DAI PEMBERANI (KISAH INSPIRATIF)

 Dai Pemberani

Kekalahan umat Islam di perang Uhud, membangkitkan kemarahan orang badui di sekitar Madinah tentang dendam  lama  yang terpendam. Namun tanpa curiga, Rasulullah Saw. memberikan sambutan baik bagi yang ingin memeluk Islam. Karena itu, mereka meminta para juru dakwah (dai) hadir di kampungnya. Akhirnya, diutus enam sahabat. Mereka berangkat bersama para pedagang Arab.

Sesampai di kampung ar-Raji, wilayah kekuasaan suku Huzail, para pedagang itu tiba-tiba melakukan penyerangan kepada enam sahabat tersebut, sambil meminta bantuan kepada kaum Huzail. Keenam dai itu siap melakukan perlawanan, setelah sadar mereka dijebak.

Para pedagang licik itu berteriak, “Sabar! Kami tidak bermaksud membunuh atau menganiaya kalian. Cuma ingin menangkap untuk dijual ke Makkah sebagai budak. Keenam sahabat dalam posisi sulit, bahkan bisa jadi terbunuh. Mereka bertakbir sambil menyerang dengan tangkas.

Terjadilah pertempuran yang seru antara enam lawan begitu banyak orang. Pihak pedagang sudah banyak yang menjadi korban. Akhirnya, tiga sahabat tertusuk musuh dan langsung gugur. Seorang lagi menyusul syahid. Akhirnya, sisa dua orang; Zaid bin Addutsunah dan Khubaib bin Ali.

Apa daya dua orang pejuang, menghadapi begitu banyak musuh? Selang beberapa saat, keduanya dapat dilumpuhkan dan ditawan. Lalu diangkut menuju pasar budak di Makkah. Zaid dibeli oleh Shafwan bin Umayyah. Ayah Shafwan, Umayyah bin Khalaf, adalah majikan Bilal dan Amir bin Fuhairah.

Umayyah terkenal kejam kepada budak-budaknya. Bilal pernah dijemur di tengah terik matahari dengan badan ditindih batu. Untung Bilal ditebus oleh Abu Bakar dan dimerdekakan. Orang Habsyi ini kemudian terkenal sebagai sahabat dekat Rasulullah Saw. dan diangkat sebagai muadzin.

Saat perang Badar, Umayyah berhadap-hadapan dengan Bilal, dan berhasil membunuhnya, sedangkan Khubaib diambil oleh Uqbah bin al-Harits dengan tujuan yang sama, seperti maksud Shafwan membeli Zaid, yakni balas dendam kepada umat Islam.

Lalu orang Quraisy menyeret Zaid menuju Tan’im (tempat miqat umrah). Di tempat itu, Zaid menjalani hukuman pancung. Menjelang algojo melaksanakan tugasnya, pemimpin kaum musyrik, Abu Sufyan bertanya, “Zaid, apakah Anda senang seandainya di tempatmu ini digantikan Muhammad, sedangkan Anda hidup tenteram bersama keluargamu di rumah?”

“Janganlah begitu,” bantah Zaid dengan keras. “Meski dalam keadaan begini, aku tidak rela Rasulullah tertusuk duri yang paling kecil di rumahnya.” Abu Sufyan marah. Zaid akhirnya menyusul temannya menjadi syuhada. Di hati Abu Sufyan dan orang Quraisy timbul keheranan akan kesetiaan para sahabat kepada Muhammad. Abu Sufyan berucap kagum, “Aku tidak pernah menemukan seorang yang begitu dicintai oleh para sahabat, seperti Muhammad”.

”Sesudah Zaid gugur, rombongan lain menyeret Khubaib. Sesuai dengan hukum qishas, ia diberi hak menyampaikan permohonan terakhir. Ia meminta izin shalat sunnah 2 rakaat. Permohonan dikabulkan, Khubaib melaksanakan ibadahnya dengan baik. Setelah salam, ia berkata, “Demi Allah. Andaikata bukan karena takut disangka aku gentar menghadapi maut, maka shalatku akan kulakukan lebih panjang.”

Akhirnya Khubaib menjadi syahid, menyusul lima sahabat lainnya. Namun, semangat dakwah yang dilandasi keikhlasan untuk menyebarkan ajaran kebenaran, takkan pernah padam dari permukaan bumi. Semangat itu terus bergema, sehingga makin banyak jumlah pendakwah yang dengan kekuatan sendiri, menyelusup keluar-masuk pedalaman, berbatu-batu karang atau berhutan-hutan belantara, untuk menyampaikan dakwah atau melakukan tablig.

(Sumber: Disadur dari 1001 Kisah Teladan, Islamic Electronic Book)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar