Nabi Khidir dan Keberkahan Ibadah
Kisah tentang Nabi Musa ‘alaihissalam yang berkeinginan untuk belajar kepada Nabi Khidir ‘alaihissalam begitu sering disampaikan oleh para guru, ustadz dan kiai di berbagai forum kajian ilmu. Dikisahkan, dalam sebuah perjalanan Nabi Musa sampai tiga kali mempertanyakan perbuatan Nabi Khidir yang dinilainya melanggar syariat Allah. Pada akhir perjalanannya, Nabi Khidir menjelaskan perihal perbuatannya tersebut.
Salah satu perbuatan yang dipertanyakan
tersebut adalah mana kala Nabi Khidir membangun sebuah rumah yang hampir roboh
di sebuah desa. Nabi Musa mengusulkan kepada Nabi Khidir untuk meminta upah
kepada penduduk desa atas kesediaannya menegakkan kembali dinding rumah yang
hampir roboh itu. Padahal sebelumnya ketika kedua nabi itu memasuki desa
tersebut dan meminta makanan kepada penduduknya mereka menolak memberi makanan
tersebut.
Dalam hal ini Nabi Khidir menjelaskan
sebagaimana direkam oleh Al-Qur’an dalam Surat al-Kahfi ayat 82:
وَأَمَّا
الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ
كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا
أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا
“Adapun tembok rumah yang hampir roboh itu
adalah milik dua anak yatim di desa itu di mana di bawahnya terdapat simpanan
harta bagi keduanya. Orang tua kedua anak itu adalah orang yang saleh. Maka
Tuhanmu berkehendak keduanya mencapai dewasa dan akan mengeluarkan harta
simpananya.”
Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir
Al-Qur’anul ‘Adhim menjelaskan bahwa kedua anak yatim itu dijaga sebab
kesalehan orang tuanya dan tidak disebutkan kesalehan kedua anak itu. Antara
kedua anak yatim dan orang tua yang saleh itu ada selisih tujuh generasi
leluhur. Jadi yang dimaksud “orang tua yang saleh” pada ayat tersebut adalah
kakek pada generasi urutan ketujuh dari anak yatim tersebut, bukan orang tua
yang melahirkan keduanya.
Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa seorang
yang saleh akan dijaga keturunannya dan keberkahan ibadahnya akan meliputi
mereka di dunia dan akhirat. Dengan syafaatnya di akherat kelak keturunannya
akan diangkat derajatnya di surga hingga derajat tertinggi sehingga bisa
menjadi kebanggaan bagi orang yang saleh tersebut.
Dalam hal ini Tajudin Naufal dalam Hadiqatul
Auliya’-nya mengatakan, bila ketakwaan kakek yang ketujuh saja dapat memberikan
kemanfaatan bagi keturunannya yang ke tujuh, lalu bagaimana pendapat kita
dengan ketakwaan orang tua kandung? Tak dapat disangkal, pohon yang baik pasti
berbuah baik. Orang yang memakannya tak akan berhenti dan tetap kekal
kebaikannya dengan ijin Allah Ta’ala.
Dari inilah banyak para ulama yang
menganjurkan kepada para orang tua untuk terus giat dan istiqamah dalam
beribadah. Karena keberkahan ibadah itu tidak hanya akan dinikmati oleh diri
sendiri tapi juga oleh anak-anak keturunannya baik di dunia maupun di akherat
kelak.
Semoga bermanfaat
Sumber: https://nu.or.id/hikmah/kisah-nabi-khidir-dan-keberkahan-ibadah-hingga-tujuh-turunan-8a5mq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar