MASALAH DAN PENYEBAB PERBEDAAN IJTIHAD

MASALAH DAN PENYEBAB PERBEDAAN IJTIHAD 



4.         Masalah-masalah Ijtihadiyah

Tidak semua masalah hukum bisa diijtihadkan tetapi ada wilayah-wilayah tertentu yang menjadi obyek dari ijtihad.

Adapun hal-hal yang tidak boleh diijtihadkan antara lain:

1.         Masalah qath’iyah, yaitu masalah yang sudah ditetapkan hukumya dengan dalil-dalil yang pasti, baik melalui dalil naqli maupun aqli. Hukum qath’iyah sudah pasti keberlakuanya sepanjang masa sehingga tidak mungkin adanya perubahan dan modifikasi serta tidak ada peluang mengistibathkan hukum bagi para mujtahid. Contoh: kewajiban shalat, puasa, zakat dan haji, untuk masalah tersebut Al-Qur’an telah mengaturnya dengan dalil yang sharih (tegas). Demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihadnya berlawanan dengan nash.

2.         Masalah-masalah yang telah diijmakkan oleh ulama’ mujtahidin dari suatu masa, demikian pula lapangan hukum yang bersifat ta’abbudi atau ghairu ma’qulil makna (akal manusia tak akan mampu mencapainya) dimana kualitas illat hukumnya tidak dapat dicerna dan diketahui oleh akal mujtahid.

Adapun masalah-masalah yang dapat diijtihadkan antara lain: masalah dzanniyah, yaitu masalah-masalah yang hukumnya belum jelas dalil nashnya, sehingga memungkinkan adanya wilayah ijtihad dan perbedaan pendapat.

Masalah dzanniyah terbagi menjadi 2 macam, yaitu:

Hasil analisa para teolog, yaitu masalah yang tidak berkaitan dengan aqidah keimanan sesorang. Seperti apakah Allah Swt. itu wajib berkehendak? Sebagian ahli ilmu kalam (teolog) mewajibkannya, karna dengan demikian Allah itu Maha Suci, sedangkan yang lainnya tidak mewajibkannya, karna hal itu membatasi kekuasaan Allah Swt.

1)         Aspek amaliyah yang dzanni, yaitu masalah yang belum ditentukan kabar dan kriterianya dalam nash. Contoh: batas-batas menyusui yang dapat menimbulkan mahram, sebagian berpendapat sekali susuan, dan yang 3 kali bahkan yang 10 kali susuan dan lain-lain.

2)         Pembagian tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada masalah yang hukumnya ditunjukkan oleh dalil dzanni, kemudian dikenal dengan istilah masalah fiqih dan masalah hukumnya sama sekali tidak disinggung oleh Al-Qur’an, Sunnah maupun Ijma’. Hal ini merupakan masalah baru dan hukum baru. Dengan demikian apabila ijtihad ini bertentangan dengan nash maka ijtihad itu batal, karena tidak bole ijtihad bertentanga nash.

 

5.         Penyebab Terjadinya Perbedaan Ijtihad

Hal yang dapat menyebabkan perbedaan ijtihad, karena perbedaan dalam memahami nash dan dalam menyusun metode ijtihad yang didasari sosio- kultural dan geografis mujtahid. Adapun sebab pertama itu adalah:

Karena perbedaan dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Misalkan dalam Al-Qur’an terdapat kata quru’. Sebagian ulama’ ada yang mengartikan haid dan sebagian yang lain ada yang mengartikan suci.

1)         Berbeda tanggapan terhadap Hadis. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan dan sanad suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Sehingga, ada beberapa ulama yang berbeda dalam mengkategorikan bahwa suatu hadits tersebut dimasukkan ke dalam hadis shahih, hasan, maupun dha’if. Konsekuensinya, kehujjahannya pun akan berbeda satu sama lainnya.

2)         Berbeda tanggapan tentang ta’arudl (pertentangan antara dalil) dan tarjih (menguatkan satu dalil atas dalil lainnya) seperti: Tentang nasakh dan mansukh, tentang pentakwilan, dan lain sebagainya.

3)         Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum. Perselisihan para mujtahid mengenai ilat (`illah) dari suatu hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan hasil ijtihad.

4)         Dari beberapa sebab perbadaan diatas pada perinsipnya disebabkan karena berbeda dalam memahami nash dan metode pengambilan hukum yang dikarenakan sosio-kultural dan geografisnya

 

 6.         Bentuk-bentuk Ijtihad

            Ijtihad sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, seperti berikut:

a)         Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa setelah Rosul wafat. Sebagai contoh adalah setelah rasul meninggal diperlukan pengangkatan pengganti beliau yang disebut dengan kholifah maka kaum muslimin pada waktu itu sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai kholifah pertama.

b.         Qiyas

Qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian yang telah ditetapakan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat/sifat diantara kejadian atau peristiwa itu. Contoh narkotika diqiyaskan dengan meminum khmar.

c.         Maslahah mursalah.

Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan dimana syar’i tidak mensyariatkan sutau hukum ntuk merealisir kemaslahatan itu dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuanya atau pembatalanya. Contoh kemaslahatan yang karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan tanah pertanian, memungut pajak.

d.         Urf’

Urf’ menurut bahasa berarti kebiasaan. Sedangkan menurt istilah sesuatu yang telah dikenal orang banyak dan menjadi tradisi mereka dan tentunya tradisi disini adalah kebiasaan yang tidak dilarang. Contoh: saling pengertian manusia terhadap jual beli dengan cara saling memberikan tanpa adanya sighot lafdliyah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar