BELAJAR BERSABAR DARI KISAH NABI YUSUF


BELAJAR BERSABAR DARI KISAH NABI YUSUF



Nabi Yusuf a.s. mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Selain memiliki paras yang rupawan, Nabi Yusuf a.s. pun terkenal sebagai pribadi yang sangat sabar dalam menghadapi berbagai cobaan dalam hidupnya. Karena kesabaran beliau itulah Allah Swt. pun mengabadikan namanya dalam Al-Qur’an surah  Yusuf.

Sejarah Pembuangan Anak sebelum Datangnya Islam

 

Sejarah Pembuangan Anak sebelum Datangnya Islam



Bangsa Arab sebelum datangnya Islam dikenal dengan bangsa yang berpengetahuan. Mereka mampu melahirkan banyak penyair-penyair hebat yang sastranya begitu indah dan penuh makna. namun sayangnya, peradaban di sana lebih dekat pada tradisi amoral, perbuatan dan perilaku kesehariannya tidak menunjukkan kepedulian pada moral dan kemanusiaan yang disebabkan oleh pandangan mereka yang nihil tentang kesopanan. Itu sebabnya bangsa Arab dikenal dengan bangsa Jahiliyah pada masa itu.

Salah satu perilaku dan kebiasaan tidak manusiawi yang mereka lakukan pada masa itu adalah membuang anak wanitanya. Mereka beranggapan bahwa anak wanita hanya membawa sial bagi keluarganya dan tidak akan memberikan manfaat apa-apa, berbeda dengan anak laki-laki, mereka sangat bangga dan bahagia dengan kehadiran laki-laki.

Imam Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H) dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa penyebab orang Arab membuang bayi wanita saat itu karena setidaknya tiga alasan,

 (1) karena khawatir ditimpa kemiskinan, baik kemiskinan orang tua yang memeliharanya, atau kemiskinan anak itu ketika dewasa;

(2)   anak wanita tidak bisa bekerja sebagaimana anak laki-laki; dan

(3)   karena khawatir anak perempuan mereka diperbudak. (Imam ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Ihya at-Turats: 1420], juz 20 halaman 330).

Peradaban ini terus berlanjut di Arab. Mereka tidak rela jika dalam keluarganya terdapat anak perempuan. Gengsi, khawatir tidak makan, dan takut tidak bisa bekerja dijadikan alasan untuk membuang anak perempuan di zaman itu.

Sejarah Pembuangan Anak, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat 852 H) dalam kitabnya mengisahkan awal mula terjadinya kebiasaan membuang anak perempuan di kalangan bangsa Arab. Dalam kitabnya dikisahkan bahwa orang pertama yang melakukan perbuatan tidak manusiawi ini adalah Qais bin Ashim at-Tamimi,

 أَوَّلُ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ قَيْسُ بْنُ عَاصِم التَّمِيْمِي

Artinya, “Orang pertama yang melakukan itu (mengubur anak wanita hidup-hidup) adalah Qais bin Ashim at-Tamimi.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1379], juz X, halaman 406).

Kisah ini bermula ketika Nu’man bin Mundzir (penguasa Iraq) memimpin pasukan besar untuk menyerang musuh-musuhnya (termasuk Bani Tamim) dan mereka berhasil memenangkan peperangan ini. Mereka menyita harta dan membawa gadis-gadis Bani Tamim sebagai tawanan. Tidak lama setelah itu, para pembesar Bani Tamim memohon kepada Nu’man bin Mundzir agar gadis-gadis yang dijadikan tawanan itu dikembalikan. Namun sayangnya, beberapa di antara gadis-gadis Bani Tamim telah menikah selama ditawan, sehingga ia memberi kesempatan kepadanya untuk memilih antara memutuskan hubungan dengan orang tuanya atau bercerai dengan suaminya dan kembali pada orang tuanya.

Salah satu pembesar Bani Tamim yang memohon agar gadis-gadis itu dikembalikan kepada Bani Tamim adalah Qais bin Ashim. Namun sayang, putrinya lebih memilih untuk tinggal bersama suaminya dan memutus hubungan dengan orang tuanya. Keputusan putrinya itu sungguh sangat menyakitkan hati Qais bin Ashim. Ia merasa telah dikhianati oleh putrinya sendiri, hingga kemudian ia bertekad untuk membunuh anak wanitanya yang lahir di kemudian hari. Tradisi ini kemudian menyebar di kalangan Bani Tamim dan suku-suku lainnya,

 ثم حصل بينهم صلح فخير ابنته فاختارت زوجها فآلى قيس على نفسه أن لا تولد له بنت إلا دفنها حية فتبعه العرب في ذلك

Artinya, “Kemudian setelah terjadi perdamaian antara Bani Tamim dan penguausa Iraq, ia mempersilahkan untuk memilih, kemudian putrinya lebih memilih suaminya, sehingga (pilihan itu) membuat marah Qais, bahkan ia berjanji pada dirinya untuk tidak melahirkan anak perempuan kecuali akan menguburnya hidup-hidup. Kejadian ini terus diikuti oleh orang-orang Arab.” (Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, 10/406).

Islam Datang Setelah kejadian tidak manusiawi ini terus berlanjut di Arab, kemudian datanglah Islam untuk mengajarkan moralitas yang luhur kepada mereka. Islam datang sebagai penolong bagi kaum perempuan yang diperlakukan dengan tidak manusiawi di sana. Nabi Muhammad dengan risalah yang dibawanya membimbing masyarakat Arab dan mengarahkan mereka perihal moral yang mulia.

Dengan ajaran dari nabi, akhirnya tradisi Arab yang biasa mengubur anak perempuan itu terkikis dan tidak lagi terjadi penguburan anak perempuan. Alasan khawatir tidak bisa makan tidak lagi bisa dibenarkan, karena pada hakikatnya Allah yang akan menanggung semua itu. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:

 وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

Artinya, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.” (QS Al-Isra’, [17]: 31). Demikian penjelasan perihal kisah pembuangan anak yang terjadi sebelum datangnya Islam. Semoga bermanfaat.

Sumber: https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-pembuangan-anak-sebelum-datangnya-islam-duabb

Sabar Menghadapi Ujian dan Musibah

 

Sabar Dalam Menghadapi Musibah dan Ujian




Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari materi ini kalian diharapkan dapat:

1.    Melafalkan dengan fasih bacaan Q.S. al-Baqarah/2: 155-156 dan Q.S. Ibrahim/14: 9 serta Hadis terkait

2.      Mengidentifikasi bacaan tajwid dalam Q.S. al-Baqarah/2: 155-156 dan Q.S. Ibrahim/14: 9

3.  Mengartikan perkata dan menerjemahkan Q.S. al-Baqarah/2: 155-156 dan Q.S. Ibrahim/14: 9

4.      Mendeskripsikan tafsir Q.S. al-Baqarah/2: 155-156 dan Q.S. Ibrahim/14: 9

5.      Menganalisis sikap yang harus dimiliki ketika tertimpa musibah dan ujian

6.      Menganalisis manfaat hikmah di balik musibah dan ujian


Tadabur

Kalian mungkin sering mendengar dan membaca kata musibah. Kata musibah berasal dari Bahasa Arab ashaaba, yushiibu, mushiibatan yang berarti segala yang menimpa pada sesuatu baik berupa kesenangan maupun kesusahan. Namun, umumnya dipahami musibah selalu identik dengan kesusahan. Padahal, kesenangan yang dirasakan pada hakikatnya musibah juga. Dengan musibah, Allah Swt. hendak menguji siapa yang paling baik amalnya.

Ujian dalam bahasa Arab disebut Balaa’. Dalam istilah kehidupan balaa’ dapat diartikan cobaan yang diberikan kepada hamba-Nya untuk mengujinya atau mengetahui kualitas manusia itu sendiri. Orang yang mendapat ujian atau cobaan diharapkan bersikap sabar dalam menjalani apa yang sedang menimpa dirinya. Sabar berarti menahan diri dalam melaksanakan sesuatu dan meninggalkan sesuatu. 

Adapun Tawakal berasal dari bahasa Arab dengan kata dasarnya wakl yang berarti menyerahkan, membiarkan, serta merasa cukup (pekerjaan itu dikerjakan oleh seorang wakil). Sedangkan menurut Quraish Shihab dalam tafsir Al Mishbah, bahwa tawakal adalah berusaha dengan sungguh-sungguh sejauh batas kemampuan manusiawi untuk bisa mewujudkan sesuatu yang diinginkan, dengan dibarengi berserah diri kepada Allah Swt. atas apa yang telah diusahakan. Tawakal bukan berarti penyerahan mutlak nasib manusia kepada Allah Swt. semata. Namun, penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi. Manusia dituntut untuk melakukan sesuatu sesuai batas kemampuannya


وَلَـنَبۡلُوَنَّكُمۡ بِشَىۡءٍ مِّنَ الۡخَـوۡفِ وَالۡجُـوۡعِ وَنَقۡصٍ مِّنَ الۡاَمۡوَالِ وَالۡاَنۡفُسِ وَالثَّمَرٰتِؕ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيۡنَۙ‏ ١٥٥


Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar

الَّذِيۡنَ اِذَآ اَصَابَتۡهُمۡ مُّصِيۡبَةٌ  ۙ قَالُوۡٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّـآ اِلَيۡهِ رٰجِعُوۡنَؕ‏ ١٥٦

َ(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata "Innā lillāhi wa innā ilaihi
rāji'ūn" 1 (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).


Memahami Asbabun Nuzul Q.S. al-Baqarah/2: 155-156 dan Q.S. Ibrahim/14: 9

a. Asbabun Nuzul Q.S. al-Baqarah/2: 155-156

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ummu Salamah yang bercerita: bahwa pada suatu hari Abu Salamah mendatangiku dari tempat Rasulullah Saw. lalu ia menceritakan, aku telah mendengar ucapan Rasulullah Saw. yang membuat aku mereka senang, yaitu sabda beliau yang artinya: “Tidaklah seseorang dari kaum muslimin ditimpa musibah, lalu ia membaca innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un kemudian mengucapkan:

(Ya Allah, berikanlah pahala dalam musibahku ini dan berikanlah ganti padaku yang lebih baik darinya) melainkan akan dikabulkan doanya itu.” Ummu Salamah bertutur, kemudian aku menghafal doa dari beliau itu, dan ketika Abu Salamah meninggal dunia, maka aku pun mengucapkan, innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un, dan mengucapkan, ‘Ya Allah, berikanlah pahala dalam musibahku ini dan berikanlah ganti kepadaku yang lebih baik darinya.’ Kemudian mengintrospeksi diri, dengan bertanya, “Dari mana aku akan memperoleh yang lebih baik dari Abu Salamah?” Setelah masa iddahku berakhir, Rasulullah izin kepadaku. Ketika itu aku sedang menyamak kulit milikku, lalu aku mencuci tanganku dari qaradz (daun yang digunakan menyamak). Lalu kuizinkan beliau masuk dan ku-siapkan untuknya bantal tempat duduk yang isinya dari sabut, maka beliau pun duduk di atasnya. Lalu beliau menyampaikan lamaran kepada diriku.Setelah selesai beliau berbicara, kukatakan, “Ya Rasulullah, kondisiku akan membuat Anda tak berminat. Aku ini seorang wanita yang sangat pecemburu, maka aku takut Anda mendapatkan diriku sesuatu yang karenanya Allah akan mengadzabku, dan aku sendiri sudah tua dan mempunyai banyak anak.” Maka beliau bersabda, “Mengenai kecemburuanmu yang engkau sebutkan maka semoga Allah melenyapkannya dari dirimu. Dan usia tua yang engkau sebutkan, maka aku pun juga mengalami apa yang engkau alami. Dan mengenai keluarga yang engkau sebutkan itu, maka sesungguhnya keluargamu adalah keluargaku juga.” (HR. Ahmad: 4/27)

b. Asbabun Nuzul Q.S. Ibrahim/14: 9
Dalam ayat ini, Allah Swt. bertanya kepada umat manusia apakah mereka pernah mendapatkan berita tentang umat-umat yang terdahulu, serta berita tentang peristiwa yang mereka alami, misalnya berita tentang kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad dan kaum Tsamud, serta umat yang datang sesudah mereka, yang hanya Allah sajalah yang benar benar mengetahuinya?
Mereka mendustakan para rasul padahal telah membawa bukti-bukti yang nyata. Mereka menutupkan tangan ke mulut untuk menunjukkan kebencian kepada para rasul tersebut, seraya berkata, “Sesungguhnya kami mengingkari apa-apa yang diperintahkan kepadamu untuk disampaikan kepada kami.” Di samping itu, umat-umat tersebut juga mengatakan kepada para rasul bahwa mereka berada dalam keragu-raguan dan tidak yakin akan kebenaran yang diserukan para rasul kepada mereka.
Allah Swt. telah menceritakan kepada kita berita tentang kaum Nuh, kaum ‘Ad, kaum Tsamud, dan umat-umat lainnya di masa silam yang mendustakan para rasul. Jumlah mereka tidak terhitung, hanya Allah Swt. yang mengetahuinya

Makna Sabar Dalam Menghadapi Cobaan dan Ujian
Di antara perkara yang sangat dianjurkan dalam Islam adalah sifat sabar. Sabar secara bahasa artinya tertahan, sebagaimana perkataan Jabir
a) Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Swt.
    sebagaimana firman-Nya berikut ini:

Artinya: “Dan perintahkanlah keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah dalam
memerintahkannya.” (QS. Thaha: 132)Ayat di atas menunjukkan perintah sabar dalam melaksanakan taat, seperti seorang suami yang harus sabar dalam mengajak istrinya untuk mengerjakan salat. Memang seperti itu tugas seorang suami, ia harus dapat memimpin bahtera rumah tangganya dan mengajak istri serta anggota keluarganya untuk melakukan kebaikan. Allah Swt. berfirman: ......

b) Sabar dalam menjauhi kemaksiatan
     Saat ini masyarakat dengan adanya kemudahan berinternet harus bias menghindari maksiat seperti ghibah dalam bermedia social, menyakiti orang lain dengan membully, mencaci maki orang lain, dan menghindari membunuh orang lain.

c) Sabar dalam menerima takdir Allah Swt.
Sabar jenis yang ketiga adalah dalam menerima takdir yang Allah berikan. sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu.” (QS. Al-Insan: 24).
Apabila seorang muslim mengalami takdir yang kurang baik seperti musibah sakit atau kematian, ingatlah bahwa para rasul pun mempunyai cobaan jauh lebih berat dibandingkan dengan kita semua.
Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada kita untuk mencontoh para rasul dalam hal bersabar, Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran para rasul
yang memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar (adzab)
disegerakan untuk mereka.” (QS. Al-Ahqaf: 35)
Demikian tiga macam kesabaran yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Semuanya memiliki tingkatan keutamaan yang berbeda tergantung pribadi masing-masing. Ada yang lebih utama bersabar dalam menjauhi maksiat, disebabkan lebih sulit baginya dibandingan melakukan ketaatan. Ada pula yang lebih utama bersabar dalam takdir Allah Swt., disebabkan lebih sulit baginya dibandingkan untuk menjauhi maksiat.