KHALIFAH HARUN AR RASYID
DINASTI ABBASIYAH
Kehidupannya Adalah Teladan
Al-Manshur bin Ammar mengatakan, “Aku tidak melihat orang yang lebih mudah menitikkan air mata saat berdzikir melebihi tiga orang: al-Fudhail bin Iyad, (Harun) al-Rasyid, dan yang lain.” (Mukhtashar Tarikh Dimasyq, Juz: 27, Hal: 19).
Diriwayatkan, suatu hari Ibnu
as-Samak menemui al-Rasyid. Saat itu Harun al-Rasyid meminta minum.
Diberikanlah untuknya semangkok minuman. Ibnu as-Samak berkata, “Wahai Amirul
Mukminin, seandainya Anda terhalangi meminum minuman ini –maksudnya satu
mangkuk air ini pun Anda tak punya-, dengan apa Anda akan membelinya?” “Dengan
setengah kerajaanku,” jawab al-Rasyid. “Minumlah, semoga Allah memberimu
ketenangan,” kata Ibnu as-Samak.
Setelah al-Rasyid selesai meminum
air itu, Ibnu as-Samak kembali berkata, “Seandainya air ini dihalangi keluar
dari badan Anda, dengan apa Anda akan menebusnya agar ia bisa keluar?” “Dengan
seluruh wilayah kerajaanku,” jawab al-Rasyid. Ibnu as-Samak melanjutkan,
“Sesungguhnya harga sebuah kerajaan hanya dengan seteguk air dan kencingnya.
Sungguh tidak pantas seorang berlomba-lomba memperebutkannya.” Harun al-Rasyid
pun menangis tersedu-sedu. (Tarikh al-Khulafa, Juz: 1, Hal: 216).
Ibnul Jauzi mengisahkan,
“al-Rasyid berkata kepada Syibyan, ‘Nashiatilah aku’. Syibyan mengatakan,
“Bertemanlah dengan orang-orang yang membuatmu takut, tapi dengan itu engkau
merasa aman. Hal ini lebih baik bagimu daripada berteman dengan orang yang
membuatmu merasa aman, tapi engkau menjadi ketakutan.”
“Jelaskan maksud ucapan itu
padaku,” kata al-Rasyid.
“Orang yang mengatakan padamu,
‘Engkau bertanggung jawab terhadap rakyatmu, maka takutlah kepada Allah’. Orang
yang demikian lebih baik untukmu. Daripada mereka yang mengatakan, ‘Engkau
adalah ahlul bait (keluarga rasul). Dosa-dosamu diampuni. Anda adalah
kerabatnya Nabi ﷺ’.” Harun al-Rasyid
pun menangis, sampai-sampai orang di sekelilingnya merasa kasihan padanya
(Tarikh al-Khulafa, Juz: 1, Hal: 216).
Mencintai Sunnah dan Para Ulama
Al-Rasyid adalah seorang pemimpin
yang cinta pada para ulama. Ia mengagungkan dan memuliakan agama. Membenci
debat dan banyak bicara. Al-Qadhi al-Fadhil dalam sebagian suratnya mengatakan,
“Aku tidak tahu ada seorang Raja yang tidak pernah beristirahat menuntut ilmu,
kecuali al-Rasyid. Ia pergi bersama dua orang putranya, al-Amin dan al-Makmun,
untuk mendengar al-Muwatha dibacakan oleh Imam Malik rahimahullah.” (Tarikh
al-Khulafa, Juz: 1, Hal: 217)
Saat sampai kabar padanya seorang
tokoh tabiut tabi’in, Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah, wafat, Harun
al-Rasyid duduk bersedih. Dan para tokoh pun berusaha menghiburnya.
Abu Muawiyah adh-Dharir
mengatakan, “Tidaklah aku menyebut Nabi ﷺ
di hadapan al-Rasyid kecuali ia mengatakan shallallahu ‘ala sayyidi (shalawat
Allah atas tuanku). Kemudian kuriwayatkan kepadanya hadits beliau,
“Andai saja aku berperang di jalan
Allah, kemudian terbunuh. Setelah itu aku hidup kembali dan terbunuh kembali.”
(HR. al-Bukhari 6799).
Ia menagis hingga terisak-isak.
Dari Khurzadz al-Abid, ia berkata,
“Abu Muawiyah menyampaikan sebuah hadits –Nabi ﷺ-
kepada al-Rasyid. Yakni hadits tentang kisah Nabi Adam mengalahkan hujjah Nabi
Musa. Lalu ada seseorang yang bertanya, “Dimana keduanya bertemu?” al-Rasyid
pun marah dan berkata, “Hamparkan kulit dan cabut pedang. Seorang zindiq telah
menghina hadits”. Abu Muawiyah pun menenagkan Harun al-Rasyid hingga padam
amarahnya. (al-Fawa-id adz-Dzahabiyah min Siyar A’lam Nubala, Juz: 1, Hal: 10)
Hadits tersebut adalah:
عَنْ طَاوُسٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا
هُرَيْرَةَ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى فَقَالَ مُوسَى يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا
وَأَخْرَجْتَنَا مِنْ الْجَنَّةِ فَقَالَ لَهُ آدَمُ أَنْتَ مُوسَى اصْطَفَاكَ
اللَّهُ بِكَلَامِهِ وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ
اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى
Adam dan Musa ‘alaihimasslam
saling berdebat. Musa berkata, “Wahai Adam, engkau adalah bapak kami. Engkau
telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga karena dosamu.”
Adam menjawab, “Wahai Musa, Allah
telah memilihmu dengan kalam-Nya dan menulis Taurat untukmu dengan tangan-Nya.
Apakah kau mencelaku atas perkara yang telah Allah tentukan terhadapku empat
puluh tahun sebelum Dia menciptakanku?”
Nabi ﷺ
bersabda, “Argumentasi Adam mengalahkan Musa. Argumentasi Adam mengalahkan
Musa.” (HR. Muslim No.4793).
Mendengar hadits ini, spontan
salah seorang di majelis Harun al-Rasyid berseloroh, “Dimana keduanya bertemu?”
Namun Harun al-Rasyid menangkap ucapan ini sebuah respon untuk membantah.
Sehingga ia langsung merespon serius seseorang yang dianggapnya berani
mendustakan hadits Nabi ﷺ. An-nuth’u wa as-saif
(pedang), kata al-Rasyid. An-nuth’u adalah kulit yang dihamparkan untuk
mengeksekusi seseorang agar darahnya tidak membasahi lantai.
Mendustakan hadits bukan perkara
kecil di mata Harun al-Rasyid. Ia sampai menyebut orang tersebut dengan zindiq,
yakni orang yang mendustakan dan membantah syariat. Sementara kaum muslimin
pada hari ini dengan mudah menolak hadits, tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Mereka mengatakan, “Hadits ini tidak lagi relevan dengan zaman sekarang”,
“Hadits ini tafsirannya demikian dan demikian –bermaksud menolak hadits-”, dll.
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah
mengatakan, “Tidak seorang pun meninggal, lebih berat terasa kematiannya
dibandingkan Amirul Mukminin Harun. Aku berandai-andai sekiranya Allah
menambahkan umurnya dari umurku.” Ia melanjutkan, “Berat terasa bagi kami. Saat
Harun wafat, muncullah fitnah. Al-Makmun (putra Harun) menyeru masyarakat
meyakini bahwa Alquran itu makhluk.” (at-Tafsir min Sunan Said bin Manshur,
Hal: 25)
Harun al-Rasyid dan Kaisar Romawi
Nikephoros I
Pada tahun 187 H, Harun al-Rasyid menerima surat dari
Kaisar Romawi Nikephoros I. Surat tersebut berisi pembatalan perjanjian damai
antara Romawi dan Abbasiyah yang telah disepakati oleh Kiasar Romawi
sebelumnya. Isi surat Nikephoros adalah sebagai berikut:
Dari Nikephoros, Kaisar Romawi,
kepada Harun, Raja Arab. Amma ba’du..
Sesungguhnya kaisar sebelumku memberimu posisi benteng
(dalam permainan catur pen.). Dan dia memposisikan diri sebagai pion. Ia
bawakan kepadamu harta-hartanya. Sebenarnya aku bisa memberikan jumlah berkali
lipat darinya. Tapi itu karena kelemahannya dan kebodohannya sebagai seorang
wanita. Jika engkau membaca suratku ini, kembalikan apa yang telah engkau
dapatkan sebelumku! Jika tidak, maka pedang (yang berbicara) antara aku dan
dirimu!
Ketika al-Rasyid membaca surat
ini, ia pun marah besar. Tidak ada seorang pun yang berani mengarahkan pandangan
ke arah wajahnya. Apalagi mengeluarkan sepatah kata padanya. Orang-orang yang
duduk bersamanya menyingkir karena takut. Menteri pun membisu. Al-Rasyid
menulis surat balasan:
Bismillahirrahmanirrahim.
Dari Harun Amirul Mukminin, kepada Nikephoros anjing
Romawi. Aku telah membaca suratmu wahai anak perempuan kafir. Jawabannya adalah
sesuatu yang akan engkau lihat sebelum kau dengar.
Hari itu juga Harun al-Rasyid
memimpin sendiri pasukannya menuju Romawi. Sampai akhirnya al-Rasyid berhasil
menaklukkan Kota Hercules –sebuah kota dekat Konstantinopel-, Nikephoros
ketakutan. Ia kembali meminta perjanjian damai dan bersedia membayar upeti
(Tarikh ath-Thabari bab Sanah Sab’u wa Tsamanin wa Mi-ah).
Kemakmuran di Era Pemerintahannya
Ada sepenggal kalimat yang diucapkan Harun al-Rasyid
menggambarkan betapa luas dan makmur wilayah kekuasaannya. Suatu hari al-Rasyid
melihat awan mendung, kemudia ia mengatakan,
أمطري حيث شئت؛ فسيأتيني خراجك
“Hujanlah dimanapun yang kau inginkan. Hasil bumi pun
akan datang padaku.” (Mausu’ah Akhlak wa Zuhd wa Raqa-iq Juz 1 Hal: 198).
Hujan tersebut akan bermanfaat
bagi kaum muslimin, baik turun di wilayah kekuasaan Islam Dintasti Abbasiyah
atau di luar wilayah tersebut. Jika dia turun di wilayah Islam, kaum muslimin
akan memanfaatkan airnya untuk minum dan mengairi ladang mereka. Dan jika turun
di selain wilayah kaum muslimin, hasil buminya akan datang kepada umat Islam
dalam bentuk jizyah.
Inilah gambaran kemuliaan,
kemakmuran, dan kekuasaan kaum muslimin di era Harun al-Rasyid rahimahullah.
Wafatnya al-Rasyid
Harun al-Rasyid pernah bermimpi
tentang kematiannya. Dalam mimpinya ia melihat dirinya menggenggam tanah
berwarna merah. Di tempat itulah ia wafat.
Mimpi itu pun jadi kenyataan. Saat
al-Rasyid menempuh perjalanan menuju Khurasan, setibanya di Kota Thous, ia
jatuh sakit. Al-Rasyid memerintahkan pembantunya, “Datangkan padaku sewadah
tanah dari tempat ini.” Kemudian diberikan padanya tanah merah di
gengagamannya. Melihat itu, al-Rasyid mengatakan, “Demi Allah, inilah telapak
tangan yang aku lihat. Dan tanah yang ada di genggamannya.”
Ia memerintahkan penggalian
makamnya saat ia masih hidup. Kemudian ia minta dibacakan Alquran seutuhnya.
Setelah itu, ia minta dibawa ke makamnya. “Menuju tempat inilah perjalanan
(hidup ini) wahai anak Adam,” kata al-Rasyid. Ia pun menangis. Tiga hari
kemudian, beliau rahimahullah wafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar