RAHASIA DOA YANG MUSTAJAB
Berdoa adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat penting dalam Islam. Melalui doa, seorang hamba menyampaikan kebutuhan, harapan, dan rasa syukur kepada Tuhannya. Rasulullah saw memberikan bimbingan yang sangat berharga tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya berdoa.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra,
Rasulullah saw bersabda:
قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ادْعُوا اللَّهَ تَعَالَى وَأَنْتُمْ
مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ، وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا
يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: Berdoalah kepada Allah Ta’ala
dengan keyakinan bahwa doa tersebut akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah
Azza wa Jalla tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan lengah.” (HR.
Ath-Thabrani dalam Ad-Du’a, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413], jilid I,
hlm. 39).
Hadits ini sekilas mengandung pesan mendalam tentang adab dan cara
berdoa yang benar. Rasulullah menekankan pentingnya keyakinan dalam doa. Ketika
seorang hamba memanjatkan doa, ia harus yakin bahwa Allah mendengar setiap
permohonannya dan mampu mengabulkannya.
Keyakinan ini menunjukkan keimanan yang kuat kepada Allah sebagai
Maha Mendengar dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tanpa keyakinan, doa menjadi
hampa dan kehilangan esensinya sebagai wujud ketergantungan penuh kepada Sang
Pencipta.
Berkaitan dengan hadits ini, Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Jami’ul
‘Ulum wal Hikam menjelaskan:
ولهذا نهى
العبد أن يقول في دعائه الله م اغفر لي إن شئت ولكن ليعزم المسألة فإن الله لا
مكره له ونهي أن يستعجل ويترك الدعاء لاستبطاء الإجابة وجعل ذلك من موانع الإجابة
حتى لا يقطع العبد رجاءه من إجابة دعائه ولو طالت المدة فإنه سبحانه يحب الملحين
في الدعاء
Artinya: “Oleh karena itu, seorang hamba dilarang untuk mengatakan
dalam doanya, ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau berkehendak.’ Sebaliknya,
hendaknya ia bertekad dalam permohonannya, karena Allah tidak dipaksa untuk
melakukan sesuatu. Hamba juga dilarang untuk tergesa-gesa dan meninggalkan doa
hanya karena merasa pengabulannya terlalu lama, sebab hal tersebut termasuk
penghalang terkabulnya doa. Hal ini dilakukan agar seorang hamba tidak
memutuskan harapannya terhadap terkabulnya doa, meskipun waktu pengabulannya
terasa panjang. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang terus-menerus
‘mendesak’ dalam berdoa.” (Jilid I [Beirut, Darul Ma’rifah, 1408], hlm. 392)
Ketika berdoa, seorang hamba tidak hanya sekadar mengucapkan
rangkaian kata, melainkan harus menghadirkan hati dan kesadaran penuh. Imam
An-Nawawi dalam Al-Adzkar Jilid II halaman 351 menjelaskan bahwa seorang hamba
seyogyanya sadar sepenuhnya akan apa yang ia pinta dan kepada siapa ia
berdoa.
Kesadaran ini mencerminkan pengakuan terhadap kebesaran dan
keagungan Allah, serta penghayatan atas kebutuhan dirinya sebagai makhluk yang
bergantung sepenuhnya kepada Sang Pencipta. Keterangan ini juga disampaikan
oleh Al-Munawi dalam Faydhul Qadir:
وحقيقته إظهار
الإفتقار إليه والتبرؤ من الحول والقوة وهو سمة العبودية واستشعار الذلة البشرية
Artinya: “Hakikat doa adalah menunjukkan ketergantungan penuh
kepada Allah, melepaskan diri dari segala daya dan kekuatan, yang merupakan
ciri penghambaan (kepada Allah), serta merasakan kelemahan/kerendahan diri
sebagai manusia.” (Faydhul Qadir, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994],
Jilid VI halaman 85)
Tidak sembarang yakin saja. Menurut Al-Munawi, keyakinan akan
terkabulnya doa muncul ketika seseorang berada dalam keadaan yang layak untuk
pengabulan doa, yaitu dengan niat yang tulus, hati yang hadir, melakukan
ketaatan dengan anggota badan, menjauhi larangan, dan membersihkan hati dari
apa pun selain Allah.
“Jika seseorang tidak meyakini pengabulan
doanya, maka harapannya tidak tulus. Jika harapannya tidak tulus, maka doanya
pun tidak ikhlas. Harapan adalah dorongan penting dalam meminta, dan permintaan
tidak dapat terwujud tanpa harapan. Sebab jika seseorang tidak berdoa kepada
Tuhannya dengan keyakinan bahwa doanya akan dikabulkan, maka tidak terkabulnya
doa tersebut bisa disebabkan oleh anggapan bahwa yang dimintai doa (Allah)
bersifat lemah, pelit, atau tidak mengetahui permintaan hamba-Nya. Semua hal
ini mustahil bagi Allah Yang Maha Sempurna,” tegas Al-Munawi (hlm. 85).
Kemudian, Rasulullah juga mengingatkan bahwa doa dari hati yang
lalai dan lengah tidak akan diterima oleh Allah. Hati yang lalai adalah hati
yang tidak khusyuk, tidak sadar akan kebesaran Allah, dan tidak benar-benar
berharap pada pengabulan doa.
Kelalaian ini sering muncul ketika seseorang berdoa hanya sebagai
rutinitas atau formalitas, tanpa menghadirkan jiwa dan pikirannya dalam setiap
kata yang diucapkan. Oleh karena itu, doa yang diterima adalah doa yang
dipanjatkan dengan kesadaran penuh, kesungguhan, dan rasa harap kepada Allah.
Memang, hadits ini memiliki ragam komentar dari para ulama.
Misalnya jika mengutip al-‘Iraqi dalam al-Mughni, hadits ini diriwayatkan oleh
A-Tirmidzi dari jalur Abu Hurairah, dan ia mengatakan bahwa hadits ini gharib
(asing) (Al-Mughni, Jilid I (Riyadh, Maktabah ath-Thabariyyah, 1995) halaman
262
Al-Hakim juga meriwayatkannya dan menyatakan bahwa sanadnya
mustaqim (lurus). Menurut al-‘Iraqi juga, hadits ini diriwayatkan secara
tunggal oleh Shalih Al-Murri, yang merupakan salah satu ahli zuhud di Basrah.
Namun, al-‘Iraqi berpendapat bahwa perawi tersebut lemah dalam periwayatan
hadits (hlm. 262).
Dari hadits ini, kita belajar bahwa doa bukanlah sekadar rangkaian
kata dan formalitas belaka, melainkan sebuah bukti keimanan, harapan, dan
ketergantungan seorang hamba kepada Tuhannya. Semoga kita termasuk golongan
hamba yang senantiasa berdoa dengan hati yang yakin, penuh kesungguhan, dan
khusyuk, sehingga doa-doa kita diterima oleh Allah. Amin. Amien
Sumber:
https://islam.nu.or.id/syariah/kajian-hadits-rahasia-doa-yang-mustajab-U5MJu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar