Hikmah Keringanan Puasa Berkat Umar bin Khattab: Perubahan Waktu Puasa yang Memudahkan Umat Islam
Puasa merupakan ibadah yang menjadi rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya. Sebagai ibadah, puasa tak hanya sekedar menahan makan dan minum serta hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa. Puasa juga merupakan sarana dalam untuk meredam hawa nafsu yang menyebabkan kriminalitas terutama kriminal yang berhubungan dengan seksualitas.
Kewajiban puasa sendiri tertuang firman Allah:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183).
Perubahan Waktu Puasa Dalam praktiknya, ibadah puasa
dilaksanakan dengan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dimulai
dari terbitnya fajar shadiq hingga terbenam matahari.
Namun, jika ditilik dari sejarah, pada periode awal Islam
waktu pelaksanaan puasa sebenarnya dimulai dari setelah shalat Isya ataupun
setelah seorang muslim tertidur setelah waktu berbuka, bukan dari terbitnya
fajar shadiq hingga terbenam matahari.
Dalam artian, jika seorang Muslim tertidur setelah magrib
atau telah melaksanakan shalat Isya maka ia telah memasuki waktu puasa
selanjutnya dan tidak diperkenankan untuk melakukan hal-hal yang dapat
membatalkan puasa.
Hal itu membuat banyak sahabat Nabi Muhammad Saw termasuk
Umar bin Khattab merasakan kepayahan yang luar biasa. Hingga pada satu waktu,
Umar bin Khattab menggauli istrinya setelah melaksanakan shalat Isya. Umar yang
sadar telah melaksanakan kesalahan kemudian menangis dan mencela dirinya sendiri.
Kemudian ia mendatangi Nabi Muhammad Saw beserta sahabat
Nabi lainnya untuk mengadukan hal yang sama.
Mari kita simak penjelasan Syekh Nawawi Al-Bantani berikut:
كَانَ فِي أَوَّلِ
شَرِيعَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ الصَّائِمُ
حَلَّ لَهُ الْأَكْلُ وَالشُّرْبُ وَالْوِقَاعُ بِشَرْطِ أَنْ لَا يَنَامَ، وَلَا
يُصَلِّيَ الْعِشَاءَ الْأَخِيرَةَ. فَإِذَا فَعَلَ أَحَدُهُمَا بِأَنْ نَامَ أَوْ
صَلَّى الْعِشَاءَ حَرُمَ عَلَيْهِ هَذِهِ الْأَشْيَاءُ إِلَى اللَّيْلَةِ
الْقَابِلَةِ. فَوَاقَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَهْلَهُ
بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ فَلَمَّا اغْتَسَلَ أَخَذَ يَبْكِي وَيَلُومُ نَفْسَهُ
فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ،
فَقَامَ رِجَالٌ وَاعْتَرَفُوا بِالْجِمَاعِ بَعْدَ الْعِشَاءِ
Artinya, “Pada
periode awal syariat Nabi Muhammad Saw, apabila seorang muslim masuk waktu
berbuka puasa, maka halal baginya makan, minum dan menggauli istrinya selagi ia
tidak tidur maupun melaksanakan shalat Isya. Apabila melaksanakan salah
satunya, baik itu tidur ataupun shalat Isya, maka tidak diperkenankan untuk
melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa hingga malam berikutnya.
Hingga
kemudian Umar bin Khattab menggauli istrinya setelah shalat Isya. Umar
menyesali perbuatannya, setelah ia mandi, ia menangis dan mencela dirinya. Umar
kemudian mendatangi Nabi Muhammad Saw dan menceritakan permasalahannya disusul
oleh sahabat lainnya yang mengakui telah menggauli istrinya setelah shalat
Isya.”
(Marah Labid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1417 H], juz I, halaman
62).
Peristiwa tersebut menjadi sebab turun Surat Al-Baqarah
ayat 187 yang menjelaskan perubahan waktu pelaksanaan puasa sebagai rukhsah
atau keringanan yang diberikan oleh Allah kepada umat Islam hingga kini.
Allah
berfirman:
اُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ
وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ
اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ
وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ
وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا
تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَّقُوْنَ
Artinya,
“Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian
bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak
dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu.
Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang
telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu
(perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.
Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di
masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar
mereka bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 187).
Ayat merupakan jawaban sekaligus turun sebagai rukhsah
bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa. Karena mulanya pelaksanaan
puasa dimulai dari sehabis shalat Isya ataupun ketika seseorang bangun dari
tidurnya meski belum berbuka puasa. Sehingga hal ini menjadi kepayahan yang
luar biasa bagi umat Islam.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya terkait ayat tersebut
menyebutkan sebagai berikut:
هَذِهِ رُخْصَةٌ
مِّنَ ٱللَّهِ لِلْمُسْلِمِينَ وَرَفْعٌ لِمَا كَانَ عَلَيْهِ ٱلْأَمْرُ فِىٓ
إِبْتِدَاءِ ٱلْإِسْلَامِ فَإِنَّهُۥ كَانَ إِذَآ أَفْطَرَ أَحَدُهُمْ إِنَّمَا
يَحِلُّ لَهُۥٓ الْأَكْلُ وَالشُّرْبُ وَٱلْجِمَاعُ إِلَىٰ ٱلصَّلَاةِ أَوْ
يَنَامُ قَبْلَ ذَٰلِكَ. فَمَتَىٰ نَامَ أَوْ صَلَّى ٱلْعِشَاءَ حَرُمَ عَلَيْهِ ٱلطَّعَامُ
وَٱلشَّرَابُ وَٱلْجِمَاعُ إِلَىٰ ٱلَّيْلَةِ ٱلْقَابِلَةِ فَوَجَدُوا۟ مِنْ
ذَٰلِكَ مَشَقَّةًۭ كَبِيرَةًۭ
Artinya,
“Ayat ini merupakan kemurahan (rukhsah) yang diberikan oleh Allah untuk umat
Islam dengan mengangkat hukum yang berlaku pada periode awal Islam. Dulu,
ketika salah satu dari umat Islam berbuka puasa kebolehan makan, minum dan
berhubungan suami-istri hanya diperbolehkan sampai pelaksanaan shalat Isya atau
sebelum tidur.
Ketika seseorang tidur atau melaksanakan shalat Isya maka
haram baginya makan, minum dan berhubungan suami-istri hingga malam setelahnya.
Kemudian mereka merasakan rasa payah yang besar.” (Tafsir Al-Qur’anil 'Azhim,
[Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah :1419 H],
juz I, halaman 375).
Ada beberapa hikmah dan kesimpulan yang dapat diambil
dari kisah tersebut, di antaranya:
Perubahan
waktu
pelaksanaan puasa yang merupakan rukhsah dari Allah hendaknya disyukuri umat
Islam sehingga umat Islam tidak mudah mengeluh dalam melaksanakan ibadah kepada
Allah.
Sahabat Nabi
Muhammad Saw memiliki peranan penting dalam proses pembetukan syariat Islam
hingga menjadi sebab diringankannya ibadah puasa.
Coba bayangkan jika waktu pelaksanaan puasa masih sama
seperti periode pertama Islam, akan sepayah apa pelaksanaannya bagi umat Islam
hingga kini. Maka sepatutnya bagi kita berterima kasih kepada mereka dengan
bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah. Wallahu a’lam.
Sumber: https://islam.nu.or.id/hikmah/hikmah-keringanan-puasa-berkat-umar-bin-khattab-perubahan-waktu-puasa-yang-memudahkan-umat-islam-VQpl2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar