ULAMA INDONESIA UNTUK DUNIA
Riwayat Hidupnya
Nama lengkapnya Syekh Nuruddin Muhammad bin ‘Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Jika ditelaah dari namanya, beliau memiliki darah keturunan (nasab) dari suku Quraisy, suku yang juga menurunkan Nabi Muhammad Saw.
Ayahnya adalah seorang pedagang Arab yang bergiat
dalam pendidikan agama, sedangkan nama populernya adalah Syekh Nuruddin
Ar-Raniri atau Syekh Nuruddin, beliau adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh
pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).
Syekh Nuruddin diperkirakan lahir sekitar akhir abad
ke-16 di kota Ranir, wilayah Gujarat India, dan wafat pada 21 September 1658 M.
Pada tahun 1637 M, ia datang ke Aceh, dan kemudian menjadi penasehat kesultanan
di daerah tersebut sampai tahun 1644 M.
Syekh Nuruddin mula-mula mempelajari bahasa Melayu di
Aceh, lalu memperdalam pengetahuan agama saat beribadah haji ke Makkah.
Sepulang dari Makkah, didapati bahwa pengaruh Syamsuddin as-Sumatrani sangat
besar di Aceh. Karena tidak cocok dengan aliran wujudiyah (salah satu aliran
tasawuf), Syekh Nuruddin pindah ke Semenanjung Malaka untuk memperdalam ilmu
agama dan bahasa Melayu.
Teladan yang dapat dicontoh
Pengetahuan Syekh
Nuruddin tak terbatas dalam satu cabang ilmu saja, namun sangat luas dan mistisisme (tasawuf). Beliau adalah negarawan,
ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah
Melayu pada abad ke-17.
Peranan Syekh
Nuruddin dalam perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat diabaikan. Dia
berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengurangi masuknya tradisi lokal
ke dalam tradisi yang dibawanya. Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih
dulu menyebarkan Islam di wilayah ini, beliau berupaya menghubungkan satu mata
rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.
Bahkan, Syekh
Nuruddin merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktik
sufi yang salah dan benar. Saat baru tiba di Aceh, di wilayah tersebut telah berkembang
luas paham wujudiyah. Paham ini dianut dan dikembangkan oleh Syekh Hamzah
Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani.
Pada tahun 1637
M, ia kembali ke Aceh dan tinggal selama tujuh tahun. Saat itu Syekh Syamsuddin
as-Sumatrani telah meninggal. Berkat keluasan pengetahuannya, Sultan Iskandar
Tani (1636 M-1641 M) mempercayainya untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan
oleh Syamsuddin. Nuruddin menjabat sebagai Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar,
ditambah jabatan sebagai Syekh di Masjid Bait al-Rahmān.
Karya Tulisnya
Syekh Nuruddin
menulis beberapa buah kitab. Ia juga membaca Hikayat Seri Rama dan Hikayat
Inderaputera, yang kemudian dikritiknya dengan tajam, serta Hikayat Iskandar
Zulkarnain. Beliau juga membaca Tāj as-Salātīn karya Bukhari al-Jauhari dan
Sulālat as-Salātīn yang populer pada masa itu. Kedua karya ini, memberi
pengaruh yang besar pada karyanya sendiri, yakni Bustān as-Salātīn.
Sebagai ikhtiar
menyanggah pendapat dan paham wujudiyah, Syekh Nuruddin menulis beberapa kitab,
antara lain Asrār al-‘Ārifīn (Rahasia Orang yang Mencapai Pengetahuan
Sanubari), Syarāb al-‘Asyiqīn (Minuman Para Kekasih), dan Al-Muntahi (Pencapai
Puncak). Di samping itu, ia juga menyanggah ajaran Hamzah Fanzuri melalui
polemik-polemik terbuka dengan para pengikut wujudiyah.
Sesudah
berpolemik selama sekitar satu bulan, Syekh Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh
untuk kembali ke tanah kelahirannya di Ranir, daerah yang meliputi bidang
sejarah, politik, sastra, filsafat, fikih, Gujarat India, sehingga ia
tidak sempat menyelesaikan karangannya yang berjudul Jawāhir al-‘Ulūm fī Kasyfi
al-Ma‘lūm (Hakikat Ilmu dalam Menyingkap Objek Pengetahuan).
Syekh Nuruddin
juga menulis beberapa kitab khusus untuk melawan aliran wujudiyah, antara lain
Hill az-Dzill (Sifat Bayang-bayang), Syifā al- Qulb (Pengobatan Hati), Tibyān
fī Ma‘rifāt al-Adyān (Penjelasan tentang Kepercayaan), Hujjāt al-Siddiq li Daf
az-Zindiq (Pembuktian Ulama dalam Membantah Penyokong Bid’ah), Asrār al-Insān
fī Ma‘rifāt ar-Rūh wal ar- Rahmān (Rahasia Manusia dalam Pengenalan Ruh dan
Yang Maha Pengasih).
Secara keseluruhan, Nuruddin Ar-Raniri
menulis sekitar 30 naskah buku, di antaranya adalah:
1) Al-Shirāth al-Mustaqīm
2) Durrat al-Farāid bi syarh al-‘Aqāid
an-Nasafiyah
3) Hidāyat al-Hābib fi al Targhib
wa’l-Tarhib
4) Bustanus al-Shalathin fī Dzikr
al-Awwālin wa al-Ākhirīn
5) Nubdzah fi Da’wah al-Dzill ma’a
Shāhibihi
6) Lathā’if al-Asrār
7) Asrāl an-Insān fī Ma’rifāt al-Rūh wa
al-Rahmān
8) Tibyān fī Ma’rifat al-Adyān
9) Akhbār al-Ākhirah fi Ahwāl al-Qiyāmah
10) Hill al-Dzhill
11) Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamāt
12) Jawāhir al-‘Ulūm fī Kasyfi’ al-Ma’lūm
13) Aina’l-‘Alam Qabl an-Yukhlaq
14) Syifā’ al-Qulūb
15) Hujjat al-Shiddīq li daf’i al-Zindīq
16) Al-Fat-hu’l-Mubīn ‘a’l-Mulhiddīn
17) Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg
al-Qur’an
18) Shawarim al-Shiddīq li Qath’i al-Zindīq
19) Rahīq al-Muhammadiyyah fī Tharīq
al-Shufiyyah
20) Ba’du Khalq al-samawāt wa al-Ardh
21) Kaifiyat al-Shalāt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar