SUMATERA TAWALIB
Sumatra Thawalib merupakan bagian dari gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya Sumatra Barat. Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 memasukan Sumatra Thawalib sebagai awal-awal gerakan pendidikan dan sosial di Indonesia. Tentunya, gerakan ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh gerakan pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah.
Gerakan pertama yang mempengaruhi pembaharuan di Indonesia adalah
gerakan Ibnu Abdul Wahab yang melancarkan pembaharuan Islam di negeri Arab. Ia
memusatkan pemikirannya kepada ajaran tauhid dan berusaha sekuat tenaga
membersihkan tauhid dari segala unsur yang menodainya di jazirah Arab.
Selanjutnya paham dan gerakan Abdul Wahab tersebar luas dan mempengaruhi
sebagian besar dunia Islam terutama melalui jalur perhajian. Kesadaran Islam
dari kemundurannya dan kebangkitan gerakan pemikiran Islam modern yang
masa-masa selanjutnya semakin digencarkan diperluas oleh tokoh-tokoh berikutnya
seperti Muhammad Jamaluddin la- Afgani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid
Ridho. Ketiga tokoh inilah yang banyak mempengaruhi pembaharu-pembaharu di
Sumatra Utara khususnya, dan Indonesia umumnya.
Gerakan Paderi
Tiga orang haji yaitu Haji Muhammad Arif, terkenal dengan Haji
Sumanik pulang ke Luhak Tanah Datar, Haji Abdurrahman atau Haji Piobang, pulang
ke Luhak Lima Puluh Kuto, dan Haji Miskin Pandai Sikek, pulang ke Luhak Agam
dan para pengikutnya dikenal dengan kelompok Padri. Mereka melancarkan gerakan
pemurnian Islam dari segala yang menodainya. Akan tetapi, gerakan mereka
mendapat tantangan keras dari pihak pembela adat dan penganut tarekat sehingga
menimbulkan konflik dan peperangan terkenal dengan konflik adat dan agama dan
perang Padri.
Konflik adat dan agama melibatkan kaum adat dibantu oleh golongan
umat Islam penganut tarekat di satu pihak, menghadapi tiga orang haji beserta
pengikut-pengikut mereka di pihak lain. Perang Padri terjadi antara kaum
pengikut-pengikut tiga orang haji tersebut, melawan pasukan Belanda yang
membantu kaum adat dan golongan Islam penganut tarekat.
Inilah awal pemikiran Islam modern untuk Sumatra Barat dan mungkin
juga untuk Indonesia. Gerakan ini terlihat nyata pada usaha mereka menyeru
kembali kepada Al-Qur’an dan sunah, memurnikan Islam, dan menentang dominasi
kaum kafir atas umat Islam. Karena tipu daya dan kekuatan pasukan Belanda yang
kuat persenjataannya itu, pihak Padri di bawah pimpinan Tuangku Imam Bojol (1773-1864)
berhasil dikalahkan. Meskipun kaum Padri kalah, akan tetapi semangat dalam
memperjuangkan Islam dan tanah air tetap memberikan inspirasi bagi generasi
setelahnya.
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabaui (1852-1915) dianggap sebagai
pelopor lanjutan dari gerakan Paderi. Ahmad Khatib masih keturunan Tuangku Nan
Tuo, seorang ulama terkemuka serta imam pejuang kaum Padri. Beliau bermukim
selamanya di Mekah, tanpa pernah pulang karena pandangan anti adatnya yang
keras dan tuntutannya yang mutlak agar hukum waris adat diganti dengan hukum
Islam di seluruh negeri. Ia berhasil membina dirinya hingga menjadi seorang
ulama terkemuka dan guru besar pengikut madzhab Syafi’i di masjid Al-Haram
Mekah. Walau ia tidak pulang ke tanah air, akan tetapi pengaruhnya begitu besar
di tanah air.
Syekh Ahmad Khatib berhasil mendidik murid-muridnya menjadi
pemuka-pemuka Islam kenamaan dan pelopor-pelopor gerakan pemikiran Islam modern
serta pejuang-pejuang nasional di tanah air. Sederet nama murid-muridnya yaitu
Tuangku Simbur, Muhammad Nur, Syekh Hasan, Ma’sum, KH Ahmad Dahlan pendiri
Muhammadiyah, KH. Hasyim Asy’ari pendiri pesantren Tebuireng pemimpin terkemuka
Nahdatul Ulama (NU), Syekh Tahir Jalaluddin al-Azhari la-Falaqi, Haji Agus
Salim. Sementara muridnya yang berasal dari Sumatra Barat, yang mempelopori
lahirnya gerakan pembaharuan Islam dan Sumatra Thawalib adalah Syekh Muhammad
Jamil Jambek, Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abdul
Karim Amrulllah, Syekh Daud Rasyidi, Syekh Abas Padang Japang, Syekh Mustafa
Paya Kumbuh, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Sutan Darap, dan lain-lain.
Pengaruh Syekh Ahmad Khatib terhadap Sumatra Thawalib adalah
pengaruh pemikiran pembaharuan di Sumatra Barat. Di mana, Sumatra Thawalib
adalah kelanjutan dari gerakan Paderi untuk menyingkirkan segala sesuatu yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam, yang merusak kemurnian akidah, dan yang dapat
membawa kebekuan Islam itu sendiri.
Sejarah Sumatra Thawalib
Sejarah Sumatra Thawalib tidak bisa dipisahkan dari sejarah surau
dan berbagai organisasi yang berdiri di Minangkabau. Istilah surau di
Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat
Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang
berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak
laki-laki yang telah akil balig dan orang tua yang uzur.
Setelah masuknya Islam, fungsi surau semakin berkembang sebagai
tempat pendidikan Islam, yang dimulai dari pengajian Al-Qur’an, kajian tafsir,
fiqih, nahu, saraf, rukun Islam, rukun iman, ibadat dan akhlak. Setiap surau
ada tuangkunya, atau setiap tuangku ada suraunya. Tuangku yang banyak ilmunya,
banyak juga muridnya. Masing-masing tuangku ada kelebihannya, maka orang
mengaji sering berpindah-pindah dari satu surau ke surau lainnya. Hingga mereka
merasa puas dan merasa kajinya sudah tinggi maka ia mendirikan pengajian
sendiri dan satu waktu mereka pun menjadi tuangku dan memiliki suatau sendiri.
Beberapa surau yang sangat penting artinya bagi Sumatra Thawalib
adalah surau Batu Sangkar, surau Sungai Batang Minanjau, Surau Parabek
Bukittinggi, dan terutama surau Jembatan Besi Padang Panjang. Semua surau ini
dibina dan dikembangkan sejumlah haji, murid-murid Syekh Ahmad Khatib
al-Minangkabaui, sepulang mereka dari belajar dan menunaikan ibadah haji di
abad 20.
Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, adalah awal pangkal sejarah
Sumatra Thawalib, atau Sumatra Thawalib dahulunya adalah surau Jembatan Besi.
Tuangkunya yang pertama adalah Syekh Abdullah Ahmad. Ia mengamalkan ilmu yang
didapatkannya sepulang haji. Dalam mengabdikan ilmu dan pikirannya, ia dibantu
kakak beradik, Syekh Abdul Latif Rasyidi dan Syekh Daud Rasyidi. Akhirnya
Abdullah Ahmad menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab dan pengelolaan pengajian
kepada pembantunya itu sedang dia sendiri mulai memikirkan yang lain, yaitu
mendirikan sekolah agama yang diberi nama Adabiah School di Padang Panjang.
Sewaktu Abdullah Ahmad meninggalkan Padang Panjang, kedudukannya
sebagai penanggung jawab dan guru mengaji di surau ini diserahkan sepenuhnya
kepada Syekh Daud Rasyidi. Dan ketika Syekh Daud Rasyidi berangkat ke Mekah,
pimpinan surau Jembatan Besi diserahkan kepada kakaknya, Abdul Latif Rasyidi.
Syekh Daud Rasyidi juga meminta bantuan kepada gurunya Haji Abdul Karim
Amrullah atau terkenal dengan Haji Rasul yang saat itu mengajar di suraunya, di
Maninjau, untuk mengajar di Surau Jembatan Besi.
Sewaktu Haji Abdul Latif meninggal dunia, seluruh Umat Islam Padang
Panjang sepakat untuk meminta Haji Rasul menetap di Padang Panjang dan memimpin
surau Jembatan Besi. Atas restu Abdullah Ahmad, harapan Masyarakat ini
dikabulkan dan mulai 1912, Haji Rasul menjadi pemimpin tunggal surau Jembatan
Besi. Sistem pendidikan yang diterapkan tidak diubah, tetapi isi pengajiannya
sudah dikembangkan. Kepada murid-murid ditanamkan semangat baru, yaitu semangat
berdiskusi, berpikir bebas, mambaca, memahami, dan berkumpul atau
berorganisasi. Kitab-kitab mulai dibaca dan didiskusikan. Di sisi lain,
kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, politik, dan keagamaan sedang mengalami
perubahan-perubahan pula.
Perjuangan dan pergerakan nasional mulai gencar diayunkan di
seluruh nusantara. Ini diawali dengan berdirinya berbagai organisasi seperti
Jami’atul Khair, Budi Utomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Partai Komunis
Indonesia atau PKI, Nahdatul Ulama, Partai Nasional Indonesia atau PNI, dan
lain-lain. Kesadaran berorganisasi pun tumbuh pada pelajar-pelajar surau
Jembatan Besi. Ketika itu ada seseorang yang bernama Bagindo Djamaluddin Rasjad
yang baru saja kembali dari Eropa dan berpidato menyampaikan pengalamannya
tentang banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dalam berorganisasi. Para
pelajar Surau Jembatan Besi yang dipelopori oleh Haji Habib (serang pelajar
Surau Jembatan Besi) berkumpul dan berfikir tentang usaha mendirikan
organisasi. Akhirnya mereka memberanikan diri memohon izin kepada Haji Rasul untuk
mendirikan organisasi. Sang guru pun memberikan izin dan dipilihlah nama
Persaiyoan sebagai perkumpulan mereka. Tujuan pokoknya ditetapkan ditetapkan
untuk membantu mempermudah murid mendapatkan keperluan harian mereka dengan
harga yang ringan dan longgar pembayarannya. Dengan demikian terbentuklah
organisasi murid yang bergerak dalam lapangan sosial ekonomi. Barang- barang
pokok yang disediakan adalah sabun mandi dan sabun cuci yang sangat banyak
diperlukan, kemudian dilengkapi dengan buku tulis, pensil, tinta dan keperluan
lainnya, sehingga Persaiyoan dikenal juga dengan Perkumpulan sabun. Setelah
perkumpulan ini langsung dapat dirasakan manfaatnya, tahun 1917, Hasyim, murid
surau Jembatan Besi yang berasal dari Tapak Tuan, Aceh, berusaha mengembangkannya.
atas bantuannya, semua keperluan pelajar yang telah disebutkan di atas
ditambang dengan pelayanan gunting rambut, menjahit pakaian, cuci dan
setrikakepeluan dapur dan kebutuhan harian lainnya berhasil disediakan dan
dilayani perkumpulan ini.
Tahun 1918, nama Persarikatan dan perkumpulan sabun diubah menjadi
Thuwailib. Karena pelajar-pelajar surau Jembatan Besi sebagian besar berasal
dari luar Padang Panjang dan bahkan banyak pula yang datang dari
wilayah-wilayah lain di pulau Sumatra, maka Zainuddin Labai dan Jalaluddin
Thaib mengubah nama Thuwailib menjadi Sumatra Thuwailib (Pelajar Kecil
Sumatra). Begitu juga pengajian surau Jembatan Besi sekaligus disesuaikan
namanya menjadi Sumatra Thuwailib dan ditempatkan di bawah pengawasan satu
pengurus sekolah yang anggota-anggotanya terdiri dari tamatan surau Jembatan
Besi, guru-guru muda, dan pedagang pedagang di sekitar Padang Pajang.
Keadaan sebagai terurai di atas merangsang masyarakat surau
berlomba- lomba mendirikan organisasi agar tidak dikatakan ketinggalan zaman.
Di desa Parabek dekat Bukit Tinggi, pada tahun 1908 Ibrahim Musa mendirikan
sebuah surau yang kemudian di kenal dengan nama surau Parabek. Tahun 1919,
pelajar-pelajar surau Parabek mendirikan organisasi yang mereka namakan
Muzakarat la-Ikhwan. Tujuan utama organisasi ini adalah mengadakan
diskusi-diskusi ilmiah mengenai segala persoalan dikaitkan dengan Islam, untuk
latihan dialog, dan berdebat, melatih kecepatan berpikir, manambah ilmu
pengetahuan dan melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Muzakarat la-Ikhwan
kemudian berubah nama menjadi Thuwailib. Terbawa oleh perkembangan aktivitas
dan kreativitas pelajar-pelajar surau Jembatan Besi Padang Panjang yang telah
menyempurnakan nama organisasinya menjadi Sumatra Thuwailib, surau Parabek ini
pun menyempurnakan nama Thuwailibnya menjadi Sumatra Thuwailib.
Dengan ini jelaslah, telah lahir dua buah Sumatra Thuwailib di dua
buah surau penting di Sumatra Barat, sebagai peningkatan dan penyempurnaan dua
buah organisasi pelajar. Kemudian, Syekh Haji Rasul bersama Syekh Ibrahim Musa
bermusyawarah menghasilkan keputusan penggabungan kedua organisasi, Sumatra
Thuwailib di Padang Panjang dan Sumatra Thuwailib di Parabek. Namanya pun
diubah menjadi Sumatra Thawalib, sebab anggotanyasudah banyak dan dan
wilayahnya pun semakin luas. Sumatra Thawalib lahir sebagai organisasi tempat
seluruh pelajar surau Jembatan Besi Padang Panjang dan surau Parabek
Bukittinggi bersatu dan memadukan aktivitas mereka yang sebelumnya digiatkan
melalauiorganisasi lokal masing-masing. Kelahiran Sumatra Thawalib yang pertama
ini diikuti oleh Sumatra Thawalib-Sumatra Thawalib surau lainnya di berbagai
daerah, baik yang berada di Sumatra Barat, maupun di luarnya, sampai ke Aceh
dan Bengkulen. Tidak ada ikatan dan hubungan organisatoris sama sekali antara
satu dengan lainnya (yang terbentuk di daerah-daerah selain di Padang Panjang
dan Bukittinggi). Akan tetapi, langkah, gerak, ragam, maksud, dan tujuannya,
ide dan idealnya, adalah sama.
Seiring berjalannya waktu Sumatra Thawalib berkembang menjadi
sebuah perguruan. Kehadiran Sumatra Thawalib sebagai perguruan atau sekolah
adalah untuk melancarkan pendidikan dan pengajaran. Ada beberapa latar belakang
yang membuat Sumatra Thawalib berubah dari organisasi menjadi lembaga
pendidikan yaitu: pertama, pengaruh misi kristen yang membangun gereja dan
sekolah-sekolah zending di seluruh Nusantara, termasuk daerah tetangga Sumatra
Barat, yaitu Tapanuli. Begitu juga adanya misionaris yang keluar masuk kota dan
desa dengan membagikan Injil-injil, surat kabar, dan majalah kepada masyarakat.
Kedua, sebagai pengaruh dari perkembangan lembaga pendidikan umum dan sekolah
yang dibuat oleh pemerintah Belanda, seperti Inlandsche Lagere School (Sekolah
Rendah Pribumi), Hollandsche Inlandsche School, Kweekschool Noor Inlandsche
Onderwijzers, Hollandsche Chineesche School, Hoogere Burger School (HBS), Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Algemeene Middlebare School (AMS), dan
lain-lain.
Hal itulah yang mendorong Sumatra Thawalib untuk menyusun salah
satu programnya yang lebih jelas dan terarah dalam bidang pendidikan, yaitu
mengubah berbagai pengajian surau di daerah-daerah yang strategis menjadi
sekolah-sekolah Islam. Perubahan surau menjadi sekolah berkelas di awali surau
Jembatan Besi Padang Panjang di bawah pimpinan Syekh Abdul Karim Amrullah.
Sekolah yang didirikannya bernamakan Sumatra Thawalib atau Perguruan Thawalib
Padang Panjang. Ini terjadi pada tahun 1911. Sistem pengajarannya yaitu sistem
halaqah, di mana murid-murid dan guru sama-sama duduk di lantai membentuk
lingkaran. Tahun 1918 terjadi pembaharuan, murid-murid dibagi sesuai umur dan
tingkatan pendidikannya menjadi tujuh kelas. Tingkatan permulaan, murid-murid
diajar oleh guru- guru bantu, termasuk Zainudin Labai, buku-buku yang diajarkan
pun terbatas pada buku-buku yang dikarang Zainudin Labai eL-Yunusi sendiri atau
yang ditulis oleh guru-guru lainnya. Pada tingkatan tertinggi diajarkan oleh
kitab-kitab dari Mesir di bawah asuhan Haji Rosul. Tahun 1920, Haji Rasul
menukar berbagai kitab yang selama ini dipakai dengan kitab-kitab baru, di
antarannya Bidayat al-Mujtahid, Ushul al-Ma’mul, Al-Muhazzab, dan lain-lain.
Tokoh lain yang berperan dalam kemajuan Sumatra Thawalib adalah
Haji Jalaluddin Thaib. Dialah orang yang menerapkan sistem berkelas yang
sempurna, memakai bangku dan meja murid, kurikulum diatur dengan baik dan
disempurnakan, organisasi dan administrasi sekolah mulai disusun, uang sekolah
mulai dipungut dari murid-murid, dan tamatannya diberi ijazah. Ia juga berhasil
mendirikan Sumatra Thawalib di Tapak Tuan, Aceh. serta, ia juga menjadi ketua
umum persatuan seluruh Sumatra Thawalib di Sumatra. Thawalib, sebagai perguruan
telah banyak membuahkan hasil. Pertama, sebagai pelopor yang mengubah sistem
pengajian surau menjadi sekolah agama. Kedua, berhasil memasukan mata pelajaran
umum ke dalam sekolah agama. Ketiga, murid-murid dan lulusannya semua berjiwa
revolusioner, mempunyai kebebasan berpikir, bebas berjalan sendiri asal tidak
menyimpang dari Al-Qur’an dan sunah. Keempat, banyak menghasilkan murid yang
lebih pandai daripada guru. Kelima, dalam kelas dan ruangan-ruangan diskusi,
murid-murid selalu menghidupkan suasana bantah-membantah, muzakarah,
munadzarah. Keenam, mereka tidak terikat terhadap mazhab fikih. Mereka mempelajari
mazhab yang empat, tetapi mengamalkan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis.
Ketujuh, membuka mata umat Islam Sumatra terhadap buku-buku atau kitab-kitab
hasil karya ulama-ulama Islam modern. Kedelapan, menyegerakan kemajuan dan
perubahan, dengan mendirikan berbagai organisasi, penerbitan buku, majalah dan
surat kabar. Kesembilan, menanamkan kesadaran berbangsa dan berpolitik dalam
masyarakat. Kesepuluh, mereka berpikiran maju.
Nahdlatul
Wathan
Sejarah Pendirian
Namun, jauh sebelum itu semua berkembang dengan begitu pesat,
sekiranya kita mengetahui bahwasanya begitu banyak rintangan-rintangan dan
ujian yang beliau hadapi khususnya dari masyarakat Pancor sendiri. Salah satu
ujian yang cukup berat yang beliau rasakan adalah ketika beliau di fitnah oleh
sebagian masyarakat yang memang kontra terhadap beliau yang pada akhirnya
beliau tidak diperbolehkan untuk melaksanakan sholat jum’at di Pancor, sehingga
dengan terpaksa beliau harus jum’atan di Labuhan Haji selama kurang lebih 3
bulan. Akan tetapi, itu semua tidak membuat semangat beliau lemah dan justru
karna itu semua menjadikan beliau lebih termotivasi untuk terus berjuang
mendirikan madrasah dalam rangka menjalankan syariat Islam.
Selain itu juga, alasan beliau untuk terus berjuang mendirikan
Nahdlatul Wathan Diniah Islamiah (NWDI) karena beliau merasa penyebaran dan
pengembangan Islam melalui system pendidikan kemadrasahan, yang dimana menurut
pandangan beliau saat itu adalah Fardhu Ain, dan juga beliau melihat pada masa
itu banyak sekali kebodohan dan keterbelakangan yang melanda sebagian besar
masyarakat wilayah Lombok Timur terutama di kalangan remaja sasak yang di
akibatkan pleh banyaknya tekanan-tekanan dari tindakan politik colonial Belanda
dan kerajaan Hindu-Bali yang sudah beratus-ratus tahun menguasai daerah Lombok.
Dengan perjuangan Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid, yang begitu besar, ternyata bukan suatu perjuangan yang sia-sia karena
beliau berhasil mencapai keinginannya untuk mendirikan madrasah Nahdlatul
Wathan Diniah Islamiah (NWDI) itu sendiri dan terus berkembang seperti yang
kita rasakan hingga saat ini. Adapun mata pelajaran yang diajarkan pada saat
itu yakni Membaca Al-Qur’an, Tajwid, Tafsir, ushul Tafsir, Hadis, Tauhid,
Fiqih, Ushul Fiqih, Tashawuf, Tarikh, Ilmu-ilmu bahasa Arab seperti Nahwu,
Sharaf, Balagoh, ‘Arud, Ilmu falak, Manthiq dan lain-lain. Waktu belajarnyapun
dilaksanakan pada sore hari, yakni dari pukul 13.30-17.00 WITA.
Adapun sebagai landasan argumentasi Nahdlatul Wathan menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i adalah sebagai berikut:
a) Sabda
Nabi Muhammad SAW yang diriwiyatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam al-Bukhari
dalam Tarikh al-Kabir al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Imam, Abu Dawud, Ibn Huzaimah,
Ibn Hibban dan lain-lain yang artinya : “Hendaklah kamu bersama golongan
terbesar [mayoritas] dan pertolongan Allah selalu bersama golongan mayoritas,
maka barang siapa yang memisahkan diri [dari komunitas jama’ah] maka mereka
termasuk dalam golongan orang-orang ahli neraka.” [HR Tirmidzi]. “Allah tidak
menghimpun ummat ini dalam kesesatan selama-lamanya dan pertolongan Allah
selalu bersama golongan mayoritas.” [HR al- Thabrani].
b) Fakta
sejarah menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam sedunia dari abad ke abad adalah
Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhab dengan salah satu madzhab yang
empat dari sejak lahir madzhab itu.
c) Umat
Islam Indonesia sejak awal telah menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah
dan menganut madzhab Syafi’i sejak madzhab masuk ke Indonesia.
d) Imam-Imam
Hufadz al-Hadis yang telah hafal beratus-ratus ribu Hadis yang diakui oleh
kawan atau lawan akan keimanan, ketaqwaan dan keahilan mereka, serta karangan
mereka telah menjadi pokok dan dasar pegangan umat Islam sedunia sesudah
al-Qur’an al Karim, sepenti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam
Turmudzi, Imam Baihaqi, Imam Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Imam Hakim dan
lain-lainnya dan ratusan Imam ahli al-Hadis. Semuanya menganut aqidah Ahlu al-
Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhah Syafi’i atau yang lainnya dari madzhah yang
empat. Demikian juga dari Imam-imam dan ulama fiqh, ushul, tasawwul merekapun
menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al- Jama’ah dan juga bermadzhab.
e) Jumhur
ulama ushul menandaskan bahwa orang yang belum sampai tingkatan ilmunya pada
tingkatan mujtahid muthlaq maka wajib bertaqlid kepada salah satu madzhab empat
dalam masalah furu’ syari’ah.
f) Fuqaha
‘Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mengatakan bahwa bermadzhab bukanlah berarti
membuang atau membelakangi al Qur’an dan Hadis seperti tuduhan sementara orang.
Namun sebaliknya bermadzhab adalah benar-benar mengikuti Al-Qur’an dan Hadis
karena kitab-kitab itu adalah syarah dan Al-Qur’an dan Hadis itu sendiri.
g) Imam
Sayuti yang hidup pada awal abad 10 H yang terkenal sangat ahli dalam berbagai
disiplin ilmu pengetahuan Islam. Karangan-karangan dia kurang lebih 600 buah
kitab, yang sangat penting dan bernilai tinggi dikalangan Islam. Dia memperoleh
gelar “Amir al-Mukminin Fi al-Hadis” (raja umat Islam dalam ilmu Hadis) karena
dia telah menghafal ratusan ribu Hadis. Pernah suatu ketika dia menyatakan
dirinya telah mencapai tingkat mujtahid dan terlepas dari madzhab yang
diantaranya, yaitu madzhab Syafi’i. Maka segeralah dia diserang oleh para Imam
ulama’ fiqh, mufassir, muhaddits dan ahli ushul dengan alasan dan dalil yang
sangat jitu dan tepat. Akhirnya dia dengan jujur dan penuh kesadaran mencabut
pernyataannya dan kembali bertaqlid serta bermadzhab dengan madzhab Syafi’i.
h) Madzhab
Syafi’i dilihat dari segi sumber atau dasarnya, lebih unggul dibandingkan
dengan madzhab-madzhab yang lain. Sedangkan tujuan organisasi ini adalah Li
I’laai Kalimatillah wa Izzi al-Islam wa al-Muslimin dalam rangka mencapai
keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sesuai dengan ajaran
Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i
Radliyallahu ‘anhu. Tujuan ini merupakan penggabungan dan tujuan organisasi dan
asas organisasi sebelum Undang- Undang Nomor 8 tahun 1985 diberlakukan. Peserta
Muktamar ke-8 menghendaki agar asas organisasi terdahulu tidak dihilangkan
dengan adanya ketentuan Asas Tunggal. Kompromi yang dapat dilakukan adalah
memindahkan pernyataan tentang asas Islam tersebut ke dalam tujuan organisasi,
sehingga makna esensial asas tersebut tidak hilang.
Mathla’ul
Anwar.
Didirikan oleh
KH. Muh Yasin di Manes, Jawa Barat. Organisasi ini banyak bergerak dalam bidang
pendidikan sedang dalam bidang perjuangan melawan penjajah banyak disalurkan
lewat syarikat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar