DAKWAH 1

 DAKWAH

BAGIAN 1



1.      Pengertian

 Merujuk arti bahasa, kata “dakwah” merupakan mashdar (kata dasar) dari kata da’a (دعوة - يدعو - دعى) yang mempunyai arti mengajak, memanggil dan menyeru untuk hal tertentu. Orang yang melakukan pekerjaan dakwah disebut dai (laki-laki) dan daiyah (perempuan).

Jika ditinjau dari makna istilah, ada beberapa pengertian dakwah, yaitu:

1.      Setiap kegiatan yang mengajak, menyeru, dan memanggil orang atau kelompok orang untuk beriman kepada Allah Swt. sesuai dengan ajaran akidah (keimanan), syariah (hukum) dan akhlak Islam.

2.      Kegiatan mengajak orang lain ke jalan Allah Swt. secara lisan atau perbuatan untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari supaya mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.

3.      Kegiatan mengajak orang-orang untuk mengamalkan ajaran Islam di dalam kehidupan sehari-hari.

4.      Seruan atau ajakan kepada keinsafan atau usaha untuk mengubah agar keadaannya lebih baik lagi, baik sebagai pribadi maupun masyarakat.

          Tersimpul dari pengertian tersebut, dakwah adalah mengajak orang lain untuk meyakini kebenaran ajaran Islam dan mengamalkan syariat Islam, agar tercapai pola hidupnya lebih baik, sehingga tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dakwah tidak hanya berupa tablig, khutbah, dan majelis taklim.

          Dakwah cakupannya sangat luas, seluas kehidupan setiap muslim. Dakwah tidak mesti berbicara dan berceramah, tetapi setiap perbuatan sehari- hari yang mencerminkan tata nilai Islam, seperti berpakaian menutup aurat, tidak menyontek saat ujian, berbicara yang santun yang sopan, menghindari berita hoax, rajin bersilaturahmi, semua itu sudah bagian dari dakwah.

          Keberhasilan dakwah sangat ditentukan oleh amaliah dan akhlakul karimah yang dipantulkan dari setiap muslim, apalagi yang berprofesi menjadi dai atau daiyah, tentu banyak faktor lain yang memengaruhi. Menjadi hal yang aneh, jika seorang dai tidak mengamalkan apa yang disampaikan, dan tidak satunya kata dengan perbuatan.

          Faktor tersebut yang kini banyak menjangkiti para dai, sehingga hasil dakwah tidak banyak memberi pengaruh positif dalam perbaikan kualitas keberagamaan masyarakat, apalagi jika dikaitkan dengan gejala munculnya para dai yang dibesarkan oleh media, misalnya para dai yang biasa dipanggil dengan sebutan ustad seleb (Perhatikan kandungan isi Q.S. ash-Shaf/61: 2-3).

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Artinya: Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali ‘Imrān/3: 104).

          Perhatikan juga isi kandungan dari beberapa Q.S. Q.S. al-Nahl/16: 125, Q.S. al-Hajj/22: 67, Q.S. al-Qashash/28: 87 yang isinya tentang segala yang terkait dengan dakwah.

          Dakwah itu bagian kehidupan beragama. Ia merupakan kewajiban agama bagi para pemeluknya. Itulah sebabnya, dakwah bukan   sekadar dari inisiatif pribadi, tetapi harus ada sekelompok orang (tha’ifah) yang menjadi juru dakwah. Wujud dakwah juga bukan hanya usaha peningkatan kapasitas keberagamaan, tetapi harus menembus aspek kehidupan, sehingga gerakan dakwah mencakup aspek ekonomi, sosial, politik, dan keamanan.

          Melalui pemahaman tersebut, dakwah harus menyasar ke banyak aspek kehidupan. Misalnya harus menyentuh di bidang politik; mengentaskan kemiskinan; memberdayakan lembaga pendidikan, menekan angka DO (Drop Out) atau bantuan beasiswa; mengedukasi masyarakat agar saling membantu dan bekerja sama, termasuk juga terlibat aktif dalam memerangi ujaran kebencian dan berita-berita hoax.

a.      Adab Berdakwah

Adab atau etika dakwah yang harus diperhatikan, antara lain:

1.      Dakwah dengan cara hikmah, yaitu ucapan yang jelas, tegas, dan sikap yang bijaksana.

2.      Dakwah menggunakan cara mauidzatul hasanah atau nasihat yang baik, yaitu cara-cara persuasif (damai dan menenteramkan, tanpa kekerasan) dan edukatif (memberikan pengajaran, i’tibar dan pelajaran hidup).

3.      Dakwah dengan cara mujadalah, yaitu diskusi atau tukar pikiran yang berjalan secara dinamis dan santun dengan menghargai pendapat orang lain.

4.      Dakwah melalui teladan yang baik (uswatun hasanah).

Allah Swt. berfirman:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk (Q.S. an-Nahl/16: 125).

 

D.      Tujuan dan Sasaran Dakwah

Sasaran dan tujuan dakwah--sejak zaman dulu (mulai Nabi Adam a.s sampai Nabi Muhammad Saw.), bahkan sampai berakhirnya kehidupan--memiliki sasaran yang jelas dan tetap, yakni sebagai berikut:

1.      Sasaran Dakwah

          a)      Memberi semangat kepada manusia agar selalu meningkatkan kualitas dan kuantitas amalnya, dari baik menjadi terbaik, sudah banyak amalnya agar diperbanyak lagi, serta dari yang sekadar mengejar formalitas menuju ke substansi, sehingga profil mukmin yang sejati menjadi nyata adanya.

          b)      Mengubah jalan hidup yang tidak baik menjadi baik, serta yang menyimpang dari aturan Allah Swt. agar kembali ke jalan-Nya (melalui taubatan nashūhā), sehingga derajat, harkat, dan martabat manusia yang sudah terpuruk dan jatuh ke lembah nista dapat terangkat kembali, dan menjalani kehidupan secara benar.

 

Perhatikan isi kandungan Q.S. al-An’ām/6: 48, dan Q.S. al-Kahfi/18: 57.

Banyak contoh yang dapat diketengahkan, misalnya silih bergantinya umat sebelum Nabi Muhammad Saw. Kita kenal kaum Tsamud, kaum ‘Ad, umat Nabi Nuh a.s. dan umat Nabi Luth a.s. Mereka semua dimusnahkan akibat kemaksiatan dan dosa yang dilakukan, kita sebagai umat terakhir, hanya bisa mengambil i’tibar (pelajaran).

Contoh lain yang jaraknya terdekat dengan kita baru sekitar 15 abad yang lalu, yakni kaum kafir Quraisy, khususnya di periode Makkah, mayoritas mereka tidak mengenal tatanan yang benar, mulai perbudakan yang merajalela; merebaknya khamr dan perzinaan, sampai derajat manusia dihargai hanya dengan banyaknya kekayaan dan kekuasaan, tanpa mengenal kehormatan dan kemuliaan, lalu diubah menjadi 180% oleh Rasulullah Saw. hanya dalam waktu + 23 tahun.

Keberhasilan tersebut dinilai secara tepat oleh Sir George Bernard Shaw dalam karyanya “The Genuine Islam”: (Muhammad Saw.) sukses mengubah Jazirah Arab dari paganisme dan pemuja makhluk menjadi para pemuja Tuhan, dari peperangan dan perpecahan antar suku menjadi umat yang bersatu, dari kaum pemabuk dan pengacau menjadi kaum pemikir dan penyabar, dari kaum yang tidak berhukum dan anarkis menjadi kaum yang teratur … . Sejarah manusia yang tidak pernah terjadi atau sedahsyat ini, dan bayangkan ini terjadi hanya dalam waktu 23 tahun.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar