Kisah Tiga Sahabat Disiksa Demi Mempertahankan Keimanan
Nabi Muhammad SAW dikelilingi oleh banyak sahabat setia yang selalu siap mendampingi perjuangannya dalam berdakwah. Mereka berasal dari berbagai golongan, status sosial, kelas ekonomi, karakter, dan latar belakang yang beragam. Namun, satu hal yang menyatukan mereka adalah keimanan yang teguh kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Pada masa awal Islam di Makkah, para sahabat
menghadapi berbagai cobaan dan tantangan yang berat. Dakwah Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW dianggap bertentangan dengan tradisi dan kepercayaan
yang telah mengakar kuat di masyarakat Arab selama berabad-abad. Kaum Quraisy,
sebagai penguasa Makkah, merasa terancam oleh ajaran tauhid yang menolak
penyembahan berhala-berhala di Ka’bah, sumber ekonomi dan prestise mereka.
Para sahabat, terutama dari kalangan lemah
seperti budak, orang miskin, dan mereka yang tidak memiliki perlindungan klan
yang kuat, menjadi sasaran utama intimidasi dan penyiksaan. Mereka dipaksa
untuk meninggalkan Islam melalui berbagai cara, mulai dari ancaman, boikot
ekonomi, pengucilan sosial, hingga penyiksaan fisik yang kejam.
Meski demikian,
semangat dan keteguhan iman para sahabat justru semakin ter tempered di tengah
ujian berat ini. Di antara sekian banyak sahabat yang mengalami kekejaman demi
mempertahankan keimanan mereka, berikut adalah tiga kisah sahabat Nabi Muhammad
SAW yang disiksa secara tragis.
1. Bilal bin Rabah
Sahabat Nabi SAW
yang pertama kali mengalami penyiksaan tragis adalah Bilal bin Rabah. Ia adalah
seorang budak berkulit hitam dari Habasyah yang menghabiskan hari-harinya
bekerja untuk Umayyah bin Khalaf, salah satu pembesar Quraisy.
Ketika Umayyah mengetahui bahwa Bilal telah
memeluk Islam, kemarahannya memuncak. Ia menyeret Bilal keluar saat matahari
sedang terik dan melemparkannya ke hamparan padang pasir yang panas membara.
Tidak cukup sampai di situ, Umayyah memerintahkan agar sebuah batu besar
diletakkan di atas dada Bilal, seraya berkata dengan congkak, “Siksa ini akan
terus berlangsung sampai kamu mati atau mengingkari Muhammad dan menyembah
Latta serta Uzza.”
Namun, Bilal tidak sedikit pun tergoyahkan.
Dengan penuh keyakinan, ia menjawab, “Ahad, ahad,” yang berarti “Tuhan Yang
Maha Esa, Tuhan Yang Maha Esa.” Keteguhannya akhirnya dilihat oleh Abu Bakar
As-Shiddiq yang kebetulan lewat. Abu Bakar kemudian membeli Bilal dari Umayyah
dan memerdekakannya. (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Al-Ishabah fii Tamyizis
Shahabah, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1996], jilid I, halaman 456)
2. Abdullah bin Hudzafah
Sahabat Nabi SAW
berikutnya yang disiksa karena keimanannya adalah Abdullah bin Hudzafah bin
Qais bin Adiy, yang lebih dikenal sebagai Abu Hudzafah As-Sahmi. Ia termasuk
As-Sabiqunal Awwalun, golongan pertama yang memeluk Islam di Makkah, dan turut
berhijrah ke Habasyah serta menjadi delegasi Nabi SAW ke Raja Persia.
(Adz-Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala, [Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1985], jilid
II, halaman 11)
Kisahnya berawal saat Khalifah Umar mengirim
pasukan ke Roma, dan Abdullah turut serta dalam rombongan tersebut. Setibanya
di sana, Raja Roma bertanya, “Apakah kelompok ini pengikut Muhammad?” Ia lalu
menawarkan, “Maukah engkau menjadi Nasrani? Jika ya, aku akan berikan setengah
kerajaanku.”
Abdullah menjawab dengan tegas, “Meski kau
berikan seluruh kekayaanmu dan semua kerajaan di tanah Arab, aku tak akan
pernah meninggalkan agama Muhammad, bahkan sekadar terlintas di pikiranku.”
Raja murka mendengar jawaban itu dan mengancam, “Jika begitu, aku akan
membunuhmu.” Dengan tenang, Abdullah menjawab, “Silakan.”
Raja lalu memerintahkan pasukannya untuk
menyalib Abdullah dan memanah tubuhnya dari jarak dekat. Dalam kondisi itu,
Raja kembali menggoda agar ia meninggalkan Islam, tetapi Abdullah tetap menolak
keras. Kemarahan Raja memuncak, ia menurunkan Abdullah dari salib dan
menyiramnya dengan air mendidih. (Adz-Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala, jilid II,
halaman 14)
3. Keluarga Yasir
Kisah tragis
berikutnya dialami oleh keluarga Yasir, yang terdiri dari Yasir, Sumayyah binti
Khiyath, dan anak mereka, Ammar bin Yasir. Keluarga ini disiksa secara kejam
oleh Bani Makhzum, salah satu klan penguasa di Makkah, karena menolak
meninggalkan Islam.
Penyiksaan terjadi di siang hari yang terik.
Mereka dijemur di bawah matahari menyengat dan disiksa dengan pasir panas yang
membakar kulit. Saat itu, Nabi Muhammad SAW kebetulan melintas dan menyaksikan
penderitaan mereka. Tak mampu berbuat banyak, beliau hanya bisa berkata,
“Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sungguh surga telah dijanjikan untuk
kalian.”
Dalam peristiwa itu, Sumayyah binti Khiyath
tak kuat menahan siksaan yang mengerikan. Ia meninggal dunia, tetapi hingga
akhir hayatnya, ia tetap teguh pada keimanan dan menolak meninggalkan Islam.
(Abdul Malik bin Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,
2002], jilid I, halaman 319)
Kisah perjuangan Bilal bin Rabah, Abdullah
bin Hudzafah, dan keluarga Yasir menjadi teladan mulia tentang keteguhan iman
di tengah cobaan berat. Mereka membuktikan bahwa kebenaran sejati tak bisa
dibeli dengan harta duniawi atau dipaksa dengan kekerasan fisik.
Dzikir Bilal, “Ahad, ahad,” yang bergema di
padang pasir yang membara, penolakan tegas Abdullah terhadap tawaran setengah
kerajaan Roma, serta ketabahan keluarga Yasir hingga Sumayyah syahid,
menunjukkan bahwa iman yang kokoh mampu mengatasi segala intimidasi dan godaan.
Di era modern, teladan ini relevan saat umat
Islam menghadapi tekanan dan godaan zaman. Di tengah globalisasi yang sarat
materialisme dan sekularisme, keteguhan spiritual para sahabat menjadi benteng
akidah yang penting. Solidaritas Abu Bakar dalam memerdekakan Bilal juga
mengajarkan nilai saling tolong-menolong dalam menghadapi ketidakadilan.
Kisah ketiga sahabat ini mengingatkan kita
bahwa Islam adalah agama mulia yang patut diperjuangkan dalam segala kondisi.
Keteguhan iman bukan berarti kekakuan dalam bermasyarakat, melainkan
keseimbangan antara prinsip, kebijaksanaan, dan adaptasi terhadap perkembangan
zaman. Wallahua’lam.
Semoga bermanfaat,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar