SUMATERA TAWALIB

SUMATERA TAWALIB



Sumatra Thawalib merupakan bagian dari gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya Sumatra Barat. Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 memasukan Sumatra Thawalib sebagai awal-awal gerakan pendidikan dan sosial di Indonesia. Tentunya, gerakan ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh gerakan pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah.

Gerakan pertama yang mempengaruhi pembaharuan di Indonesia adalah gerakan Ibnu Abdul Wahab yang melancarkan pembaharuan Islam di negeri Arab. Ia memusatkan pemikirannya kepada ajaran tauhid dan berusaha sekuat tenaga membersihkan tauhid dari segala unsur yang menodainya di jazirah Arab. Selanjutnya paham dan gerakan Abdul Wahab tersebar luas dan mempengaruhi sebagian besar dunia Islam terutama melalui jalur perhajian. Kesadaran Islam dari kemundurannya dan kebangkitan gerakan pemikiran Islam modern yang masa-masa selanjutnya semakin digencarkan diperluas oleh tokoh-tokoh berikutnya seperti Muhammad Jamaluddin la- Afgani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridho. Ketiga tokoh inilah yang banyak mempengaruhi pembaharu-pembaharu di Sumatra Utara khususnya, dan Indonesia umumnya.

 

 Gerakan Paderi

Tiga orang haji yaitu Haji Muhammad Arif, terkenal dengan Haji Sumanik pulang ke Luhak Tanah Datar, Haji Abdurrahman atau Haji Piobang, pulang ke Luhak Lima Puluh Kuto, dan Haji Miskin Pandai Sikek, pulang ke Luhak Agam dan para pengikutnya dikenal dengan kelompok Padri. Mereka melancarkan gerakan pemurnian Islam dari segala yang menodainya. Akan tetapi, gerakan mereka mendapat tantangan keras dari pihak pembela adat dan penganut tarekat sehingga menimbulkan konflik dan peperangan terkenal dengan konflik adat dan agama dan perang Padri.

Konflik adat dan agama melibatkan kaum adat dibantu oleh golongan umat Islam penganut tarekat di satu pihak, menghadapi tiga orang haji beserta pengikut-pengikut mereka di pihak lain. Perang Padri terjadi antara kaum pengikut-pengikut tiga orang haji tersebut, melawan pasukan Belanda yang membantu kaum adat dan golongan Islam penganut tarekat.

Inilah awal pemikiran Islam modern untuk Sumatra Barat dan mungkin juga untuk Indonesia. Gerakan ini terlihat nyata pada usaha mereka menyeru kembali kepada Al-Qur’an dan sunah, memurnikan Islam, dan menentang dominasi kaum kafir atas umat Islam. Karena tipu daya dan kekuatan pasukan Belanda yang kuat persenjataannya itu, pihak Padri di bawah pimpinan Tuangku Imam Bojol (1773-1864) berhasil dikalahkan. Meskipun kaum Padri kalah, akan tetapi semangat dalam memperjuangkan Islam dan tanah air tetap memberikan inspirasi bagi generasi setelahnya.

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabaui (1852-1915) dianggap sebagai pelopor lanjutan dari gerakan Paderi. Ahmad Khatib masih keturunan Tuangku Nan Tuo, seorang ulama terkemuka serta imam pejuang kaum Padri. Beliau bermukim selamanya di Mekah, tanpa pernah pulang karena pandangan anti adatnya yang keras dan tuntutannya yang mutlak agar hukum waris adat diganti dengan hukum Islam di seluruh negeri. Ia berhasil membina dirinya hingga menjadi seorang ulama terkemuka dan guru besar pengikut madzhab Syafi’i di masjid Al-Haram Mekah. Walau ia tidak pulang ke tanah air, akan tetapi pengaruhnya begitu besar di tanah air.

Syekh Ahmad Khatib berhasil mendidik murid-muridnya menjadi pemuka-pemuka Islam kenamaan dan pelopor-pelopor gerakan pemikiran Islam modern serta pejuang-pejuang nasional di tanah air. Sederet nama murid-muridnya yaitu Tuangku Simbur, Muhammad Nur, Syekh Hasan, Ma’sum, KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, KH. Hasyim Asy’ari pendiri pesantren Tebuireng pemimpin terkemuka Nahdatul Ulama (NU), Syekh Tahir Jalaluddin al-Azhari la-Falaqi, Haji Agus Salim. Sementara muridnya yang berasal dari Sumatra Barat, yang mempelopori lahirnya gerakan pembaharuan Islam dan Sumatra Thawalib adalah Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abdul Karim Amrulllah, Syekh Daud Rasyidi, Syekh Abas Padang Japang, Syekh Mustafa Paya Kumbuh, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Sutan Darap, dan lain-lain.

Pengaruh Syekh Ahmad Khatib terhadap Sumatra Thawalib adalah pengaruh pemikiran pembaharuan di Sumatra Barat. Di mana, Sumatra Thawalib adalah kelanjutan dari gerakan Paderi untuk menyingkirkan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, yang merusak kemurnian akidah, dan yang dapat membawa kebekuan Islam itu sendiri.

 

 Sejarah Sumatra Thawalib

Sejarah Sumatra Thawalib tidak bisa dipisahkan dari sejarah surau dan berbagai organisasi yang berdiri di Minangkabau. Istilah surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil balig dan orang tua yang uzur.

Setelah masuknya Islam, fungsi surau semakin berkembang sebagai tempat pendidikan Islam, yang dimulai dari pengajian Al-Qur’an, kajian tafsir, fiqih, nahu, saraf, rukun Islam, rukun iman, ibadat dan akhlak. Setiap surau ada tuangkunya, atau setiap tuangku ada suraunya. Tuangku yang banyak ilmunya, banyak juga muridnya. Masing-masing tuangku ada kelebihannya, maka orang mengaji sering berpindah-pindah dari satu surau ke surau lainnya. Hingga mereka merasa puas dan merasa kajinya sudah tinggi maka ia mendirikan pengajian sendiri dan satu waktu mereka pun menjadi tuangku dan memiliki suatau sendiri.

Beberapa surau yang sangat penting artinya bagi Sumatra Thawalib adalah surau Batu Sangkar, surau Sungai Batang Minanjau, Surau Parabek Bukittinggi, dan terutama surau Jembatan Besi Padang Panjang. Semua surau ini dibina dan dikembangkan sejumlah haji, murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabaui, sepulang mereka dari belajar dan menunaikan ibadah haji di abad 20.

Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, adalah awal pangkal sejarah Sumatra Thawalib, atau Sumatra Thawalib dahulunya adalah surau Jembatan Besi. Tuangkunya yang pertama adalah Syekh Abdullah Ahmad. Ia mengamalkan ilmu yang didapatkannya sepulang haji. Dalam mengabdikan ilmu dan pikirannya, ia dibantu kakak beradik, Syekh Abdul Latif Rasyidi dan Syekh Daud Rasyidi. Akhirnya Abdullah Ahmad menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab dan pengelolaan pengajian kepada pembantunya itu sedang dia sendiri mulai memikirkan yang lain, yaitu mendirikan sekolah agama yang diberi nama Adabiah School di Padang Panjang.

Sewaktu Abdullah Ahmad meninggalkan Padang Panjang, kedudukannya sebagai penanggung jawab dan guru mengaji di surau ini diserahkan sepenuhnya kepada Syekh Daud Rasyidi. Dan ketika Syekh Daud Rasyidi berangkat ke Mekah, pimpinan surau Jembatan Besi diserahkan kepada kakaknya, Abdul Latif Rasyidi. Syekh Daud Rasyidi juga meminta bantuan kepada gurunya Haji Abdul Karim Amrullah atau terkenal dengan Haji Rasul yang saat itu mengajar di suraunya, di Maninjau, untuk mengajar di Surau Jembatan Besi.

Sewaktu Haji Abdul Latif meninggal dunia, seluruh Umat Islam Padang Panjang sepakat untuk meminta Haji Rasul menetap di Padang Panjang dan memimpin surau Jembatan Besi. Atas restu Abdullah Ahmad, harapan Masyarakat ini dikabulkan dan mulai 1912, Haji Rasul menjadi pemimpin tunggal surau Jembatan Besi. Sistem pendidikan yang diterapkan tidak diubah, tetapi isi pengajiannya sudah dikembangkan. Kepada murid-murid ditanamkan semangat baru, yaitu semangat berdiskusi, berpikir bebas, mambaca, memahami, dan berkumpul atau berorganisasi. Kitab-kitab mulai dibaca dan didiskusikan. Di sisi lain, kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, politik, dan keagamaan sedang mengalami perubahan-perubahan pula.

Perjuangan dan pergerakan nasional mulai gencar diayunkan di seluruh nusantara. Ini diawali dengan berdirinya berbagai organisasi seperti Jami’atul Khair, Budi Utomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Partai Komunis Indonesia atau PKI, Nahdatul Ulama, Partai Nasional Indonesia atau PNI, dan lain-lain. Kesadaran berorganisasi pun tumbuh pada pelajar-pelajar surau Jembatan Besi. Ketika itu ada seseorang yang bernama Bagindo Djamaluddin Rasjad yang baru saja kembali dari Eropa dan berpidato menyampaikan pengalamannya tentang banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dalam berorganisasi. Para pelajar Surau Jembatan Besi yang dipelopori oleh Haji Habib (serang pelajar Surau Jembatan Besi) berkumpul dan berfikir tentang usaha mendirikan organisasi. Akhirnya mereka memberanikan diri memohon izin kepada Haji Rasul untuk mendirikan organisasi. Sang guru pun memberikan izin dan dipilihlah nama Persaiyoan sebagai perkumpulan mereka. Tujuan pokoknya ditetapkan ditetapkan untuk membantu mempermudah murid mendapatkan keperluan harian mereka dengan harga yang ringan dan longgar pembayarannya. Dengan demikian terbentuklah organisasi murid yang bergerak dalam lapangan sosial ekonomi. Barang- barang pokok yang disediakan adalah sabun mandi dan sabun cuci yang sangat banyak diperlukan, kemudian dilengkapi dengan buku tulis, pensil, tinta dan keperluan lainnya, sehingga Persaiyoan dikenal juga dengan Perkumpulan sabun. Setelah perkumpulan ini langsung dapat dirasakan manfaatnya, tahun 1917, Hasyim, murid surau Jembatan Besi yang berasal dari Tapak Tuan, Aceh, berusaha mengembangkannya. atas bantuannya, semua keperluan pelajar yang telah disebutkan di atas ditambang dengan pelayanan gunting rambut, menjahit pakaian, cuci dan setrikakepeluan dapur dan kebutuhan harian lainnya berhasil disediakan dan dilayani perkumpulan ini.

Tahun 1918, nama Persarikatan dan perkumpulan sabun diubah menjadi Thuwailib. Karena pelajar-pelajar surau Jembatan Besi sebagian besar berasal dari luar Padang Panjang dan bahkan banyak pula yang datang dari wilayah-wilayah lain di pulau Sumatra, maka Zainuddin Labai dan Jalaluddin Thaib mengubah nama Thuwailib menjadi Sumatra Thuwailib (Pelajar Kecil Sumatra). Begitu juga pengajian surau Jembatan Besi sekaligus disesuaikan namanya menjadi Sumatra Thuwailib dan ditempatkan di bawah pengawasan satu pengurus sekolah yang anggota-anggotanya terdiri dari tamatan surau Jembatan Besi, guru-guru muda, dan pedagang pedagang di sekitar Padang Pajang.

Keadaan sebagai terurai di atas merangsang masyarakat surau berlomba- lomba mendirikan organisasi agar tidak dikatakan ketinggalan zaman. Di desa Parabek dekat Bukit Tinggi, pada tahun 1908 Ibrahim Musa mendirikan sebuah surau yang kemudian di kenal dengan nama surau Parabek. Tahun 1919, pelajar-pelajar surau Parabek mendirikan organisasi yang mereka namakan Muzakarat la-Ikhwan. Tujuan utama organisasi ini adalah mengadakan diskusi-diskusi ilmiah mengenai segala persoalan dikaitkan dengan Islam, untuk latihan dialog, dan berdebat, melatih kecepatan berpikir, manambah ilmu pengetahuan dan melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Muzakarat la-Ikhwan kemudian berubah nama menjadi Thuwailib. Terbawa oleh perkembangan aktivitas dan kreativitas pelajar-pelajar surau Jembatan Besi Padang Panjang yang telah menyempurnakan nama organisasinya menjadi Sumatra Thuwailib, surau Parabek ini pun menyempurnakan nama Thuwailibnya menjadi Sumatra Thuwailib.

Dengan ini jelaslah, telah lahir dua buah Sumatra Thuwailib di dua buah surau penting di Sumatra Barat, sebagai peningkatan dan penyempurnaan dua buah organisasi pelajar. Kemudian, Syekh Haji Rasul bersama Syekh Ibrahim Musa bermusyawarah menghasilkan keputusan penggabungan kedua organisasi, Sumatra Thuwailib di Padang Panjang dan Sumatra Thuwailib di Parabek. Namanya pun diubah menjadi Sumatra Thawalib, sebab anggotanyasudah banyak dan dan wilayahnya pun semakin luas. Sumatra Thawalib lahir sebagai organisasi tempat seluruh pelajar surau Jembatan Besi Padang Panjang dan surau Parabek Bukittinggi bersatu dan memadukan aktivitas mereka yang sebelumnya digiatkan melalauiorganisasi lokal masing-masing. Kelahiran Sumatra Thawalib yang pertama ini diikuti oleh Sumatra Thawalib-Sumatra Thawalib surau lainnya di berbagai daerah, baik yang berada di Sumatra Barat, maupun di luarnya, sampai ke Aceh dan Bengkulen. Tidak ada ikatan dan hubungan organisatoris sama sekali antara satu dengan lainnya (yang terbentuk di daerah-daerah selain di Padang Panjang dan Bukittinggi). Akan tetapi, langkah, gerak, ragam, maksud, dan tujuannya, ide dan idealnya, adalah sama.

Seiring berjalannya waktu Sumatra Thawalib berkembang menjadi sebuah perguruan. Kehadiran Sumatra Thawalib sebagai perguruan atau sekolah adalah untuk melancarkan pendidikan dan pengajaran. Ada beberapa latar belakang yang membuat Sumatra Thawalib berubah dari organisasi menjadi lembaga pendidikan yaitu: pertama, pengaruh misi kristen yang membangun gereja dan sekolah-sekolah zending di seluruh Nusantara, termasuk daerah tetangga Sumatra Barat, yaitu Tapanuli. Begitu juga adanya misionaris yang keluar masuk kota dan desa dengan membagikan Injil-injil, surat kabar, dan majalah kepada masyarakat. Kedua, sebagai pengaruh dari perkembangan lembaga pendidikan umum dan sekolah yang dibuat oleh pemerintah Belanda, seperti Inlandsche Lagere School (Sekolah Rendah Pribumi), Hollandsche Inlandsche School, Kweekschool Noor Inlandsche Onderwijzers, Hollandsche Chineesche School, Hoogere Burger School (HBS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Algemeene Middlebare School (AMS), dan lain-lain.

Hal itulah yang mendorong Sumatra Thawalib untuk menyusun salah satu programnya yang lebih jelas dan terarah dalam bidang pendidikan, yaitu mengubah berbagai pengajian surau di daerah-daerah yang strategis menjadi sekolah-sekolah Islam. Perubahan surau menjadi sekolah berkelas di awali surau Jembatan Besi Padang Panjang di bawah pimpinan Syekh Abdul Karim Amrullah. Sekolah yang didirikannya bernamakan Sumatra Thawalib atau Perguruan Thawalib Padang Panjang. Ini terjadi pada tahun 1911. Sistem pengajarannya yaitu sistem halaqah, di mana murid-murid dan guru sama-sama duduk di lantai membentuk lingkaran. Tahun 1918 terjadi pembaharuan, murid-murid dibagi sesuai umur dan tingkatan pendidikannya menjadi tujuh kelas. Tingkatan permulaan, murid-murid diajar oleh guru- guru bantu, termasuk Zainudin Labai, buku-buku yang diajarkan pun terbatas pada buku-buku yang dikarang Zainudin Labai eL-Yunusi sendiri atau yang ditulis oleh guru-guru lainnya. Pada tingkatan tertinggi diajarkan oleh kitab-kitab dari Mesir di bawah asuhan Haji Rosul. Tahun 1920, Haji Rasul menukar berbagai kitab yang selama ini dipakai dengan kitab-kitab baru, di antarannya Bidayat al-Mujtahid, Ushul al-Ma’mul, Al-Muhazzab, dan lain-lain.

Tokoh lain yang berperan dalam kemajuan Sumatra Thawalib adalah Haji Jalaluddin Thaib. Dialah orang yang menerapkan sistem berkelas yang sempurna, memakai bangku dan meja murid, kurikulum diatur dengan baik dan disempurnakan, organisasi dan administrasi sekolah mulai disusun, uang sekolah mulai dipungut dari murid-murid, dan tamatannya diberi ijazah. Ia juga berhasil mendirikan Sumatra Thawalib di Tapak Tuan, Aceh. serta, ia juga menjadi ketua umum persatuan seluruh Sumatra Thawalib di Sumatra. Thawalib, sebagai perguruan telah banyak membuahkan hasil. Pertama, sebagai pelopor yang mengubah sistem pengajian surau menjadi sekolah agama. Kedua, berhasil memasukan mata pelajaran umum ke dalam sekolah agama. Ketiga, murid-murid dan lulusannya semua berjiwa revolusioner, mempunyai kebebasan berpikir, bebas berjalan sendiri asal tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan sunah. Keempat, banyak menghasilkan murid yang lebih pandai daripada guru. Kelima, dalam kelas dan ruangan-ruangan diskusi, murid-murid selalu menghidupkan suasana bantah-membantah, muzakarah, munadzarah. Keenam, mereka tidak terikat terhadap mazhab fikih. Mereka mempelajari mazhab yang empat, tetapi mengamalkan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis. Ketujuh, membuka mata umat Islam Sumatra terhadap buku-buku atau kitab-kitab hasil karya ulama-ulama Islam modern. Kedelapan, menyegerakan kemajuan dan perubahan, dengan mendirikan berbagai organisasi, penerbitan buku, majalah dan surat kabar. Kesembilan, menanamkan kesadaran berbangsa dan berpolitik dalam masyarakat. Kesepuluh, mereka berpikiran maju.

 

Nahdlatul Wathan

Sejarah Pendirian

Namun, jauh sebelum itu semua berkembang dengan begitu pesat, sekiranya kita mengetahui bahwasanya begitu banyak rintangan-rintangan dan ujian yang beliau hadapi khususnya dari masyarakat Pancor sendiri. Salah satu ujian yang cukup berat yang beliau rasakan adalah ketika beliau di fitnah oleh sebagian masyarakat yang memang kontra terhadap beliau yang pada akhirnya beliau tidak diperbolehkan untuk melaksanakan sholat jum’at di Pancor, sehingga dengan terpaksa beliau harus jum’atan di Labuhan Haji selama kurang lebih 3 bulan. Akan tetapi, itu semua tidak membuat semangat beliau lemah dan justru karna itu semua menjadikan beliau lebih termotivasi untuk terus berjuang mendirikan madrasah dalam rangka menjalankan syariat Islam.

Selain itu juga, alasan beliau untuk terus berjuang mendirikan Nahdlatul Wathan Diniah Islamiah (NWDI) karena beliau merasa penyebaran dan pengembangan Islam melalui system pendidikan kemadrasahan, yang dimana menurut pandangan beliau saat itu adalah Fardhu Ain, dan juga beliau melihat pada masa itu banyak sekali kebodohan dan keterbelakangan yang melanda sebagian besar masyarakat wilayah Lombok Timur terutama di kalangan remaja sasak yang di akibatkan pleh banyaknya tekanan-tekanan dari tindakan politik colonial Belanda dan kerajaan Hindu-Bali yang sudah beratus-ratus tahun menguasai daerah Lombok.

Dengan perjuangan Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, yang begitu besar, ternyata bukan suatu perjuangan yang sia-sia karena beliau berhasil mencapai keinginannya untuk mendirikan madrasah Nahdlatul Wathan Diniah Islamiah (NWDI) itu sendiri dan terus berkembang seperti yang kita rasakan hingga saat ini. Adapun mata pelajaran yang diajarkan pada saat itu yakni Membaca Al-Qur’an, Tajwid, Tafsir, ushul Tafsir, Hadis, Tauhid, Fiqih, Ushul Fiqih, Tashawuf, Tarikh, Ilmu-ilmu bahasa Arab seperti Nahwu, Sharaf, Balagoh, ‘Arud, Ilmu falak, Manthiq dan lain-lain. Waktu belajarnyapun dilaksanakan pada sore hari, yakni dari pukul 13.30-17.00 WITA.

 Adapun sebagai landasan argumentasi Nahdlatul Wathan menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i adalah sebagai berikut:

a)         Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwiyatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam al-Bukhari dalam Tarikh al-Kabir al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Imam, Abu Dawud, Ibn Huzaimah, Ibn Hibban dan lain-lain yang artinya : “Hendaklah kamu bersama golongan terbesar [mayoritas] dan pertolongan Allah selalu bersama golongan mayoritas, maka barang siapa yang memisahkan diri [dari komunitas jama’ah] maka mereka termasuk dalam golongan orang-orang ahli neraka.” [HR Tirmidzi]. “Allah tidak menghimpun ummat ini dalam kesesatan selama-lamanya dan pertolongan Allah selalu bersama golongan mayoritas.” [HR al- Thabrani].

b)         Fakta sejarah menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam sedunia dari abad ke abad adalah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat dari sejak lahir madzhab itu.

c)         Umat Islam Indonesia sejak awal telah menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan menganut madzhab Syafi’i sejak madzhab masuk ke Indonesia.

d)         Imam-Imam Hufadz al-Hadis yang telah hafal beratus-ratus ribu Hadis yang diakui oleh kawan atau lawan akan keimanan, ketaqwaan dan keahilan mereka, serta karangan mereka telah menjadi pokok dan dasar pegangan umat Islam sedunia sesudah al-Qur’an al Karim, sepenti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Turmudzi, Imam Baihaqi, Imam Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Imam Hakim dan lain-lainnya dan ratusan Imam ahli al-Hadis. Semuanya menganut aqidah Ahlu al- Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhah Syafi’i atau yang lainnya dari madzhah yang empat. Demikian juga dari Imam-imam dan ulama fiqh, ushul, tasawwul merekapun menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al- Jama’ah dan juga bermadzhab.

e)         Jumhur ulama ushul menandaskan bahwa orang yang belum sampai tingkatan ilmunya pada tingkatan mujtahid muthlaq maka wajib bertaqlid kepada salah satu madzhab empat dalam masalah furu’ syari’ah.

f)          Fuqaha ‘Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mengatakan bahwa bermadzhab bukanlah berarti membuang atau membelakangi al Qur’an dan Hadis seperti tuduhan sementara orang. Namun sebaliknya bermadzhab adalah benar-benar mengikuti Al-Qur’an dan Hadis karena kitab-kitab itu adalah syarah dan Al-Qur’an dan Hadis itu sendiri.

g)         Imam Sayuti yang hidup pada awal abad 10 H yang terkenal sangat ahli dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam. Karangan-karangan dia kurang lebih 600 buah kitab, yang sangat penting dan bernilai tinggi dikalangan Islam. Dia memperoleh gelar “Amir al-Mukminin Fi al-Hadis” (raja umat Islam dalam ilmu Hadis) karena dia telah menghafal ratusan ribu Hadis. Pernah suatu ketika dia menyatakan dirinya telah mencapai tingkat mujtahid dan terlepas dari madzhab yang diantaranya, yaitu madzhab Syafi’i. Maka segeralah dia diserang oleh para Imam ulama’ fiqh, mufassir, muhaddits dan ahli ushul dengan alasan dan dalil yang sangat jitu dan tepat. Akhirnya dia dengan jujur dan penuh kesadaran mencabut pernyataannya dan kembali bertaqlid serta bermadzhab dengan madzhab Syafi’i.

h)        Madzhab Syafi’i dilihat dari segi sumber atau dasarnya, lebih unggul dibandingkan dengan madzhab-madzhab yang lain. Sedangkan tujuan organisasi ini adalah Li I’laai Kalimatillah wa Izzi al-Islam wa al-Muslimin dalam rangka mencapai keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sesuai dengan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i Radliyallahu ‘anhu. Tujuan ini merupakan penggabungan dan tujuan organisasi dan asas organisasi sebelum Undang- Undang Nomor 8 tahun 1985 diberlakukan. Peserta Muktamar ke-8 menghendaki agar asas organisasi terdahulu tidak dihilangkan dengan adanya ketentuan Asas Tunggal. Kompromi yang dapat dilakukan adalah memindahkan pernyataan tentang asas Islam tersebut ke dalam tujuan organisasi, sehingga makna esensial asas tersebut tidak hilang.

 

Mathla’ul Anwar.

Didirikan oleh KH. Muh Yasin di Manes, Jawa Barat. Organisasi ini banyak bergerak dalam bidang pendidikan sedang dalam bidang perjuangan melawan penjajah banyak disalurkan lewat syarikat Islam.









 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar