Adab Siswa Kepada Guru

 Meneladani Ulama Terdahulu terhadap Guru



Salah satu penyebab keberhasilan seorang pelajar, baik santri ataupun bukan, adalah bagaimana mereka menghormati dan memuliakan gurunya. Mereka yang menjaga tingkah laku dan bertindak sopan bersama gurunya akan menuai kesuksesan dalam mencari ilmu serta akan mendapatkan keberkahan ilmu. Sebaliknya orang-orang yang tidak mengindahkan hal itu akan terhalang oleh keberkahan ilmu.

Memuliakan dan menghormati guru memiliki peran penting di balik kesuksesan seorang santri. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Burhanuddin az-Zarnuji (wafat 591 H), dalam salah satu karyanya bahwa seorang pelajar tidak pernah mendapatkan ilmu jika tidak memuliakan ilmu dan orang yang berilmu,

اِعْلَمْ بِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لاَ يَنَالُ الْعِلْمَ وَلاَ يَنْتَفِعُ بِهِ اِلَّا بِتَعْظِيْمِ الْعِلْمِ وَأَهْلِهِ وَتَعْظِيْمِ الْأُسْتَاذِ وَتَوْقِيْرِهِ. قِيْلَ مَا وَصَلَ مَنْ وَصَلَ اِلَّا بِالْحُرْمَةِ، وَمَا سَقَطَ مَنْ سَقَطَ اِلاَّ بِتَرْكِ الْحُرْمَةِ

Artinya, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya seorang pelajar tidak akan bisa mendapatkan ilmu dan manfaat ilmu kecuali dengan menghormati ilmu dan orang yang berilmu, memuliakan guru dan menghormatinya.

Dikatakan, tidak sukses orang yang telah sukses kecuali dengan hormat, dan tidak gagal orang yang gagal kecuali disebabkan tidak hormat.” Penjelasan az-Zarnuji ini selayaknya perlu untuk direnungkan kembali di era saat ini di mana seorang pelajar tidak mengindahkan penghormatan kepada guru-gurunya. Bahkan tidak sedikit yang berani melawan kepada gurunya sehingga ia kesulitan untuk mendapatkan ilmu dan manfaatnya.

Nah, berikut ini adab-adab seorang pelajar kepada gurunya yang perlu diketahui, dengan harapan semoga kejadian tidak menghormat dan bahkan melawan kepada gurunya tidak terulang kembali. Adab Pelajar kepada Gurunya Menurut Imam az-Zarnuji, ada banyak sekali adab seorang pelajar kepada guru-gurunya di antaranya adalah tidak pernah lewat di depan gurunya kecuali memang tidak ada lagi jalan yang bisa dilewati, tidak duduk di tempat yang ditempati gurunya, tidak berkata kepada gurunya kecuali atas izin darinya, tidak memperbanyak perkataan jika mendapatkan izin darinya, tidak bertanya apa pun ketika gurunya sedang jemu, memilih waktu yang tepat jika hendak berkata atau bertamu pada gurunya, dan tidak mengetuk pintu rumahnya, namun bersabar sampai gurunya keluar untuk menemuinya.

Semua perbuatan yang bisa membuat gurunya ridha harus selalu diusahakan kecuali maksiat. Ini karena kita tidak boleh taat dalam hal kemaksiatan. Selain itu tentunya, seorang pelajar juga harus menghindari setiap perbuatan-perbuatan yang bisa membuat guru marah. Itulah adab-adab penting seorang pelajar kepada gurunya.

Dikisahkan, bahwa suatu saat terdapat pengajian umum yang dihadiri oleh banyak orang. Di tengah-tengah pengajian tersebut, terdapat seorang ulama hebat yang berdiri. Kemudian ketika ditanya perihal alasan berdirinya tersebut, ia menjawab, “Saya berdiri karena ada anak guruku yang sedang bermain di jalan, ketika aku melihatnya aku langsung berdiri, karena menghormati guruku (orang tua anak kecil tersebut).” Selain kisah-kisah ini, di Indonesia juga terdapat banyak ulama tersohor yang sangat memuliakan gurunya hingga menjadikan dirinya santri yang sangat hebat dan sukses dalam menuntut ilmu, salah satunya adalah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan.

Dikisahkan bahwa selama nyantri di Sidogiri, sikap rendah hati dan penghormatan kepada guru-gurunya sangat tampak dari perilaku kesehariannya. Hal itu sangat terlihat ketika akan memasuki kompleks pesantren, Syaikhona Kholil senantiasa melepas terompah (sandal)nya karena tawadhu’ kepada penghuni kubur yang berada di samping kompleks masjid Sidogiri.

Beberapa kisah-kisah luar biasa perihal adab seorang murid kepada guru-gurunya tersebut menjadi pengingat bagi kita semua perihal pentingnya menghormati guru. Para ulama terdahulu sukses dalam menuntut ilmu karena mereka sangat hormat pada gurunya, tidak pernah melawan apa yang diperintahkan gurunya.

Demikian penjelasan perihal adab-adab seorang murid kepada guru dan kisah-kisah ulama terdahulu dalam menghormati gurunya.

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/meneladani-adab-ulama-terdahulu-pada-gurunya-9X2wb

KISAH INSPIRATIF BAB 2 KELAS XII

 Pengemis Yahudi yang Buta



Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah ada seorang pengemis Yahudi yang buta apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata, “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad. Dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya. Setiap pagi Rasulullah Saw. mendatanginya dengan membawakan makanan kepada pengemis itu dan tidak pernah berkata sepatahpun. Rasulullah menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu. Pada saat menyuapinya, si pengemis Yahudi itu tetap berpesan agar tidak dekat-dekat dengan orang yang bernama Muhammad.

Rasulullah Saw. setiap hari selalu menyuapi pengemis Yahudi itu hingga menjelang beliau wafat. Setelah Rasulullah Saw. wafat, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari Abu Bakar r.a. berkunjung ke rumah putrinya Aisyah

r.a. yang juga istri Rasulullah. Beliau bertanya kepada putrinya, “Anakku, adakah sunnah kekasihku (Nabi Muhammad) yang belum aku kerjakan?” Aisyah menjawab, “Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja”. “Apakah Itu?”, tanya Abu Bakar. “Setiap pagi Rasulullah Saw. selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana,” kata Aisyah.

Keesokan harinya, Abu Bakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abu Bakar mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abu Bakar mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, “Siapakah kamu?”. Abu Bakar menjawab, “Aku orang yang biasa”. “Bukan!, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku”, jawab si pengemis buta itu. “Apabila ia datang kepadaku, tangan ini tidak susah memegang dan mulut ini tidak susah untuk mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan itu dengan mulutnya. Setelah itu ia berikan padaku,” kata pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abu Bakar tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang mulia yang setiap hari menyuapimu itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah Saw.

Setelah pengemis itu mendengar cerita Abu Bakar, ia pun menangis sedih dan kemudian berkata: Benarkah demikian? “Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, tapi ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia. Pengemis Yahudi buta itu akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar.

Demikian kisah teladan Rasulullah dengan pengemis Yahudi buta yang begitu harunya. Sebagai pelajaran kepada kita dalam berdakwah, walaupun dihina tetapi dengan kelembutan hati dan akhlak, dakwah harus tetap dikerjakan dengan baik sehingga dapat mendatangkan kebaikan kepada orang lain.

Adab Berdoa

 ADAB BERDOA



Adab Berdzikir dan Berdoa Menurut Sayyid Utsman al-Batawi

Berdoa dan berdzikir bukan semata sarana meminta dan berkeluh kesah tapi juga mendekatkan diri kepada Allah. Berdzikir adalah amalan yang tak bisa terlepas dari seorang Muslim. Membaca dzikir dan tasbih akan menanamkan ketenangan dalam jiwa. Segala keresahan hilang, serta kepasrahan dan keyakinan kepada Allah subhanahu wata’ala semakin tumbuh kuat dalam hati kita. Allah berfirman:

   أَلَا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ  

“Hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (Ar-Ra’d Ayat 28).

Semua amal ibadah memiliki peraturan dan juga tata krama atau etika sopan santun. Biasanya kita menemukan peraturan dalam peribadatan di dalam kitab-kitab fiqih. Sebut saja seperti shalat, di dalamnya terdapat rukun, syarat, dan lain-lain. Adapun menyangkut etika sopan santun serta masalah hati ketika beribadah dapat kita temukan di dalam ilmu tasawuf.  

Sayyid Utsman, seorang mufti Betawi pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, memiliki kitab kecil yang menghimpun doa-doa dan itu sangat masyhur. Jika kita mencari doa-doa melalui gadget kita tak jarang doa tersebut merupakan hasil kutipan dari kitab kecil beliau. Judul kitabnya adalah Maslakul Akhyâr fî al-Ad’iyyah wal Adzkâr al-Wâridah ‘an Rasûlillah. Selain doa-doa, Sayyid Utsman juga mencantumkan syarat dan adab dalam berdoa.   

Keterangan-keterangan dalam kitab Maslak al-Akhyâr ditulis menggunakan Arab Pegon berbahasa Melayu. Akan tetapi kami akan menuliskannya sebagaimana bahasa Indonesia pada umumnya. Adapun syarat-syarat serta adab dalam berdzikir dan berdoa adalah:  

Pertama, tidak mengerjakan dzikir-dzikir yang sunnah sedangkan amalan yang wajib belum dikerjakan. Adapun amalan yang wajib adalah seperti menuntut ilmu, menunaikan qadha shalat ketika punya utang shalat, dan sebagainya.   Rukun ini penting kita perhatikan karena seringkali kita melakukan amalan sunnah, apa pun itu selain membaca dzikir, padahal amalan wajib kita tinggalkan. Kita sibuk mendalami aliran tarekat tapi perkara fardhu seperti shalat serta rukun dan syaratnya kita sepelekan.  

Kedua, jangan mengubah lafaz-lafaz dzikir atau mengganti huruf, dan bacalah sesuai dengan panjang pendeknya. Meskipun, sebenarnya bacaan sesuai dengan kaidah tajwid hanya diwajibkan ketika membaca Al-Qur’an. Sedangkan ketika berbicara bahasa Arab, membaca doa, dan syair, pelaksanaan aturan demikian tidak wajib. Namun, memperhatikan panjang-pendek, lafaz, dan huruf-hurufnya, merupakan sebuah ikhtiar seseorang dalam menjaga adab saat berdzikir, apalagi bila lafaz dzikir atau doa itu memang bersumber dari Al-Qur’an.  

Ketiga, mengetahui makna dan arti doa yang dibaca. Dengan mengetahui makna doa yang kita baca kita akan lebih menghayati dan meresapi doa tersebut. Sehingga bukan hanya lisan saja yang bekerja, akan tetapi hati pun turut membantu. Hal ini berbeda dengan membaca Al-Qur`an yang meski tidak tahu arti teks yang dibaca, kita tetap mendapatkan pahala.  

Keempat, makan makanan yang halal.    Hal tersebut dikuatkan dengan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kitab Shahîh Muslim:

  عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. أيها الناس إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا،ً وإن الله أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين فقال: يا أيها الرسل كلوا من الطيبات واعملوا صالحاً إني بما تعملون عليم. وقال: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ. ثم ذكر الرجل يطيل السفر، أشعث أغبر، يمد يديه إلى السماء يا رب يا رب، ومطعمه حرام، ومشربه حرام، وملبسه حرام، وغذي بالحرام، فأنى يستجاب لذلك  

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Wahai manusia sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik, dan sungguh Allah memerintahkan orang-orang mukmin sebagaimana yang telah diperintahkan kepada para rasul.” Lalu Allah berfirman, “Wahai para rasul, makanlah hal-hal yang baik, bekerjalah dengan benar sesungguhnya Aku Mahatahu dengan apa yang kalian kerjakan.”

Dan Allah pun berfirman, “Wahai orang beriman makanlah hal baik yang telah Kami berikan pada kalian” (QS al-Baqarah: 172). Kemudian Nabi bercerita tentang seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu, sambil menengadahkan tangannya ke langit berkata, “Wahai Tuhan, Wahai Tuhan,” sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan kenyang dengan makanan haram, maka bagaimana mungkin ia akan dikabulkan permohonannya’” (HR Muslim).  

Kelima, disunnahkan menghadap kiblat dan dalam keadaan suci dari hadats dan najis saat berdoa atau berdzikir. Selanjutnya adalah melaksanakannya dengan mengkhusyukkan hati dan tadlarru’ (merendahkan diri).   Sayyid Utsman menafsirkan tadlarru’ di sini sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 55:

   ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ 

 “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS al-A’raf: 55).  

Demikianlah keterangan mengenai syarat dan etika ketika berdoa dan berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala. Semoga dengan mengamalkan perkara yang telah disebutkan di atas, doa kita lebih mudah dikabulkan oleh Allah subhanahu wata’ala. Amiin    

Semoga bermanfaat

Sumber: https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/adab-berdzikir-dan-berdoa-menurut-sayyid-utsman-al-batawi-Yysfg


INDAHNYA KEHIDUPAN BERMAKNA (UMUM)

Indahnya Kehidupan Bermakna



A.    Tujuan Pembelajaran

        Setelah pembelajaran dengan model discovery learnig kalian diharapkan dapat:

1)     Menjelaskan pengertian iman islam ihsan.

2)     Mengidentifikasi dalil-dalil terkait iman, islam, dan ihsan.

3)     Mengklasifikasi makna iman, islam dan ihsan.

4)     Menganalisis keutamaan iman, islam dan ihsan.

5)     Mendemontrasikan contoh perilaku iman, islam, dan ihsan

6)     Menganalisis karakter dalam mencapai insan kamil

 

B.    Tadabur

C.    Ayo Kita Membaca Al-Qur’an

D.    Kisah Inspiratif

E.    Wawasan Keislaman

 

1.     Hakikat Iman

Iman artinya keyakinan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan tanpa ada keraguan sedikitpun. Iman dalam agama Islam artinya meyakini adanya wujud Allah Swt, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari terjadinya kiamat serta qada’ dan qodarNya. Iman mencakup ranah yang berkaitan dengan keyakinan dalam hati, ucapan lisan, serta amal anggota tubuh. Iman akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan kepada Allah Swt.

Kedudukan iman lebih tinggi daripada Islam karena iman mencakup yang lebih umum daripada Islam. Seseorang tidak akan mencapai keimanan yang sempurna hingga ia melaksanakan dan mewujudkan keislamannya dengan perbuatan nyata dengan cara sempurna. Islam adalah amalan-amalan nyata sebagai buah dari keimanan seseorang. Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keimanan dan salah satu indikasi yang terlihat oleh manusia. Karena itu Allah Swt menyebut Iman dan amal soleh secara beriringan di dalam Q.S. al-Anfal ayat 2-4:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (Al- Anfal: 2-4)

Keimanan seseorang memiliki ciri yang sangat khas, yaitu selalu dinamis. Mayoritas ulama memandang keimanan selalu beriringan dengan amal saleh, sehingga mereka menganggap keimanan akan bertambah dengan bertambahnya amal saleh. Begitu pula sebaliknya

 

Artinya: “Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya Iman: Menjadikan Allah dan RasulNya lebih dicintainya melebihi dari selain keduanya, mencintai seseorang yang tidak dicintainya melainkan karena Allah, membenci dirinya kembali kepada kekufuran sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhori Muslim).

Iman pada dasarnya adalah keyakinan dan kesadaran dalam hati, sehingga iman mempunyai tiga kriteria sifat, Pertama, iman bersifat abstrak, artinya tidak dapat diukur kadar keimanan seseorang karena berada dalam hati, hanya Allah Swt. yang Maha mengetahui yang dapat mengetahi isi hati sesorang.

Kedua, iman bersifat fluktuatif, artinya naik turun, bertambah dan berkurang. Bertambah karena melaksanakan ketaatan dan berkurang karena melakukan kemaksiatan. Kondisi iman bersifat fluktuatif ini karena iman bertempat dalam hati. Dalam bahasa Arab hati dinamai qalb yang artinya bolak-balik dan tidak tetap dalam satu kondisi, sehingga karakter dasar hati adalah berubah-ubah, hati kadang senang, sedih, marah, rindu, cinta, dan benci.

Ketiga, iman itu mempunyai tingkatan. Artinya tingkat dan kadar keimanan dalam hati orang beriman itu berbeda dan tidak sama, ada yang kuat, ada yang sedang dan ada yang lemah imannya.

 

2.     Hakikat Islam

Kata Islam secara bahasa (etimologi) berasal dari kata aslam-yuslim-islam dengan arti yang semantik sebagi berikut: tunduk dan patuh, berserah diri, keselamatan, kedamaian dan kemurnian. Kata Islam berasal dari akar kata salam yang terbentuk dalam kata salm artinya selamat, sejahtera tidak cacat dan tidak tercela.

Sedangkan secara terminologi Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah Swt kepada nabi Muhammad Saw dengan perantara malaikat Jibril, untuk seluruh umat manusia untuk keselamatan di dunia dan di akhirat dengan melaksanakan semua perintahNya dan menjauhi laranganNya.

Islam adalah agama Allah Swt. yang diwahyukan kepada para rasul untuk membimbing manusia dari satu generasi kegenerasi sebagai petunjuk bagi manusia untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Sebagai perwujudan dari sifat rahman dan rahim Allah Swt. Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw merupakan agama yang telah sempurna dan telah menyempurkanan syariat-syariat sebelumnya. Sebelum masa risalah nabi Muhammad Saw., wahyu Allah Swt yang diturunkan kepada para nabiNya masih bersifat lokal. Ia hanya ditujukan untuk kepentingan bangsa dan daerah tertentu, dan terbatas pada periodenya. Selanjutnya Islam yang datang dengan risalah yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. berlaku untuk seluruh bangsa dan seluruh umat manusia di dunia.

Siapa saja yang menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah Swt, maka ia seorang muslim yang digambarkan oleh Allah Swt dalam firmanNya: QS Ali Imran 19.

Artinya: “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah maka sungguh Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [Ali ‘Imran: 19]

Juga  Artinya: “Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]

 

3.     Hakikat Ihsan

Ihsan adalah isim masdar dari asal kata ahsan-yuhsin-ihsan yang mempunyai arti menjadikan sesuatu lebih baik/berbuat kebaikan. Secara terminologi ihsan berarti kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Allah Swt. senantiasa hadir atau bersama manusia dimanapun berada. Bertalian dengan ini manusia menginsafi bahwa Allah Swt. selalu mengawasinya, oleh karena itu manusia harus berbuat, berlaku, bertindak menjalankan sesuatu dengan sebaik mungkin dan penuh rasa tanggung jawab, tidak setengah- setengah dan tidak dengan sikap sekadarnya saja. Orang yang berbuat ihsan disebut muhsin, ini mengandung arti bahwa orang yang berbuat baik. setiap perbuatannya yang nampak merupakan sikap jiwa dan perilaku sesuai atau dilandaskan pada aqidah dan syariat Islam.

Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah. Adapun dalil mengenai Ihsan dari hadits adalah potongan hadits Jibril yang sangat terkenal (dan panjang), seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ketika nabi ditanya mengenai Ihsan oleh malaikat Jibril dan nabi menjawab:

Ihsan terbagi menjadi dua macam:

a.       Ihsan dalam beribadah kepada Allah Swt.

b.       Ihsan kepada semua pemberian Allah Swt.

Berbuat ihsan kepada semua pemberian Allah Swt minimal ada empat hal, yaitu:

1)       Harta

Dengan cara berinfak, bersedekah dan mengeluarkan zakat. Jenis perbuatan ihsan dengan harta yang paling mulia adalah mengeluarkan zakat yang merupakan rukun Islam. Nafkah yang wajib diberikan kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya seperti orang tua, istri, anak dan orang- orang yang menjadi tanggungannya, sedekah kepada orang miskin dan orang yang membutuhkan lainnya.

2)       Kedudukan

 

 4.       Hubungan Iman, Islam dan Ihsan

Iman merupakan pondasi awal, bila iman diumpamakan sebagai pondasi rumah, sedangkan islam merupakan bangunan yang berdiri diatasnya. Maka apabila iman seseorang melemah Islamnya pun akan condong dan cenderung melemah. Contoh dalam realitas kehidupan kita semisal pelaksanaan salat yang tertunda karena urusan dunia sehingga tidak dilakukan pada waktunya atau malah mungkin tidak dikerjakan. Zakat yang seharusnya dikeluarkan tidak tersalurkan, puasa yang tak terlaksana karena alasan lapar, dan lain sebagainya. Perhatikan Surah Fatir ayat 32:

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa terdapat tiga macam orang mengamalkan ajaran Islam yaitu:

Pertama, orang yang zalim kepada dirinya sendiri yaitu orang yang berlebihan dalam mengamalkan sebagian kewajiban, serta seringkali melakukan sesuatu hal yang terlarang. Kedua, orang yang tak berlebihan yaitu orang yang melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan tetapi seringkali meninggalkan ibadah sunnah dan melakukan hal-hal yang dimakruhkan. Mereka akan masuk surga atas anugerah yang telah diberikan Allah.

Ketiga, orang yang selalu berlomba-lomba dalam kebaikan yaitu orang yang menjalankan kewajiban juga hal yang disunnahkan serta menjauhi hal yang haram dan yang dimakruhkan serta meninggalkan sesuatu yang dihukumi mubah. Golongan ini akan diberikan keistimewaan oleh Allah yaitu masuk surga tanpa adanya perhitungan amal (hisab). Golongan inilah yang merupakan ciri manusia sempurna (insan kamil).

Iman seseorang akan kokoh bila ajaran Islam ditegakkan. Iman terkadang bisa menjadi kuat, kadang pula menjadi lemah, karena amal perbuatan yang akan mempengaruhi hati. Sedang hati sendiri merupakan wadah bagi iman itu. Jadi bila seseorang tekun beribadah, rajin ber-taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah Swt, maka akan semakin tebal imannya. Sebaliknya bila seseorang berlarut-larut dalam kemaksiatan, kebal akan dosa, maka akan berdampak juga pada tipisnya iman.

 5.       Urgensi Iman, Islam dan Ihsan dalam Membentuk Karakter Manusia

Untuk menapaki jalan insan kamil, terlebih dahulu kita perlu mengingat kembali tentang 4 unsur manusia yaitu jasad/raga, hati, roh dan rasa. Keempat unsur manusia ini harus difungsikan untuk menjalankan kehendak Allah Swt. Hati nurani harus dijadikan rajanya dengan cara selalu mengingat sang Pencipta alam semesta.

Maqam-maqam yang dimaksud merupakan karakter-karakter inti yang memiliki 6 unsur:

a.       Taubat (berjanji tidak mengulangi kesalahan dan maksiat);

b.       Wara’(menjauhkan diri dari dosa, maksiat, dan perkara syubhat atau

yang remang-remang hukumnya);

c.        Zuhud (mengalihkan kesenangan duniawi kepada sesuatu yang lebih bermakna)

d.       Kanaah (rela menerima dan merasa cukup dengan apa yang telah didapat dan tidak rakus)

e.       Sabar (menahan diri atau membatasi emosi serta mampu bertahan dalam situasi sulit tanpa mengeluh)

f.        Tawakal (berserah diri kepada Allah Swt)

Jika sudah secara benar menjalankan unsur-unsur tersebut, lalu mengkokohkan keimanan, meningkatkan peribadatan, dan membaguskan perbuatan, sekaligus menghilangkan karakter-karakter yang buruk yang ada pada diri kita, maka manusia akan dapat menggapai insan kamil atau manusia sempurna. Ini sangat dibutuhkan dalam tatanan dunia modern seperti sekarang ini.

 

 


3 Manfaat Muhasabah menurut Imam al-Ghazali

 3 Manfaat Muhasabah 

Menurut Imam al-Ghazali



Imam Abu Hamid al-Ghazali lahir di Thus, Khurasan, Iran pada tahun 450 H/1058 M. Ia mendapat gelar Hujjatul Islam karena membela agama Islam dari berbagai aliran yang menyimpang. Ayahnya bernama Muhammad bin Ahmad, seorang tukang tenun yang miskin. Al-Ghazali memiliki seorang kakak laki-laki bernama Hamid yang meninggal saat masih kecil.

Al-Ghazali sosok yang mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, termasuk filsafat, teologi, tasawuf dan fikih. Tak kalah penting, Imam Ghazali dikenal juga sebagai ahli dan pakar dalam bidang tasawuf. Kitab Ihya Ulumiddin, yang merupakan magnum opusnya, menjadi rujukan pelbagai kalangan, terutama santri dan pondok pesantren di Nusantara.  Di kitab Ihya Ulumiddin pula Imam Ghazali banyak membicarakan konsep muhasabah.

Konsep muhasabah adalah kegiatan merenungkan dan menilai perbuatan yang telah dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengetahui perbuatan baik dan buruk yang telah dilakukan, serta memahami niat dan tujuan dari perbuatan tersebut. Lebih dari itu, Imam Ghazali menjelaskan bahwa tujuan dari muhasabah adalah untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan diri sendiri.

Dengan menyadari kekurangan diri, seseorang akan termotivasi untuk memperbaiki diri dengan meningkatkan amal kebaikan dan memperbaiki hubungan dengan Tuhan. Dengan demikian, seseorang akan dapat menghindari perbuatan yang tidak diridhai oleh Tuhan. Simak penjelasan Imam Ghazali berikut ini; 

 اعلم أن العبد كما [ينبغي أن] يكون له وقت في أول النهار يشارط فيه نفسه على سبيل التوصية بالحق، فينبغي أن يكون له في آخر النهار ساعة يطالب فيها النفس ويحاسبها على جميع حركاتها وسكناتها، كما يفعل التجار في الدنيا مع الشركاء في آخر كل سنة أو شهر أو يوم حرصا منهم على الدنيا، وخوفا من أن يفوتهم منها ما لو فاتهم لكانت الخيرة لهم في فواته

Artinya: "Ketahuilah bahwa hamba, sebagaimana seharusnya memiliki waktu di awal hari untuk berjanji kepada dirinya sendiri untuk berpegang teguh pada kebenaran, maka seharusnya ia juga memiliki waktu di akhir hari untuk menuntut jiwanya dan memperhitungkannya atas semua gerak-geriknya dan diamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh para pedagang di dunia dengan para mitra mereka di akhir setiap tahun, bulan, atau hari, karena kegigihan mereka terhadap dunia, dan karena takut jika mereka kehilangan sesuatu dari dunia yang jika mereka kehilangannya, itu akan lebih baik bagi mereka jika hilang."

 ... فكيف لا يحاسب العاقل نفسه فيما يتعلق به خطر الشقاوة والسعادة أبد الآباد ؟ ما هذه المساهلة إلا عن الغفلة والخذلان وقلة التوفيق نعوذ بالله من ذلك  

"Maka bagaimana mungkin orang yang berakal tidak memperhitungkan dirinya sendiri dalam hal yang berkaitan dengan bahaya kesengsaraan dan kebahagiaan selamanya? Apa ini kemalasan kecuali karena kelalaian, kehinaan, dan sedikit taufik? Kita berlindung kepada Allah dari hal itu." [Sayyid Muhammad az-Zabidi, Kitab Ithafus Sadah Syarah Ihya' Ulumiddin Jilid 13 [Beirut; Dar Kutub al Ilmiyah, 1971], halaman 214.].

Manfaat muhasabah atau introspeksi diri  Berdasarkan penjelasan Imam Ghazali ini, introspeksi diri penting dilakukan oleh setiap orang. Ada setidaknya 3 manfaat dari muhasabah bagi seorang Muslim.

Pertama, muhasabah dapat membantu untuk memperbaiki diri dan menjauhi perbuatan dosa. Hal ini karena muhasabah adalah proses introspeksi diri, di mana kita merenungkan dan mengevaluasi perbuatan, sikap, dan kebiasaan sendiri.

Menurut Imam Ghazali Lebih jauh lagi, muhasabah dapat dilakukan setiap hari, di awal dan di akhir hari.  Di awal hari, kita dapat berjanji kepada diri sendiri untuk berpegang teguh pada kebenaran. Kita dapat menetapkan tujuan dan target yang ingin dicapai pada hari itu. Di akhir hari, kita dapat menuntut jiwa kita dan memperhitungkannya atas semua gerak-geriknya dan diamnya. Kita dapat meninjau kembali perbuatan kita selama hari itu, dan mengidentifikasi kesalahan atau kekurangan yang telah kita lakukan.

Hal ini selaras dengan hadits Nabi Muhammad saw, yang menganjurkan seorang Muslim untuk introspeksi, kemudian memperbaiki diri. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, disebutkan bahwa bahwa orang yang beruntung adalah orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin. Orang yang merugi adalah orang yang hari ini sama dengan hari kemarin.  Sementara orang yang celaka adalah orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin.

Hal ini berarti bahwa orang tersebut justru mundur atau mengalami kemunduran dalam dirinya. Simak sabda Rasulullah berikut:

 من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح. ومن كان يومه مثل امسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون.( رواه الحاكم)

Artinya: "Barangsiapa hari ini lebih baik dari kemarin, maka ia beruntung. Barangsiapa hari ini sama dengan kemarin, maka ia merugi. Barangsiapa hari ini lebih buruk dari kemarin, maka ia terlaknat". (HR. Al-Hakim). 

Kedua, muhasabah akan menumbuhkan rasa tanggung jawab. Kita sadar akan kewajiban di hadapan Allah, sesama manusia, dan diri sendiri yang terikat akan aturan agama. Melalui muhasabah, manusia mengerti bahwa hidup ini bermakna dan kelak kembali kepada Allah. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Q.S al-Hasyr [59] ayat 18;

 يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan."

Syekh Nawawi dalam kitab Marah Labid, Jilid II, halaman 513 menjelaskan bahwa ayat ini mengajarkan kita untuk selalu berorientasi pada masa depan. Apa yang kita lakukan hari ini akan berdampak pada masa depan kita. Oleh karena itu, kita harus selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik dan menghindari hal-hal yang buruk.

 يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ في كل ما تأتون وما تذرون، وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ برة أو فاجرة ما قَدَّمَتْ لِغَدٍ، أي ما تريد أن تحصله ليوم القيامة فتفعله، وَاتَّقُوا اللَّهَ بأداء الواجبات وترك المعاصي، إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِما تَعْمَلُونَ (١٨) من الخير والشر، فلا تعملون عملا إلا كان بمرأى منه تعالى، ومسمع، فاستحيوا منه تعالى

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dalam segala hal yang kamu lakukan dan tinggalkan. Hendaklah setiap orang, baik yang saleh maupun yang jahat, memperhatikan apa yang telah ia persiapkan untuk hari esok. Artinya, apa yang ingin ia raih untuk hari kiamat, maka lakukanlah. Dan bertakwalah kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan. Sesungguhnya Allah Mahatahu apa yang kamu kerjakan, baik yang baik maupun yang buruk. Tidak ada satu pun perbuatan yang kamu lakukan kecuali berada di hadapan dan di pendengaran-Nya. Maka, malu lah kepada-Nya."

Ketiga, muhasabah menjaga diri dari perbuatan maksiat. Orang-orang yang  selalu introspeksi, maka ia akan menjaga diri dari godaan dosa, yang kelak akan membahayakan diri di hari kiamat. Lebih dari itu, orang yang selalu bermuhasabah diri akan siap menjawab pertanyaan Allah swt dan akan mendapatkan akhirat yang baik. Sebaliknya, orang yang tidak introspeksi diri akan menyesal dan akan berdiri lama di padang mahsyar.

 استدل بذلك أرباب البصائر أن الله تعالى لهم بالمرصاد ، وأنهم سيناقشون في الحساب ، ويطالبون بمثاقيل الذر من الخطرات واللحظات ، فتحققوا أنهم لا ينجيهم من هذه الأخطار إلا لزوم المحاسبة وصدق المراقبة ومطالبة النفس في الأنفاس والحركات ، ومحاسبتها في الخطرات واللحظات

Artinya: "Dengan demikian, orang-orang yang memiliki pemahaman yang mendalam mengetahui bahwa Allah swt mengawasi mereka, dan bahwa mereka akan diadili dan dimintai pertanggungjawaban atas setiap gerak-gerik dan pikiran mereka, meskipun sekecil atom. Mereka menyadari bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali dengan selalu introspeksi, benar-benar menjaga diri dari godaan, menuntut diri sendiri dalam setiap tarikan napas dan gerakan, dan memperhitungkan diri sendiri dalam setiap pikiran dan momen."

 

   . فمن حاسب نفسه قبل أن يحاسب خف في القيامة حسابه ، وحضر عند السؤال جوابه ، وحسن منقلبه ومآبه ، ومن لم يحاسب نفسه دامت حسراته ، وطالت في عرصات القيامة

"Siapa pun yang introspeksi diri sebelum dihakimi, maka perhitungannya di hari kiamat akan menjadi lebih ringan, jawabannya akan siap ketika ditanya, dan akhir dan kembalinya akan menjadi baik. Siapa pun yang tidak introspeksi diri, maka penyesalan akan terus ada dalam dirinya, dan ia akan berdiri lama di padang mahsyar. " [Muhammad Jamaluddin al-Qassimi, Mau'izatul Mukminin min Ihya 'Ulumiddin, Jilid I, [Beirut; dar Kutub al-Ilmiyah, 1995], halaman 305]. 

Dengan demikian, tujuan muhasabah adalah untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan. Muhasabah dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran diri akan kesalahan dan kekurangan, sehingga dapat menjadi motivasi untuk memperbaiki diri.

Semoga bermanfaat

Sumber: https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/3-manfaat-muhasabah-menurut-imam-al-ghazali-nYUeN


TINDAKAN RASULULLAH TERHADAP ORANG KENA MUSIBAH

 SIKAP RASULULLAH KEPADA ORANG KENA MUSIBAH



Suatu ketetapan Allah Swt. bahwa dalam kehidupan ini tidak akan sepi dari yang namanya kesedihan dan nestapa. Seluruh umat manusia akan diuji oleh Allah Swt. dengan ujian yang beraneka ragam. Ada yang diuji dengan harta, raga, keluarga, atau pekerjaan. Tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang luput dari ujiannya Allah Swt.

Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 155-157, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Anakku, Rasulullah saw. pernah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Begini bunyi hadisnya, “Jika Allah Swt. menghendaki kebaikan bagi seseorang, Dia akan mengujinya dengan kesusahan.”

Anas bin Malik r.a. pun pernah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Besarnya pahala bergantung pada besarnya kesusahan, dan jika Allah mencintai seseorang, Dia akan mengujinya. Sehingga siapa saja yang rela dengan itu, Allah Swt. akan rela kepadanya, dan siapa yang marah dengan itu, Allah Swt. akan marah kepadanya.” (H.R. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dari dua hadis di atas dapat kita ambil hikmah bahwa sejatinya musibah atau kesusahan yang menimpa seseorang itu adalah kebaikan baginya dan bukti cinta Allah Swt. kepadanya. Namun, semua kembali kepada sikap dan penerimaan orang tersebut. Apabila ia rida dengan takdirnya, maka Allah Swt. pun rida kepadanya. Begitu pun jika ia marah dengan takdirnya, maka Allah Swt. pun akan marah kepadanya.

Perlu kita ketahui bahwa Rasulullah saw. merupakan sosok yang sangat memperhatikan umatnya. Ia tidak akan cuek dengan kondisi umatnya. Ia pun sangat peduli dan berusaha untuk membantu serta memotivasi umatnya agar tetap di jalan iman dan takwa.

Inilah hal-hal yang dilakukan Rasul saw. saat menghadapi umatnya yang tengah tertimpa musibah serta kesusahan.


Sabar Menghadapi Musibah

 SABAR MENGHADAPI MUSIBAH



Anak-anakku yang penuh kesabaran, Allah mempergilirkan suka dan duka kepada kita semua. Tidak selamanya kita selalu merasakan suka. Begitu juga tidak selamanya kita selalu merasa berduka. Allah Swt. memberikan kesenangan dan kesedihan secara bergantian. Kesenangan harus membuat kita bersyukur. Sementara itu kesedihan harus membuat kita bersabar.

Anak-anakku, terkait musibah, setiap orang pasti tidak menginginkannya. Namun, Allah Swt. sengaja menurunkan musibah untuk menguji keimanan dan kesabaran kita. Dalam setiap musibah yang kita alami pasti akan ada hikmah yang bisa kita petik.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah: 155).

Anak-anakku, saat kita diuji dengan musibah cobalah untuk merenung sejenak. Bukalah hati dan pikiran. Yakinilah bahwa tidak hanya kita yang ditimpa musibah. Di luar sana ternyata banyak hamba Allah Azza wa Jalla yang juga mengalami musibah. Bahkan, bisa jadi musibah mereka jauh lebih berat dan menyakitkan dari pada ujian yang sedang kita alami.

Anakku, ujjian yang Allah Swt. timpakan kepada manusia memang berbeda-beda. Ada yang diuji dalam hal kesehatan, ada juga yang mendapat ujian dalam keluarganya. Tak hanya itu, ada juga yang mendapat ujian keuangan, pekerjaan, hingga ujian di lingkungan bermasyarakat. Sikap menghadapi ujian kehidupan kembali kepada individu masing-masing. Ada yang melewati ujian dengan sabar dan tawakal, ada juga yang menghadapinya dengan merutuk.

Di sepanjang hidup, manusia sering kali menghadapi berbagai kesulitan. Kesulitan ini pasti akan dialami sejak kita terlahir ke dunia hingga akhir hayat. Jika manusia tidak memiliki kekutaan untuk menghadapi segala kesulitan hidup, maka bersiaplah ia akan kalah. Jika kita belum berhasil menyelesaikan kesulitan kita, bisa jadi Allah Swt. akan tetap mengujinya dengan kesulitan yang sama terus-menerus hingga kita mampu menyelesaikan kesulitannya.

Oleh karena itu, sebagai seorang mukmin tentu kita harus bersandar kepada Allah Swt. ketika kita sedang diuji dengan musibah. Jangan lupa jadikanlah salat serta sabar sebagai penolong kita. Meski berat, tapi yakinlah akan ada kemudahan dari-Nya.

“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” (Q.S. Al-Baqarah 45).

Setelah itu yakinlah bahwa setiap kesulitan yang kita hadapi, setiap ujian yang menerpa, dan setiap masalah yang hadir dalam kehidupan kita pasti akan ada titik terangnya. Yakinilah bahwa jika persoalan sudah semakin pelik, maka sebentar lagi masalah itu akan usai. Tak selamanya lautan diterpa hujan badai terus-menerus. Suatu saat pasti matahari akan muncul dari balik awan yang gelap.

"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (Q.S. Al-Insyirah: 5-6).

Semoga bermaqnfaat

Referensi https://www.rumahzakat.org/id/sabar-menghadapi-musibah


 Bersabarlah sebentar saja,,,



Masalah memang selalu menghampiri kita. Sangat mustahil jika hidup tidak ada ujian sama sekali. Bahkan sekelas Rasulullah saw. saja diberikan ujian hidup yang bertubi-tubi. Dan ujian hidup setiap orang berbeda-beda. Ada yang diuji kesehatannya, keluarganya, keuangannya, pekerjaannya, lingkungannya, dan lain sebagainya.

14 Cobaan Berat pada Nabi Yusuf Saat Digoda Zulaikha

14 Cobaan Berat pada Nabi Yusuf Saat Digoda Zulaikha




Ini adalah pelajaran berharga lebih-lebih lagi pada para pemuda dalam menghadapi godaan syahwat di zaman ini. Nabi Yusuf bisa saja terjatuh dalam zina ketika digoda oleh permaisuri raja Mesir, Zulaikha. Ada 14 alasan yang menunjukkan cobaannya sangat-sangat berat.

Alasan pertama, tentu saja laki-laki punya ketertarikan pada wanita. Wanita itulah ujian terbesar bagi pria. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Usamah Bin Zaid. Beliau bersabda,