NAHDLATUL ULAMA (NU)
Organisasi NU didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Dua tokoh penting dalam upaya pembentukan NU adalah K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah. Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU banyak melakukan usaha untuk memajukan dan memperbanyak pesantren, madrasah serta pengajian-pengajian dengan maksud memajukan Islam dan kaum Muslimin.
Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan para ulama merupakan salah
satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia. Dengan basis massa yang
sangat besar, tak dapat dipungkiri membuat peran dan perjuangan Nahdlatul ulama
(NU) juga cukup signifikan dalam setiap periode. NU yang awalnya lahir sebagai
organisasi massa dan mengalami berbagai situasi yang membuat organisasi ini di
kemudian hari berubah haluan menjadi partai politik. Namun demikian, NU
kemudian kembali pada jati dirinya yang memang lahir sebagai organisasi
keagamaan meski anggota di dalamnya tetap dapat berpolitik.
Peran dan perjuangan NU dalam setiap periodisasi sejarah Indonesia
memang sudah tidak dapat diragukan lagi. NU menjadi salah satu garda terdepan
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tidak hanya berhenti sampai di
situ, NU juga terlibat aktif dalam mengisi kemerdekaan Indonesia dan berlanjut
hingga saat ini.
Sejarah
Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)
Pendirian NU tidak dapat dilepaskan dari pendirian beberapa
organisasi yang muncul sebelumnya seperti Nahdatul Wathan (1914) dan organisasi
Taswirul Afkar (1918) yang didirikan di Surabaya. Nahdatul Wathan bergelut pada
bidang pendidikan dan dakwah sedangkan Taswirul Afkar (representasi
gagasan-gagasan) lebih berkecimpung di bidang sosial. Kedua organisasi ini
merupakan rintisan dari pemuda-pemuda yang pernah menuntut ilmu di Mekkah
seperti Abdul Wahab dan Mas Mansur. Setelah itu, Abdul Wahab dengan restu dari
gurunya, K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan sebuah usaha perdagangan dalam bentuk
koperasi dengan nama Nahdatut Tujjar (Kebangkitan Usahawan).
Pasca runtuhnya Khilafah di Turki Usmani tahun 1924, terjadi
rencana dari para ulama di Kairo untuk mengadakan pertemuan internasional untuk
membahas masalah khilafah. Para ulama di Indonesia yang terdiri dari berbagai
organisasi juga melakukan pertemuan melalui Kongres Al-Islam untuk menentukan
delegasi yang akan dikirimkan ke Kairo. Namun, karena di Semenanjung Arabia
masih terjadi kemelut, maka rencana pertemuan di Kairo ditunda. Setelah kemelut
di semenanjung Arabia mereda dan muncul kekuasaan baru di bawah kepemimpian Ibn
Sa’ud, maka pemimpin baru ini menjanjikan akan mengadakan pertemuan di Hijaz
untuk membahas pengaturan terhadap dua kota suci, yakni Mekkah dan Madinah.
Rencana ini kemudian menjadi perhatian bagi ulama Indonesia untuk mempersiapkan
delegasi untuk dikirim ke Hijaz. Akhirnya pada tahun 31 Januari 1926 pada saat
kongres di Bandung dipilihlah delegasi yang akan dikirim ke Hijaz, yakni
Tjokroamonoto (SI) dan Mas Mansur (Muhammadiyah), tanpa mengikutsertakan kaum
tradisionalis. Akibat kekecewaan karena tidak diikutsertakan dalam delegasi ke
Hijaz, kaum tradisionalis mengadakan pertemuan di Surabaya untuk menentukan
delegasi dari kaum tradisionalis.
Pada pertemuan tersebut dibentuklah Komite Hijaz dengan
mengatasnamakan diri dari organisasi Nahdlatul Ulama. Komite ini akan mewakili
aspirasi kaum tradisionalis sebagai delegasi ke Hijaz (Mekkah). Pada saat
itulah dianggap sebagai hari lahirnya Nahdlatul Ulama. NU didirikan sebagai
jam’iyah yaitu sebuah organisasi keagamaan dan sosial, dengan tujuan untuk
memegang dengan teguh pada salah satu mahzabnya imam empat, yaitu Imam Muhammad
bin Idris al-Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah al-Nu’man, atau
Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerjakan apa saja menjadikan kemaslahatan agama
Islam. Sejak pendiriannya, NU mengalami perkembangan yang pesat. Jumlah
anggotanya pun semakin tahun semakin bertambah.
Peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia
1. Peran NU pada Masa
Awal Pendirian.
Dalam perjalanannya, NU memainkan peranan yang cukup besar bagi
bangsa Indonesia. Pada masa-masa awal setelah didirikan saja, NU sudah
melakukan berbagai upaya untuk memajukan masyarakat Indonesia. Salah satu upaya
yang dilakukan adalah memajukan bidang pendidikan dengan mendirikan banyak
madrasah dan pesantren.
NU juga mendirikan Lembaga Ma’arif pada tahun 1938 guna
mengkoordinasi kerjasama dalam kegiatan pendidikan. NU juga mulai mengembangkan
perekonomian masyarakat dengan mendirikan koperasi pada tahun 1929 di Surabaya.
Koperasi ini sangat berperan dalam penjualan barang dan mengorganisis barter
dalam masyarakat. Koperasi yang didirikan NU ini semakin berkembang hingga
akhirnya pada tahun 1937 jangkauannya semakin luas dan dibentuklah Syirkah
Mu’awanah.
2. Peran NU Masa
Pemerintahan Jepang.
Peran NU tidak berhenti sampai di situ, sejak kedatangan jepang,
peran NU semakin diperhitungkan. Jepang yang kala itu sedang membutuhkan basis
massa untuk membantu Jepang dalam Perang Pasifik, akhirnya Jepang melakukan
mobilisasi terhadap rakyat pedesaan di Indonesia. Sementara kaum ulama dan kiai
diberikan jabatan resmi agar mau membantu Jepang.
Misalnya saja dengan menjadikan Hasyim Asy’ari sebagai ketua
Shumubu (Kepala Kantor Urusan Agama). NU juga memainkan perannya dalam
organisasi Masyumi bentukan Jepang. Sebagian besar tokoh NU dijadikan pengurus,
seperti Hasyim Asy’ari yang diangkat sebagai ketua pertama Masyumi, dan juga
Wahab Chasbullah yang diangkat sebagai Penasehat Dewan Pelaksana. Selain itu
puluhan ribu anggota NU juga dilatih secara militer dalam PETA (Pembela Tanah
Air).
Tokoh NU juga terlibat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) sehingga terlibat langsung dalam perumusan pernyataan
kemerdekaan. Kebijakan Jepang tersebut mau tak mau menarik sejumlah anggota NU
ke ranah politik.
Peran dan
Perjuangan Nahdlatul Ulama (NU) Masa Kemerdekaan (1945-1959)
1) Mengeluarkan
Resolusi Jihad.
Kegiatan politik
NU semakin kental pada masa kemerdekaan. Hal ini ditunjukkan pada Muktamar NU
di Surabaya tanggal 22 Oktober 1945. Dalam muktamar tersebut, NU mengeluarkan
“Resolusi Jihad” yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah Perang
Suci (jihad). Resolusi ini berarti bahwa penolakan terhadap kembalinya kekuatan
kolonial yang mengakui kekuasaan suatu pemerintah republik baru sesuai dengan
Islam. Resolusi jihad ini juga terbukti dengan penentangan NU terhadap beberapa
perjanjian dan konsesi diplomatic yang diadakan pemerintah seperti Perjanjian
Renville (1946), Perjanjian Linggarjati (1948) dan juga Konferensi Meja Bundar
atau KMB (1949).
2) NU dalam Tubuh
Masyumi.
Pada tanggal 3
November 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat No. X yang berisi anjuran
tentang berdirinya partai-partai politik. Umat Islam dengan segera menyambut bahagia
adanya keputusan tersebut, sehingga tanggal 7 November dibentuklah Masyumi.
Sementara NU yang telah berdiri sebelumnya sebagai jam’iyah kemudian bergabung
dengan Masyumi pasca mengadakan Muktamar NU XVI di Purwokerto tahun 1946.
Bergabungnya NU dalam Masyumi menjadi pengalaman berharga bagi NU. Ia mulai
mengalami liku-liku politik, sesuatu yang baru bagi NU. Menurut NU, politik
dapat dijadikan media untuk memperluas peran ulama. Tokoh NU, Hasyim Asy’ari
diangkat sebagai Ketua Umum Majelis Syuro (Dewan Penasehat Keagamaan).
Sementara tiga tokoh NU lainnya menduduki jabatan menteri sebagai wakil
Masyumi, yakni Wahid Hasjim, Masjkur, dan K. H. Fathurrahman Kafrawi. Tokoh
lainnya yang juga berkiprah di pemerintahan adalah Wahab Chasbullah sebagai
anggota Dewan Pertimbangan Agung.
3) NU sebagai Partai
Politik.
Hubungan antara
Masyumi dengan NU berubah pada 1952, yang mana NU memutuskan untuk keluar dari
Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri.
Pasca meninggalkan Masyumi dan menjadi sebuah partai politik, NU
dihadapkan pada kekurangan tenaga terampil. Untuk mengatasi hal ini, maka
direktrutlah beberapa tokoh yang dianggap mumpuni seperti H. Jamaluddin Malik,
K.H. Idham Chalid, dan beberapa tokoh lainnya.
4) NU Membentuk Liga
Muslimin Indonesia.
NU menjalin
persatuan yang bersifat federatif dengan PSII, Perti dan juga Darud Da’wah
wal-Irsyad (DDI) dalam wadah yang disebut Liga Muslimin Indonesia. Liga ini
dibentuk tanggal 30 Agustus 1952 dengan tujuan “untuk mencapai masyarakat
Islamiyahyang sesuai dengan hukum Allah Swt dan sunnah Rasul”.
5) NU dalam Pemilu
1955.
Dalam rangka
mempersiapkan pemilu tahun 1955, NU mengadakan Muktamar Alim Ulama se Indonesia
pada tanggal 11-15 April 1953 di Medan. Dalam muktamar tersebut diputuskan
wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mengambil bagian dalam pemilu, baik untuk
anggota DPR maupun Konstituante. Pada pemilu 1955, partai NU mendapatkan
6.955.141 suara dan mendapat bagian 45 kursi di parlemen. Suara besar yang
diperoleh NU dalam pemilu ini tidak lain karena basis pendukung NU yang sangat
kuat, terutama di pedesaaan. Melalui pemilu 1955, NU berhasil mencapai sasaran
yang ditetapkan pada 1952 yakni menggerakkan masyarakat tradisional untuk
menyatakan aspirasi sosial dan keagamaannya sehingga Islam tradisional mampu mendapat
tempat di tengah-tengah kehidupan berbangsa. Partai ini juga berhasil
melembagakan peran ulama dalam sebuah negara melalui keberadaannya dalam
parlemen dan keberhasilannya menguasai Departemen Agama.
6) Menumpas
Gerakan PRRI.
NU juga
mengungkapkan bahwa gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PPRI)
yang didukung oleh tokoh senior Masyumi harus segera ditumpas. Menurut NU,
gerakan PPRI dianggap telah menyalahi perintah Alquran untuk mematuhi perintah
Allah Swt, Nabi Muhammad saw, dan pemimpin mereka (Q.S. An-Nisaa’: 59).
7) Menerima UUD 1945
sebagai konstitusi.
Majelis konstituante yang berhasil dibentuk dari pemilu tahun 1955
nyatanya belum mampu menghasilkan konstitusi baru untuk Indonesia. Oleh sebab
itu terjadilah ketegangan antar fraksi di pemerintah. Melihat kondisi demikian,
NU kemudian mengadakan sidang Dewan Partai di Cipanas, Bogor tanggal 26-28
Maret 1958. Pada pertemuan tersebut NU bersepakat untuk menerima UUD 1945 RI
sebagai konstitusi dengan pengertian bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD
tersebut.
Peran dan Perjuangan Nahdlatul Ulama (NU) Masa Orde Lama (1959-1966)
1) NU menerima Konsep Demokrasi Terpimpin.
NU menerima konsep Demokrasi Terpimpin yang diusung oleh Soekarno
tidak lain didasarkan pada pertimbangan fiqhiyah yang artinya “Jika terjadi
benturan antara dua hal yang sama buruk dipertimbangkan yang lebih besar
bahayanya dan melaksanakan yang paling kecil akibat buruknya” selain itu NU
juga berpegang pada dalil yang menyebutkan bahwa jika kemampuan hanya dapat
menghasilkan sebagian, maka yang sebagian itu tidak boleh ditinggalkan, harus
tetap dilaksanakan.
2) NU menuntut
pembubaran PKI.
Pada tanggal 30
September 1965, keadaan Jakarta sedang genting dengan adanya gerakan atau
pemberontakan terhadap pemerintah RI oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Di
tengah situasi yang genting ini, NU pada tanggal 2 Oktober 1965 menyatakan
kontra terhadap gerakan revolusi yang dilakukan oleh PKI. Tanggal 5 Oktober, NU
beserta ormas-ormas lainnya menuntut adanya pembubaran PKI dan menyerukan agar
umat Islam membantu ABRI dalam menumpas Gerakan 30 September 1965. Hingga
akhirnya pemerintah menyetujui pelarangan terhadap keberadaan partai komunis di
Indonesia.
Peran dan Perjuangan Nahdlatul Ulama Masa Orde Baru (1966-1998)
1) Kebijakan
Penyederhanaan Partai.
Pada tahun 1973, partai-partai politik bergabung dalam dua wadah
fusi. Partai Islam disatukan dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
dengan anggotanya yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Wadah lainnya berisi PNI,
IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Parkindo, Partai Katolik, dan
Partai Murba, wadah kedua ini dinamakan Partai Demokrasi Indonesia. Ketika
berada dalam PPP, NU mendapat kehormatan layaknya di Masyumi. Semangat
persaudaraan dalam tubuh PPP awalnya sangat kuat, namun pada hal itu tidak
berlangsung lama, sebab ketika adanya pengajuan RUU Perkawinan, K.H. Bishri
Sansuri sebagai wakil NU menolak adanya RUU tersebut. Menurut Bishri, RUU
tersebut berisi pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum perkawinan dalam
Islam.
K.H. Bishri Sansuri memiliki wibawa yang sangat besar dan sifatnya
cenderung keras, sehingga ketika terjadi pertikaian di tubuh PPP, ia dapat dengan
segera mengendalikan para pimpinan PPP. Sepeninggal K.H. Bishri Sansuri,
anggota-anggota NU seringkali mengalami pertikaian dengan anggota dari partai
lainnya.
2) NU kembali ke
Khittah 1926.
Pada Muktamar
NU ke-26 di Semarang tanggal 6-11 Juni 1979, NU menyatakan akan kembali menjadi
jam’iyah seperti tahun 1926. Keputusan ini diambil NU tidak lain karena
menganggap bahwa pada saat itu NU sudah memiliki wadah dalam berpolitik yakni
PPP, sehingga NU dapat kembali menjadi organisasi keagamaan lagi. Selain itu
perjalanan politik NU yang seringkali mengalami kekecewaan membuat organisasi
ini semakin terdorong untuk kembali ke Khittah 1926. Meski memutuskan untuk
kembali menjadi organisasi keagamaan, tetapi anggota-anggota NU dapat ikut
serta dalam politik secara perseorangan.
3) Asas Pancasila dan
NKRI sebagai bentuk final bagi bangsa Indonesia.
Dengan pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila oleh pemerintah orde
baru, NU memberikan dukungan penuh. Buktinya pada Muktamar ke- 27 di Situbondo
(1984), NU membuat keputusan bahwa “Nahdlatul Ulama berasaskan Pancasila.
Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Ahlus sunnah wal
jama’ah mengikuti salah satu dari empat mahzab yaitu: Hanafi, Syafi’i, Maliki,
dan Hambali.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar