3 GOLONGAN TIDAK DITOLAK DOANYA
Doa adalah salah satu bentuk ibadah yang paling utama dalam Islam. Melalui doa, seorang hamba bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, memohon kebutuhan, perlindungan, dan ampunan kepada-Nya.
Keistimewaan doa terletak
pada kedekatan hubungan antara hamba dan Tuhannya. Namun, ada beberapa golongan
yang doanya memiliki kedudukan istimewa, hingga di dalam sebuah hadits doa
mereka tidak akan ditolak.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA,
Rasulullah SAW bersabda:
ثَلَاثةٌ لا تُرَدُّ دَعوَتُهُمُ؛ الإمامُ العادِلُ، والصّائمُ
حَتَّى يُفطِرَ، ودَعوَةُ المَظلومِ تُحمَلُ على الغَمامِ وتُفتَحُ لَها أبوابُ
السَّماءِ، ويَقولُ الرَّبُّ: وعِزَّتِى لأنصُرَنَّكِ ولَو بَعدَ حينٍ
Artinya, “Tiga golongan yang
tidak ditolak doanya: pemimpin yang adil, orang yang berpuasa hingga ia
berbuka, dan doa orang yang terzalimi yang diangkat oleh Allah di atas awan,
dibukakan baginya pintu-pintu langit, lalu Allah berfirman: ‘Demi kemuliaan-Ku,
Aku pasti akan menolongmu meski setelah beberapa waktu’.” (HR Al-Baihaqi dalam
As-Sunan Al-Kubra, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan At-Tirmidzi)
Berkaitan dengan kualitasnya,
At-Tirmidzi menilai bahwa hadits tersebut tergolong hasan. At-Tirmidzi
memaparkan, hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Isa bin Yunus, Abu ‘Ashim,
dan beberapa tokoh besar ahli hadits lainnya.
Hadits ini juga diriwayatkan
dalam versi yang lebih panjang dan lebih lengkap daripada ini (Sunan
at-Tirmidzi, [Beirut, Darul Gharbil Islami, 1998] jilid V, hlm. 470).
Hadits di atas menegaskan keutamaan tiga golongan yang memiliki keistimewaan
dalam doa, yaitu pemimpin yang adil, orang yang berpuasa, dan orang yang
terzalimi. Mula Al-Qari menjelaskan, bahwa cepatnya pengabulan doa disebabkan
oleh kebaikan orang yang berdoa, atau karena kerendahan hati dan kesungguhannya
dalam berdoa kepada Allah Ta’ala (Mirqatul Mafatih syarh Misykatil Mashabih,
[Beirut, Darul Fikr, 2002], jilid IV, hlm. 1435).
Kemudian, setiap golongan
yang disebut dalam hadits tentu memiliki alasan khusus mengapa doa mereka
dijamin terkabul, dan salah satu yang mendapat kesempatan tersebut adalah
pemimpin yang adil.
Pemimpin yang adil disebut
pertama kali dalam hadits ini. Artinya, sifat adil dalam diri seorang pemimpin
menunjukkan kemuliaan, tidak hanya di sisi manusia, namun di sisi Sang Penerima
Doa. Meskipun demikian, versi lain hadits ini tidak selalu menyebut pemimpin
yang adil dalam urutan pertama. Pemimpin yang adil memiliki kemuliaan di
sisi Allah. An-Nawawi menjelaskan, pemimpin yang adil ialah orang yang
bertanggung jawab atas urusan kaum Muslimin, baik dari kalangan pemimpin maupun
hakim, harus memprioritaskan hal yang memiliki banyak manfaat dan maslahat yang
luas bagi umat. Hal ini disebabkan oleh pentingnya maslahat tersebut dan
dampaknya yang lebih umum pada sebagian besar urusan (Syarh Shahih Muslim,
[Beirut, Dar Ihya at-Turats al-‘Arabiy, 1392], jilid VII, hlm. 121).
Al-Munawi menjelaskan, bahwa
pemimpin yang adil merupakan manusia yang paling baik setelah Nabi, karena
dengan kepemimpinannya yang adil, ia dapat menuntaskan kemaslahatan banyak
orang. Ia menjelaskan:
أن الإمام
العادل خير الناس أي بعد الأنبياء لأن الأمور التي يعم نفعها ويعظم وقعها لا يقوم
بها غيره وبه نفع العباد والبلاد وهو القائم بخلافة النبوة في إصلاح الخلق ودعائهم
Artinya, “Sesungguhnya
pemimpin yang adil adalah sebaik-baiknya manusia setelah para nabi, karena
tugas-tugas yang manfaatnya meluas dan pengaruhnya begitu besar tidak dapat
dilakukan oleh selain dirinya. Melalui pemimpin yang adil, tercapai
kemaslahatan bagi umat manusia dan negeri mereka, serta ia adalah penerus
kepemimpinan kenabian dalam memperbaiki keadaan makhluk dan menyeru mereka
kepada kebenaran.” (Faydhul Qadir, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994],
jilid XIII, hlm. 200).
Keberadaan pemimpin yang adil
membawa banyak manfaat bagi masyarakat. Ia adalah pelindung hak-hak rakyat,
penjaga perdamaian, dan pendorong kesejahteraan. Ketika seorang pemimpin
berlaku adil, otomatis ia menciptakan lingkungan yang harmonis, di mana rakyat
dapat hidup dengan aman dan tenteram.
Imam Al-Ghazali juga
menambahkan, “Dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa kepemimpinan dan
kekhalifahan adalah salah satu bentuk ibadah terbaik, jika dijalankan dengan
keadilan dan keikhlasan.”
“Namun, orang-orang yang
bertakwa selalu berusaha menjauhi dan menghindari tanggung jawab tersebut
karena besarnya bahaya yang terkandung di dalamnya. Hal ini karena sifat-sifat
batin manusia mudah tergugah dalam kekuasaan, sehingga hawa nafsu cenderung
dikuasai oleh cinta terhadap status, pengaruh, dan wewenang. Semua itu adalah
kenikmatan duniawi yang paling menggoda.” (hlm. 200)
Golongan kedua yang
disebutkan dalam hadits adalah orang yang berpuasa hingga ia berbuka. Puasa
adalah salah satu ibadah yang paling utama dalam Islam, sebagaimana disebutkan
dalam hadits qudsi:
فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
Artinya, “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan memberikan
balasannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam keadaan berpuasa,
seorang hamba menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, baik secara
fisik maupun spiritual. Saat menjelang berbuka, seorang yang berpuasa berada
dalam kondisi yang sangat khusyuk.
Setelah seharian menahan
lapar, haus, dan hawa nafsu, ia mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang
tulus dan penuh harap. Doa yang dipanjatkan pada saat ini memiliki keistimewaan
karena diiringi dengan kesabaran dan keikhlasan.
Imam Al-Qari menjelaskan
bahwa orang yang berpuasa berada dalam keadaan yang sangat dekat dengan Allah.
Ketika seorang hamba menahan dirinya dari hal-hal yang dihalalkan di waktu lain
demi menaati Allah, ia menunjukkan ketundukan dan ketaatan yang luar biasa.
Kondisi ini membuat doa yang dipanjatkan penuh dengan keberkahan dan diterima
oleh Allah (Mirqat Al-Mafatih, jilid IV, hlm. 1435).
Golongan terakhir yang
disebutkan dalam hadits adalah orang yang terzalimi. Doa mereka memiliki
keistimewaan karena mereka berada dalam keadaan yang sangat membutuhkan
pertolongan. Sebagaimana Allah sebut dalam surat An-Naml ayat 62:
اَمَّنْ
يُّجِيْبُ الْمُضْطَرَّ اِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوْۤءَ وَيَجْعَلُكُمْ
خُلَفَاۤءَ الْاَرْضِۗ ءَاِلٰهٌ مَّعَ اللّٰهِۗ قَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَۗ ٦٢
Artinya, “Apakah (yang kamu
sekutukan itu lebih baik ataukah) Zat yang mengabulkan (doa) orang yang berada
dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, menghilangkan kesusahan, dan
menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah ada tuhan
(lain) bersama Allah? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat.”
Keistimewaan doa orang yang
terzalimi terletak pada keadaan hatinya yang hancur dan penuh harap kepada
Allah. Dalam kondisi seperti ini, mereka menyerahkan seluruh urusan kepada
Allah, satu-satunya tempat bergantung.
Imam Al-Munawi menjelaskan
bahwa doa orang yang terzalimi diterima oleh Allah sebagai manifestasi keadilan
ilahi, yang memastikan bahwa hak-hak mereka akan dikembalikan. Doa orang yang
terzalimi memiliki keistimewaan luar biasa; pintu-pintu langit terbuka
untuknya, dan Allah menggerakkan seluruh sebab dan kekuatan langit untuk
membalas kezaliman yang telah terjadi.
Meskipun demikian, pengabulan
doa tentu saja membutuhkan waktu, hal itu sepenuhnya berada dalam ketentuan dan
kebijaksanaan Allah, yang maha mengetahui waktu terbaik untuk memberikan
pertolongan dan keadilan (Faydhul Qadir, hlm. 200).
Hadits ini mengajarkan pelajaran mendalam tentang kekuatan doa dan
keadilan Allah. Ketiga golongan yang disebutkan (pemimpin yang adil, orang yang
berpuasa, dan orang yang terzalimi) memberikan teladan bagi umat manusia
untuk menjalani hidup dengan menegakkan keadilan, melatih kesabaran, dan tunduk
sepenuhnya kepada Allah dalam setiap keadaan.
Dalam setiap doa, terdapat
harapan yang menggambarkan ketergantungan manusia kepada Tuhannya. Semoga kita
dapat menjadi hamba yang doa-doanya diterima oleh Allah. Amiin ya rabbal
‘alamin.
Sumber: https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/kajian-hadits-inilah-3-golongan-yang-tidak-ditolak-doanya-xPyqb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar