

d)         Mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya.

2)         Syarat-syarat pelengkap, diantaranya:

            a)         Mengetahui Asbabul Wurud Hadis. Syarat ini sama dengan seorang Mujtahid yang seharusnya menguasai Asbabun Nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi, lokasi, serta tempat Hadis tersebut ada.

            b)         Mengetahui hal-hal yang di-ijmakkan dan yang di-ikhtilafkan. Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash tersebut.

            c)         Bersifat adil dan taqwa. Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh Mujtahid benar-benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam istinbath hukumnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar