WAKTU SAHUR PANDANGAN MADZHAB
Sahur merupakan salah satu anugerah yang Allah berikan kepada umat Islam sebagai salah satu bagian penting dari ibadah puasa. Sahur tidak hanya sekadar momentum untuk mengisi energi sebelum menahan lapar dan dahaga sepanjang hari dalam menjalankan ibadah puasa, namun juga bentuk patuh terhadap sunnah Rasulullah yang menganjurkan umat Islam untuk tidak melewatkannya.
Dengan bersahur, kita sudah melakukan dua hal, yaitu
mengikuti sunnah Nabi Muhammad yang senantiasa bersahur ketika hendak puasa,
dan mempersiapkan diri dengan komitmen penuh agar puasa yang dijalani sepanjang
hari bisa terlaksana dengan sempurna. Dengan bersahur, akan menjadikan tubuh
kita lebih kuat, sehingga akan lebih siap untuk menjalani ibadah puasa.
Oleh sebab itu, Rasulullah saw sangat menganjurkan umat
Islam untuk bersahur dan melarang mereka meninggalkannya. Sebab, sahur tidak
hanya menjadi bagian penting dari ibadah puasa yang bertujuan untuk menguatkan
tubuh, namun juga mengandung keberkahan di dalamnya. Berkaitan dengan hal ini,
Nabi Muhammad saw bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالسُّحُوْرِ
فَإِنَّهُ هُوَ الْغَدَاءُ الْمُبَارَكُ
Artinya, “Teruslah kalian sahur, karena ia merupakan
makanan yang diberkahi.” (HR An-Nasai).
السَّحُورُ كُلُّهُ بَرَكَةٌ،
فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ يَجْرَعُ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ الله
وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
Artinya, “Sahur sepenuhnya mengandung berkah. Maka dari
itu, janganlah kalian meninggalkannya, sekalipun sekadar meminum seteguk air,
karena Allah dan para malaikat bershalawat untuk orang-orang yang sahur.” (HR
Abu Said al-Khudri).
Nah, berikut ini penulis akan menjelaskan waktu sahur
menurut ragam pendapat para ulama, agar kita bisa memahami dan tahu kapan waktu
terbaik dan yang sangat dianjurkan untuk melaksanakannya serta agar meraih
keberkahan yang telah dijanjikan dalam hadits di atas.
Waktu Sahur menurut Ulama Lintas
Mazhab
Sebelum mengulas secara mendalam mengenai berbagai pandangan
para ulama lintas mazhab tentang kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan
sahur, penulis ingin terlebih dahulu menyampaikan suatu kesimpulan pokok
sebelum menguraikan lebih lanjut dan menampilkan berbagai referensi dari
masing-masing mazhab. Secara umum, para ulama sepakat bahwa waktu sahur telah
dimulai sejak pertengahan malam dan terus berlanjut hingga terbitnya fajar atau
masuknya waktu Subuh.
Pendapat tersebut telah diakui dan diamini oleh
mayoritas ulama dari berbagai mazhab fiqih, mulai mazhab Hanafi, mazhab Maliki,
mazhab Syafi’i, dan mazhab Hanbali. Keempat mazhab ini sepakat bahwa waktu
sahur memiliki rentang waktu yang dimulai sejak pertengahan malam hingga
menjelang fajar. Salah satunya sebagaimana ditulis oleh Syekh Kamaluddin
Muhammad bin Abdul Wahid (wafat 681 H), salah satu ulama tersohor dalam mazhab
Hanafiyah. Dalam kitabnya ia mengatakan:
وَقْتُ السَّحُورِ مِنْ مُضِيِّ
أَكْثَرِ اللَّيْلِ إلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ
Artinya, “Waktu sahur berlangsung dari lewatnya
sebagian besar malam hingga terbitnya fajar.” (Syarh Fathul Qadir, [Beirut:
Darul Fikr, t.t], jilid V, halaman 136).
Selain pendapat di atas dalam mazhab Hanafi, Syekh
Zainuddin Ibnu Nujaim dalam kitabnya mengatakan bahwa waktu sahur tidak dimulai
sejak masuknya separuh malam, namun pada sepertiga malam terakhir sebelum fajar
terbit. Hal ini menurutnya karena istilah “sahur” sendiri memiliki definisi
sebagai makanan yang dimakan di waktu sahr, maka waktu yang lebih tepat
menurutnya adalah sepertiga malam terakhir. Dalam kitabnya mengatakan:
وَالسَّحُورُ ما يُؤْكَلُ في
السَّحَرِ وهو السُّدُسُ الْأَخِيرُ من اللَّيْلِ
Artinya, “Sahur adalah makanan yang dikonsumsi pada
waktu sahar, yaitu seperenam bagian terakhir dari malam.” (Al-Bahrur Raiq Syarh
Kanzid Daqaiq, [Beirut: Darul Ma’rifah, t.t], jilid II, halaman 314).
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Syekh Muhammad
Arafah ad-Dasuqi, salah satu ulama terkemuka dalam mazhab Maliki. Dalam
kitabnya ia mengatakan bahwa waktu sahur sudah masuk sejak pertengahan malam
terakhir. Hanya saja, semakin diakhirkan mendekati terbitnya fajar, maka
semakin utama pula pelaksanaan sahur tersebut. Dalam kitabnya ia mengatakan:
وَيَدْخُلُ وَقْتُ السَّحُورِ
بِنِصْفِ اللَّيْلِ الْأَخِيرِ وَكُلَّمَا تَأَخَّرَ كان أَفْضَلَ
Artinya, “Waktu sahur dimulai pada pertengahan malam
terakhir, dan semakin diakhirkan, maka semakin utama.” (Hasyiyah ad-Dasuqi,
[Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid I, halaman 515).
Adapun dalam mazhab Syafi’i, sebagaimana ditulis oleh
Imam Nawawi dalam salah satu kitabnya, waktu sahur berlangsung sejak
pertengahan malam hingga terbitnya fajar. Sedangkan dalam pelaksanaannya, sahur
tidak terbatas pada jenis makanan tertentu atau jumlah yang banyak, melainkan
dapat diperoleh baik dengan makanan dalam porsi besar maupun kecil sekalipun.
Bahkan, sekadar meminum air pun sudah dianggap sebagai sahur dan tetap
mendapatkan pahala dan keberkahan sahur. Dalam kitabnya ia mengatakan:
وَقْتُ السَّحُوْرِ بَيْنَ نِصْفِ اللَّيْلِ وَطُلُوْعِ
الْفَجْرِ. يَحْصُلُ السَّحُوْرُ بِكَثِيْرِ الْمَأْكُوْلِ وَقَلِيْله وَيَحْصُلُ
بِالْمَاءِ أَيْضًا
Artinya, “Waktu sahur berlangsung antara pertengahan
malam hingga terbitnya fajar. Sahur dapat terpenuhi baik dengan makanan yang
banyak maupun sedikit, dan dapat pula diperoleh hanya dengan meminum air.”
(Majmu’ Syarhil Muhadzab, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t], jilid VI, halaman
360).
Kendati demikian, pendapat yang mengatakan bahwa waktu
sahur dimulai sejak pertengahan malam sebagaimana disebutkan dalam berbagai
referensi fiqih, pendapat ini mendapat kritik dari Imam as-Subki, yang
menyatakan bahwa terdapat kajian lebih mendalam terkait ketepatan batas waktu
sahur, karena menurutnya, istilah sahur merujuk pada waktu menjelang fajar,
bukan pertengahan malam.
Oleh sebab itu, sebagian ulama seperti Ibnu Abi
ash-Shaif, secara lebih spesifik menetapkan waktu sahur hanya pada seperenam
bagian terakhir dari malam, dan tidak dari pertengahan malam. Penjelasan di
atas sebagaimana dicatat oleh Syekh Zakaria al-Anshari (wafat 926 H), dalam
kitabnya ia mengatakan:
وَيَدْخُلُ وَقْتُهُ بِنِصْفِ
اللَّيْلِ قَالَ السُّبْكِيُّ وَفِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّ السَّحَرَ لُغَةً قُبَيْلَ
الْفَجْرِ وَمِنْ ثَمَّ خَصَّهُ ابْنُ أَبِي الصَّيْفِ بِالسُّدُسِ الْأَخِيرِ
وَيَحْصُلُ بِقَلِيلِ الْمَطْعُومِ وَكَثِيرِهِ
Artinya, “Waktu sahur dimulai sejak pertengahan malam.
Hanya saja, Imam as-Subki berkata bahwa (pendapat ini) perlu dikaji lebih
mendalam lagi. Sebab, kata sahar secara bahasa merujuk pada waktu menjelang
fajar, dan dapat diperoleh dengan mengonsumsi makanan sedikit maupun banyak.”
(al-Ghararul Bahiyyah fi Syarhi Bahjatil Wardiyah, [Beirut: Darul Fikr, t.t],
jilid II, halaman 221).
Adapun dalam mazhab Hanbali, sebagaimana ditulis oleh
Syekh Musthafa as-Suyuthi ar-Rahibani, dalam kitabnya ia menjelaskan bahwa
waktu sahur dimulai sejak pertengahan malam, namun disunnahkan untuk
mengakhirkannya selama tidak dikhawatirkan terbitnya fajar kedua.
Tujuannya, karena sahur yang diakhirkan lebih
memberikan kekuatan dalam menjalankan puasa. Kesunnahan sahur dapat diperoleh
hanya dengan minum saja, namun jika menghendaki yang sempurna, maka harus
dengan makan. Dalam kitabnya mengatakan:
وَأَوَّلُهُ نِصْفُ لَيْلٍ
وَيُسَنُّ تَأْخِيْرُهُ إِنْ لَمْ يَخْشَهُ، أَي: طُلُوْع الْفَجْرِ
الثَّانِي، لِأَنَّهُ أَقْوَى عَلىَ الصَّوْمِ وَلِلتَّحَفُّظِ مِنَ الْخَطَأِ
وَالْخُرُوْجِ مِنَ الْخِلاَفِ. وَتَحْصُلُ فَضِيْلَةُ السُّحُوْرِ بِشُرْبٍ وَ
يَحْصُلُ كَمَالُهَا بِأَكْلٍ
Artinya, “Awal waktu sahur dimulai sejak pertengahan
malam, dan disunnahkan untuk mengakhirkannya selama tidak khawatir terbitnya
fajar kedua. (Anjuran ini) karena lebih memberikan kekuatan (dalam menjalankan
puasa), serta sebagai bentuk kehati-hatian agar terhindar dari kesalahan dan
keluar dari perbedaan pendapat. Kesunnahan sahur dapat diperoleh hanya dengan
minum, sedangkan kesempurnaannya dengan makan.” (Mathalibu Ulin Nuha fi
Syarhi Ghayatil Muntaha, [Damaskus: Maktab al-Islami, 1961], jilid II, halaman
206).
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan, dapat
disimpulkan bahwa para ulama sepakat waktu sahur berlangsung sejak pertengahan
malam hingga menjelang fajar. Namun, sebagian dari beberapa kalangan, seperti
Syekh Zainuddin Ibnu Nujaim dan Ibnu Abi as-Shaif yang dikutip oleh Syekh
Zakaria al-Anshari, bahwa waktu sahur dimulai ketika seperenam bagian terakhir
dari malam, dan tidak dari pertengahan malam. Sebab, pendapat ini menekankan
pada arti sahar itu sendiri secara bahasa, yang memiliki arti menjelang fajar.
Meski demikian, meskipun terdapat perbedaan pandangan
dalam detail penentuan waktu sahur, seluruh mazhab fiqih sepakat bahwa sahur
adalah amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam, terutama jika dilakukan
menjelang waktu fajar, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah.
Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/waktu-sahur-dalam-lintas-mazhab-yYZNK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar