Bolehkah Guru Ngaji Menerima Upah?
Ungkapan “pahlawan tanpa tanda
jasa” kerap disematkan kepada sosok guru di Indonesia. Julukan ini terasa
sangat tepat mengingat peran besar guru dalam mencerdaskan generasi bangsa.
Ilmu yang mereka berikan bersifat abstrak, tak berbentuk benda. Namun pengaruhnya
begitu mendalam, sehingga gelar tersebut menjadi simbol penghargaan atas
pengabdian mereka.
Guru adalah sosok yang amat berjasa
dalam kehidupan setiap orang. Kedudukannya sering disejajarkan dengan orang tua
yang melahirkan dan membesarkan kita. Bahkan sebagian ulama berpendapat,
derajat guru bisa lebih tinggi dari orang tua. Sebab, orang tua adalah abul
jasad (orang tua jasmani), sedangkan guru adalah abur ruh (orang tua rohani).
Dan karena urusan jiwa jauh lebih utama daripada urusan fisik, jiwa akan kekal
hingga akhirat kelak. Maka kedudukan guru menjadi sangat mulia.
Meski demikian, kemuliaan itu
diiringi dengan amanah besar: menyebarkan ilmu yang dimiliki. Menyampaikan ilmu
kepada umat adalah kewajiban, sedangkan menahannya dan enggan mengajarkannya
termasuk perbuatan tercela.
Sebagaimana dikutip dari NU Online,
Rasulullah saw menegaskan larangan keras bagi orang berilmu yang menyembunyikan
ilmunya. Beliau memperingatkan bahwa siapa saja yang enggan membagikan ilmu
akan mendapatkan ancaman siksaan berat di neraka.
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ
فَكَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
Artinya, “Barang siapa yang ditanya
tentang suatu ilmu tetapi ia menymbunyikannya, maka ia akan dikekang kelak di
hari kiamat dengan kekang dari api neraka.” (HR Ibnu Majah)
Jika menyebarkan ilmu merupakan
sebuah kewajiban, lantas bagaimana hukumnya jika seorang guru ngaji menuntut
atau menerima bayaran dari kegiatan mengajar yang ia lakukan? Berkaitan dengan
hal tersebut, Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 159:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ
مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ
فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang
yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan
(yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam
al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk)
yang dapat melaknati.”
Menurut penjelasan Ibnu Abbas ra.,
sebagaimana dikutip oleh Imam al-Suyuthi, turunnya ayat tersebut berawal dari
sikap sebagian orang Yahudi yang enggan menjawab pertanyaan para sahabat Nabi
mengenai isi Kitab Taurat. Mereka memilih menyembunyikan kebenaran yang termuat
di dalamnya, khususnya informasi tentang Nabi Muhammad saw. Sebagai bentuk
teguran atas pengkhianatan terhadap amanah ilmu itu, Allah Swt. kemudian
menurunkan ayat ini. (Al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsur, [Beirut: Darul Fikr,
t.th], juz 1, hlm. 161).
Meski ayat tersebut secara historis
merupakan ancaman khusus bagi orang Yahudi, sebagian ulama menjadikannya dasar
hukum yang melarang guru mengambil gaji atau upah. Alasannya, secara tekstual
ayat tersebut menegaskan kewajiban menyampaikan ilmu, dan karena hal itu adalah
kewajiban, maka meminta imbalan atasnya dianggap tidak dibenarkan. (Fakhruddin
al-Razi, Mafatih al-Ghaib, [Beirut: Dar Ihyaut Turats al-‘Arabi, 1420 H], juz
4, hlm. 141).
Ulama yang berpendapat demikian
umumnya berasal dari kalangan mutaqaddimîn (ulama terdahulu). Bahkan Syaikh Ali
al-Shabuni menyatakan bahwa para ahli fikih dari generasi mutaqaddimîn sepakat
mengharamkan praktik tersebut. (Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan, [Mesir:
Maktabatu Syuruq al-Dauliyah, t.th], juz 1, hlm. 107).
Selain ayat di atas, sebagian ulama
yang mengharamkan guru menetapkan bayaran, khususnya guru ngaji atau guru
agama, juga mendasarkan pendapatnya pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 41:
...وَلَا
تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
Artinya, “...Dan janganlah kamu
menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu
harus bertakwa.”
Meskipun ayat di atas turun
berkaitan dengan orang-orang Yahudi, tetapi ada banyak ketentuan-ketentuan umum
yang bisa diambil dari ayat tersebut. Salah satunya terkait hukum menerima
(menuntut) upah mengajar. Dalam kitab tafsirnya, imam al-Qurthubi menjelaskan,
وَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ
فِي أَخْذِ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ وَالْعِلْمِ- لِهَذِهِ الْآيَةِ
وَمَا كَانَ فِي مَعْنَاهَا- فَمَنَعَ ذَلِكَ الزُّهْرِيُّ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَقَالُوا:
لَا يَجُوزُ أَخْذُ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ لِأَنَّ تَعْلِيمَهُ وَاجِبٌ
مِنَ الْوَاجِبَاتِ الَّتِي يُحْتَاجُ فِيهَا إِلَى نِيَّةِ التَّقَرُّبِ وَالْإِخْلَاصِ
فَلَا يُؤْخَذُ عَلَيْهَا أُجْرَةٌ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ
Artinya, “Ulama berbeda pandangan
terkait mengambil bayaran mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu berdasarkan ayat ini
(atau ayat yang serupa). Imam al-Zuhri dan kelompok ahlur ra’yi tidak
memperbolehkannya dengan alasan bahwa hukum mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu
adalah wajib yang memerlukan niat untuk ikhlas dan mendekatkan diri kepada
Allah sehingga mengambil bayaran untuk tindakan tersebut tidak boleh,
sebagaimana shalat dan puasa”.
Alasan ulama yang melarang guru
mengambil bayaran karena mengajar adalah salah satu kewajiban. Sesuatu yang
wajib mau tidak mau harus dilakukan dengan ikhlas tanpa mengharap imbalan
material. Ia sama seperti shalat, puasa, dan kewajiban lainnya yang harus
dilakukan tanpa pamrih.
Namun menurut mayoritas ulama,
mengambil upah atas kegiatan mengajar adalah diperbolehkan. Dalam Tafsir
al-Qurthubi, dijelaskan:
وَأَجَازَ أَخْذَ الْأُجْرَةِ
عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَأَكْثَرُ
الْعُلَمَاءِ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ- حَدِيثِ
الرُّقْيَةِ-: (إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ). أَخْرَجَهُ
الْبُخَارِيُّ وَهُوَ نَصٌّ يَرْفَعُ الْخِلَافَ فَيَنْبَغِي أَنْ يُعَوَّلَ عَلَيْهِ
Artinya, “Imam malik, al-syafi’i
ahmad, Abu Tsaur dan mayoritas ulama memperbolehkan mengambil bayaran atas
kegiatan mengajar al-Qur’an. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw, tentang ruqyah
yang diriwayatkan oleh ibnu abbas ra: ‘Sesunggunya, perkara yang paling berhak
kalian minta upah (sebagai imbalan karena telah melakukan perkara tersebut)
adalah kitab Allah. (HR Al-Bukhari)’. Ini adalah nas yang dapat menghilangkan
perbedaan sehingga seyogianya ia dapat dijadikan acuan”. (Al-Qurthubi, Al-Jami
li Ahkam al-Quran, [Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyah, 1384 H.], juz 1, hlm.
335).
Kelompok yang menyamakan kegiatan
mengajar dengan ibadah personal seperti shalat dan puasa dinilai kurang tepat.
Shalat dan puasa adalah ibadah yang manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya
sendiri, sedangkan mengajar adalah ibadah yang faedahnya menjangkau banyak
orang. Karena manfaatnya bersifat publik, maka menerima gaji dari kegiatan
mengajar dinilai boleh.
Imam al-Alusi menegaskan bahwa
pendapat yang lebih kuat adalah bolehnya guru menerima gaji atau upah.
Pertimbangannya, agar keberlangsungan ilmu agama di muka bumi tetap terjaga dan
tidak terancam punah. (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah,
1415 H], juz 1, hlm. 121).
Syaikh Ali al-Shabuni bahkan
mengakui bahwa alasan yang dikemukakan para ulama mutaqaddimîn sebenarnya
sangat teliti dan mendalam. Di masa mereka, semangat belajar umat masih tinggi
sehingga pendapat melarang guru menerima gaji dapat diterapkan.
Namun, situasi berubah di zaman
setelahnya. Semangat belajar umat mulai melemah, dan di era sekarang yang
cenderung materialistis, minat belajar agama semakin jarang ditemukan. Dengan
mempertimbangkan kondisi ini, para ulama muta’akhkhirîn membolehkan bahkan
mewajibkan pemberian gaji kepada guru, demi menjaga keberlangsungan ilmu agama.
(Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan, [Mesir: Maktabatu Syuruq al-Dauliyah, t.th],
juz 1, hlm. 107).
Kesimpulannya, perbedaan pendapat
ulama terkait kebolehan guru menerima gaji harus disikapi secara bijak. Seorang
guru hendaknya tetap menanamkan keikhlasan dalam menyampaikan ilmu Allah dan
tidak terjebak pada sikap pamrih, sebab ilmu adalah amanah yang wajib diamalkan
dan disebarkan.
Meski demikian, guru tetaplah
manusia yang membutuhkan nafkah untuk hidup. Tidak semua orang berilmu berada
dalam kondisi finansial yang mapan. Karena itu, tidak ada salahnya bila murid,
lembaga, atau negara memberikan bayaran sebagai penghargaan atas pengabdian
mereka.
Bahkan pada hakikatnya, negara
memiliki kewajiban untuk menjamin kesejahteraan tenaga pendidik. Pemenuhan
kebutuhan finansial guru adalah bagian dari menjaga pilar utama kemajuan bangsa
dan peradaban. Sejarah menunjukkan, kejayaan suatu peradaban selalu diawali
oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat. Wallāhu a‘lam. Editor:
Redaksi
Sumber:
https://jombang.nu.or.id/syariah/bolehkah-guru-ngaji-menerima-upah-ini-penjelasan-al-qur-an-hadis-dan-ulama-Ai5Hk
Posting Komentar untuk "GURU NGAJI MENERIMA UPAH, BOLEH?"